DENPASAR – Kasus jurnalistik antara anggota DPD RI Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Wedasteraputra Suyasa alias AWK dengan Media Bali akhirnya bergulir ke pengadilan.
AWK melayangkan gugatan ke PN Denpasar Nomor: 361/Pdt.G/2021/PN kepada Media Bali cq Pemred Media Bali Wayan Suyadnya atas sejumlah pemberitaan yang dianggap merugikan dirinya.
Beberapa pemberitaan itu di antaranya, ‘’Hari Ini Warga Nusa Penida Padati Monumen Puputan Klungkung’’ (Diterbitkan Selasa, 3 November 2020).
‘’Ditolak Warga, Wedakarna Batal ke Nusa Penida’’ (Diterbitkan Senin, 2 November 2020). ‘’Tangkap Wedakarna’’ (Diterbitkan Kamis 5 November 2020). ‘’PecatWedakarna’’ (Diterbitkan Rabu 4 November 2020).
Atas pemberitaan tersebut, AWK mengadu ke Dewan Pers. Hasil PPR, AWK diminta memberikan hak jawab sementara Media Bali wajib melayani hak jawab tersebut secara proporsional.
Namun, belum juga memberikan hak jawab, AWK malah menggugat Media Bali ke PN Denpasar.
“AWK tidak mematuhi PPR yang diputuskan Dewan Pers. AWK tidak menggunakan hak jawab pada batas waktu yang ditentukan Dewan Pers,” ujar kuasa hukum Media Bali, Nyoman Sunarta.
Menurut Sunarta, AWK justru memutar balik fakta dengan mengatakan Media Bali tak mengindahkan keputusan PPR Dewan Pers.
Padahal, yang tidak mengindahkan adalah AWK karena sampai gugatan ini didaftarkan tidak pernah yang bersangkuatan menyampaikan hak jawab kepada Media Bali baik secara lisan maupun tulisan.
Sunarta justru menilai AWK ingin mempolitisasi PPR Dewan Pers. Setelah PPR Dewan Pers turun kemudian media ‘’diperintahkan’’ memberikan hak jawab,
tapi dia tak menggunakan hak jawab, melainkan menempuh ‘’jalan kekeluargaan’’ sehingga terkesan dia sebagai sosok yang ‘’arif dan bijaksana’’ karena telah ‘’memaafkan’’ media dimaksud.
Hal itu lalu diunggah di media social dengan narasi yang dibuatnya sendiri. Media yang diperlakukan seperti itu, tak bisa berkutik (kalah), padahal soal hak jawab adalah hal yang biasa dalam dunia jurnalistik,” kritiknya.
Di lain sisi, kata dia, Media Bali tidak mau masalah hak jawab diselesaikan dengan ‘’bertemu’’ secara personal.
Karena sejatinya hak jawab itu ditujukan kepada pembaca sehingga setelah membaca hak jawab itu pembaca memperoleh informasi yang imbang.
“Dengan bertemu lalu dianggap selesai, bukankah ini adalah bagian dari upaya ‘’menyembunyikan’’ informasi?” bebernya.
Menurutnya, ada niat buruk dari AWK melayangkan gugatan ini dengan motivasi dan kenginan agar Media Bali membayar ganti rugi sebesar Rp 500 juta.
“Gugatan yang diajukan AWK menunjukan sikap “arogan’ dari seorang pejabat Negara yang berusaha untuk ‘mengintervensi” dan “mengintimidasi” media masa yang sedang menjalankan fungsi jurnalistik,” pungkasnya.