28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:33 AM WIB

Ampuni Pembunuh Wartawan, Kebebasan Pers di Rezim Jokowi Terancam

DENPASAR – Kecaman atas putusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pengampunan hukuman terhadap I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan wartawan Jawa Pos Radar Bali, semakin kencang.

Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan PWI Pusat,  Oktaf Riyadi menyebut pemberian pengampunan terhadap Susrama adalah langkah hukum yang keliru dari presiden.

Berdasar Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 21/2016 tentang Syarat Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimiladi, Cuti, Mengunjungi Keluarga,

Pembebasan Bersyarat dan Cuti menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, tidak dikenal pemberian remisi hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun. “Itu bukan remisi tapi perubahan masa hukuman,” jelas Oktaf.

Lebih lanjut, dalam Pasal 3 menyatakan yg dimaksud remisi itu pengurangan menjalani masa pidana yg diberikan kepada napi dan anak pidana yg memenuhi syarat yg ditentukan dan peraturan perundang-undangan.

Dalam peraturan itu juga jumlah potongan remisi beragam dari 1 bulan hingga 12 bulan dan diberikan berjenjang.

Ada juga remisi kuhusus yang besarnya antara 15 hari dan 1,5 bulan. Remisi tambahan berupa satu perdua dari remisi umum dan satu pertiga.

Jadi, pemberian remisi terhadap pembunuh wartawan Radar Bali (almarhum Prabangsa) tidak dilakukan berdasar prosedur yang telah ditetapkan Menteri Hukum dan HAM.

“Presiden telah mengubah masa hukuman dari hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun. Presiden punya hak, tetapi menyalahi prosedur. Remisi harus dicabut dan dibatalkan,” desaknya.

Ditambahkan, dalam kasus hukuman seumur hidup seorang terpidana harus menjalani hukuman seumur hidupnya, sehingga remisi pun tidak seharusnya dia dapatkan.

Pemberian remisi itu hanya berlaku bagi hukuman 20 tahun penjara dan masa hukuman di bawahnya.

Kekecewaan juga diungkapkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram dan Aktivis Jaringan Peradilan Bersih (Jepred) menyatakan kecewa Pemberian Grasi Pembunuh Jurnalis.

Pemberian grasi tersebut adalah langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.

AJI Mataram dan Jepred  menilai langkah Joko Widodo adalah langlah yang buruk bagi penegakan Hukum dan Kemerdekaan Pers di Negeri ini.

“Ini sangat mengecewakan kami di AJI Mataram. Langkah Joko Widodo adalah langkah pemukul bagi  penegakan kebebasan pers kita,

dan ini akan menhadi preseden buruk bagi Jokowi karena keberpihakannya tidak sesuai ekspektasi kita terhadap kemerdekaan pers” ujar Fitri Rachmawati, Ketua AJI Mataram kemarin.

Dikatakannya Pengungkapan kasus pembunuhan wartawan di Bali tahun 2010 saat itu menjadi wujud dari penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.

Mengingat selama ini tidak ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terungkap secara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia, apalagi dihukum berat.

Pembunuh Prabangsa ditangkap dan dihukum seumur hidup, itu adalah langkah anomali yang dilakukan penegak hukum dibanding kasus kasus kekerasan terhadap Jurnalis.

“Tapi, dengan munculnya pemberian grasi dari presiden, ini menjadi langkah mundur dan komitmen Presiden untuk menjaga dan menegakan kebebasan pers di negeri ini patut kita pertanyakan,” sesalnya.

Menurut Fitri, pemberian grasi dari seumur hidup menjadi 20 tahun ini bisa melemahkan penegakan kemerdekaan pers,

karena setelah 20 tahun akan menerima remisi dan bukan tidak mungkin nantinya akan menerima pembebasan bersyarat.

Karena itu AJI  Mataram bersama Jaringan Peradilan Bersih di NTB, yang terdiri dari sejumlah lembaga independen dan peduli terhadap kebebasan pers dan pemberantasan korupsi,

di antaranya Lembaga Studi dam Bantuan Hukum (LSBH) Mataram, Komisi Yudisial Perwakilan NTB, Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB, 

Garvitasi NTB, Badan Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), menyatakan kekecewaan atas grasi yang diberikan Presiden Jokowi terhadap pembunuh Jurnalis Radar Bali.

Hal senada diungkapkan Amri Nuryadin, Koordinator Jepred. Dikatakan Amri, meski presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi sesuai diatur UU No 22/2002

dan Perubahanya UU No 5/2010 , sebaiknya pemberian grasi terhadap pelaku kejahatan seperti pembunuh jurnalis harus dipikirkan secara matang, apalagi hal ini akan menimbulkan reaksi publik.

“Kita juga tahu kasus kekerasan terhadap jurnalis banyak yang tidak terungkap,” urainya. Atas rasa solidaritas AJI Mataram dan Jaringan Peradilan Bersih di Mataram

mendukung AJI Denpasar mendesak agar pemberian grasi kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa  menyatakan sikap dan kritik tegas:

(1) Meminta presiden mencabut grasi terhadap pembunuh Prabangsa karena hal tersebut mencederai rasa keadilan;

(2) Meminta presiden untuk menginstrusikan kepolisian mengusut tuntas kasus kasus kekerasan terhadap Jurnalis yang selama ini bel terungkap, seperti kasus Udin;

(3) Meskipun presiden punya kewenangan namun seharusnya presiden harus melihat kepentingan yang lebih besar dibalik keputusan grasi tersebut,

selain mencederai rasa keadilan juga akan berdampak buruk bagi perkembangan kebebasan pers di Indonesia.

“Presiden sebaiknya memikirkan bagaimana kasus kekerasan terhadap jurnalis yang belum terungkap hingga kini,

seperti Kasus Udin bisa terungkap. Bukan justru memberi grasi pada pelaku kekerasan terhadap jurnalis,” cetus Fitri. 

DENPASAR – Kecaman atas putusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pengampunan hukuman terhadap I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan wartawan Jawa Pos Radar Bali, semakin kencang.

Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan PWI Pusat,  Oktaf Riyadi menyebut pemberian pengampunan terhadap Susrama adalah langkah hukum yang keliru dari presiden.

Berdasar Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 21/2016 tentang Syarat Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimiladi, Cuti, Mengunjungi Keluarga,

Pembebasan Bersyarat dan Cuti menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, tidak dikenal pemberian remisi hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun. “Itu bukan remisi tapi perubahan masa hukuman,” jelas Oktaf.

Lebih lanjut, dalam Pasal 3 menyatakan yg dimaksud remisi itu pengurangan menjalani masa pidana yg diberikan kepada napi dan anak pidana yg memenuhi syarat yg ditentukan dan peraturan perundang-undangan.

Dalam peraturan itu juga jumlah potongan remisi beragam dari 1 bulan hingga 12 bulan dan diberikan berjenjang.

Ada juga remisi kuhusus yang besarnya antara 15 hari dan 1,5 bulan. Remisi tambahan berupa satu perdua dari remisi umum dan satu pertiga.

Jadi, pemberian remisi terhadap pembunuh wartawan Radar Bali (almarhum Prabangsa) tidak dilakukan berdasar prosedur yang telah ditetapkan Menteri Hukum dan HAM.

“Presiden telah mengubah masa hukuman dari hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun. Presiden punya hak, tetapi menyalahi prosedur. Remisi harus dicabut dan dibatalkan,” desaknya.

Ditambahkan, dalam kasus hukuman seumur hidup seorang terpidana harus menjalani hukuman seumur hidupnya, sehingga remisi pun tidak seharusnya dia dapatkan.

Pemberian remisi itu hanya berlaku bagi hukuman 20 tahun penjara dan masa hukuman di bawahnya.

Kekecewaan juga diungkapkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram dan Aktivis Jaringan Peradilan Bersih (Jepred) menyatakan kecewa Pemberian Grasi Pembunuh Jurnalis.

Pemberian grasi tersebut adalah langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.

AJI Mataram dan Jepred  menilai langkah Joko Widodo adalah langlah yang buruk bagi penegakan Hukum dan Kemerdekaan Pers di Negeri ini.

“Ini sangat mengecewakan kami di AJI Mataram. Langkah Joko Widodo adalah langkah pemukul bagi  penegakan kebebasan pers kita,

dan ini akan menhadi preseden buruk bagi Jokowi karena keberpihakannya tidak sesuai ekspektasi kita terhadap kemerdekaan pers” ujar Fitri Rachmawati, Ketua AJI Mataram kemarin.

Dikatakannya Pengungkapan kasus pembunuhan wartawan di Bali tahun 2010 saat itu menjadi wujud dari penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.

Mengingat selama ini tidak ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terungkap secara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia, apalagi dihukum berat.

Pembunuh Prabangsa ditangkap dan dihukum seumur hidup, itu adalah langkah anomali yang dilakukan penegak hukum dibanding kasus kasus kekerasan terhadap Jurnalis.

“Tapi, dengan munculnya pemberian grasi dari presiden, ini menjadi langkah mundur dan komitmen Presiden untuk menjaga dan menegakan kebebasan pers di negeri ini patut kita pertanyakan,” sesalnya.

Menurut Fitri, pemberian grasi dari seumur hidup menjadi 20 tahun ini bisa melemahkan penegakan kemerdekaan pers,

karena setelah 20 tahun akan menerima remisi dan bukan tidak mungkin nantinya akan menerima pembebasan bersyarat.

Karena itu AJI  Mataram bersama Jaringan Peradilan Bersih di NTB, yang terdiri dari sejumlah lembaga independen dan peduli terhadap kebebasan pers dan pemberantasan korupsi,

di antaranya Lembaga Studi dam Bantuan Hukum (LSBH) Mataram, Komisi Yudisial Perwakilan NTB, Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB, 

Garvitasi NTB, Badan Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), menyatakan kekecewaan atas grasi yang diberikan Presiden Jokowi terhadap pembunuh Jurnalis Radar Bali.

Hal senada diungkapkan Amri Nuryadin, Koordinator Jepred. Dikatakan Amri, meski presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi sesuai diatur UU No 22/2002

dan Perubahanya UU No 5/2010 , sebaiknya pemberian grasi terhadap pelaku kejahatan seperti pembunuh jurnalis harus dipikirkan secara matang, apalagi hal ini akan menimbulkan reaksi publik.

“Kita juga tahu kasus kekerasan terhadap jurnalis banyak yang tidak terungkap,” urainya. Atas rasa solidaritas AJI Mataram dan Jaringan Peradilan Bersih di Mataram

mendukung AJI Denpasar mendesak agar pemberian grasi kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa  menyatakan sikap dan kritik tegas:

(1) Meminta presiden mencabut grasi terhadap pembunuh Prabangsa karena hal tersebut mencederai rasa keadilan;

(2) Meminta presiden untuk menginstrusikan kepolisian mengusut tuntas kasus kasus kekerasan terhadap Jurnalis yang selama ini bel terungkap, seperti kasus Udin;

(3) Meskipun presiden punya kewenangan namun seharusnya presiden harus melihat kepentingan yang lebih besar dibalik keputusan grasi tersebut,

selain mencederai rasa keadilan juga akan berdampak buruk bagi perkembangan kebebasan pers di Indonesia.

“Presiden sebaiknya memikirkan bagaimana kasus kekerasan terhadap jurnalis yang belum terungkap hingga kini,

seperti Kasus Udin bisa terungkap. Bukan justru memberi grasi pada pelaku kekerasan terhadap jurnalis,” cetus Fitri. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/