DENPASAR – Apes dialami Iwan Darmadi Wangsa, 62. Dituntut dua bulan penjara, Iwan justru dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun.
Majelis hakim PN Denpasar yang diketuai I Dewa Watsara menyatakan Iwan terbukti bersalah melakukan penggelapan sertifikat tanah di Desa Lukluk, Mengwi, Badung.
Mendengar putusan hakim jauh di atas tuntutan, Iwan geleng-geleng kepala. Tidak hanya Iwan dan pengacaranya yang shock, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Anom Rai yang semula mengajukan tuntutan dua bulan juga tampak kaget.
Di luar dugaan, putusan hakim enam kali lipat dari tuntutan yang diajukan. Tak pelak, putusan hakim itu langsung dilawan terdakwa.
“Setelah mendengar putusan, kami menyatakan banding,” ujar Iwan didampingi pengacaranya Tomy Alexander, dalam persidangan belum lama ini.
Wajar jika Iwan megajukan banding. Sebab, jika dia menerima putusan hakim maka usai sidang harus ditahan. Dengan mengajukan banding, untuk sementara waktu Iwan selamat dari pengapnya penjara.
Ditemui usai sidang, Iwan masih tidak percaya dengan putusan hakim. Pria paro baya itu mengklaim dirinya tidak bersalah.
“Justru saya yang korban dalam kasus ini. Ini (putusan hakim) sangat tidak adil. Keterangan saksi di persidangan tidak digunakan hakim. Saya korban yang sebenarnya,” sesalnya.
Sementara pengacara terdakwa memberikan tanggapan lebih sejuk. “Vonis satu tahun menandakan Tuhan masih sayang dengan Pak Iwan.
Artinya masih diberi waktu untuk mengungkap kebenaran dan mendapat keadilan di tingkat banding, bahkan kasasi,” katanya.
Ditambahkan, seandainya hakim memutus di bawah atau sesuai tuntutan jaksa dan terdakwa menerima, maka sertifikat dengan sendirinya dikembalikan pada pemilik.
Namun, dengan banding atau bahkan kasasi, Iwan akan mendapat keadilan. Sementara itu, JPU Anom Rai dalam dakwaanya mengungkapkan, permasalahan berawal dari transaksi jual beli tanah seluas 4.250 meter persegi di Lukluk, Mengwi pada 2014 lalu.
Tanah tersebut atas nama terdakwa sendiri. Kemudian tanah tersebut dijual pada korban I Wayan Sudina asal Kuta Selatan. Dalam transkasi itu, mereka menggunakan perantara Veronika Dewi alias Vita.
Setelah resmi memiliki tanah tersebut, Sudina berniat untuk menjual kembali tanahnya. Saat bersamaan terdakwa menawarkan calon pembeli pada korban.
“Sudina (korban) menyetujui tawaran terdakwa. Kemudian menyerahkan (penitipan) sertifikat pada terdakwa di suatu tempat di Teuku Umar yang dibuktikan dengan surat tanda terima,” beber jaksa kala itu.
Namun, lanjut jaksa, dua tahun berlalu atau tepatnya hingga 8 Juni 2016, belum ada kabar pembelian. Bahkan Sudina hingga meninggal dunia.
Selama itu terdakwa tak pernah menyampaikan pada ahli waris korban Tri Wahyuni Sudina (istri korban).
Justru terdakwa mengaklaim kembali jika tanah beserta sertifikat tersebut adalah miliknya dengan menguasai.
Padahal, tegas jaksa, sudah jelas sebelumnya korban Sudina hanya menitipkan pada terdakwa dengam tujuan memperlihatkan pada calon pembeli yang dijanjikan terdakwa.
“Atas perbuatan terdakwa, ahli waris korban mengalami kerugian hingga Rp 20 miliar,” tegas jaksa.
Jaksa menjerat terdakwa dengan pelanggaran atas pasal 372 KUHP. Merujuk bunyi pasal tersebut, maka terdakwa terancam hukuman empat tahun penjara.