27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 8:41 AM WIB

Densus 88 Tangkap Eks Sekretaris Umum FPI Munarman

JAKARTA – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri diyakini tidak gegabah karena memiliki alat bukti dalam menangkap pengacara Muhammad Rizieq Shihab, Munarman. 

Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) itu ditangkap di Perumahan Modern Hills, Cinangka, Pamulang, Tangerang Selatan, Selasa sore (27/4) pukul 15.30 WIB.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta menjelaskan bahwa penangkapan kasus dugaan tindak pidana terorisme berbeda dengan tindak pidana biasa.

Kata Wayan Sudirta, penangkapan terhadap seseorang dalam kasus tindak pidana biasa hanya 1×24 jam. 

Wayan pun membeberkan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Dalam Pasal 28 ayat (1) UU itu, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindakan pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari. 

Sedangkan Pasal 28 ayat (2) mengatur, penyidik dapat memperpanjangan penangkapan untuk waktu 7 hari. 

“Sehingga dia punya 21 hari kalau dihitung secara keseluruhan, Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 5 Tahun 2018, polisi punya kewenangan untuk melakukan penangkapan itu paling lama itu 21 hari. 

Inilah keleluasaan yang diberikan UU Pemberantasan Teroris kepada kepolisian. 

Itulah kelebihan kewenangan yang dimiliki ketimbang tindak pidana lain,” kata Wayan Sudirta dihubungi wartawan, Selasa (27/4).

Wayan pun membeberkan Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Kemudian, Wayan membeberkan Pasal 17 KUHAP bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 

“Kapan perintah penangkapan dilakukan? Syaratnya harus ada bukti permulaan cukup. Apa bukti permulaan cukup?

 Itu ada di Putusan MK Nomor 21 Tahun 2014, harus minimal ada dua alat bukti. Oleh karena itu, polisi pasti terikat dengan ini,” kata Wayan.

Dia menambahkan, dalam putusan MK itu, bukti permulaan yang cukup diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP. 

Ada lima jenis alat bukti dalam KUHAP. 

“Minimal harus dua alat bukti ini di dalam Pasal 184 polisi harus memegangnya, baru bisa perintah penangkapan, oleh karena itu secara normatif polisi sebelum melakukan penangkapan, ini kan harus memenuhi KUHAP dan putusan MK Nomor 21 Tahun 2014.

 Karena ini kasus yang menarik, menyangkut tokoh yang sangat populer, pastilah polisi bersikap tidak gegabah,” jelasnya.

Maka itu, kata dia, suka atau tidak suka, yakin atau tidak yakin, harus dipastikan polisi memiliki dua alat bukti. Namun, kata dia, alat bukti itu tentu akan dibuka di pengadilan. 

“Tapi sekarang dia (Polisi, red) pasti simpan dua alat bukti itu,” ungkapnya.

Dirinya mengatakan, polisi tidak boleh gegabah, sambil mengingatkan semua pihak betapa pentingnya memegang asas praduga tak bersalah di dalam kasus Munarman ini 

“Dan polisi harus punya alat bukti itu. Dalam praktek memang polisi sudah menyiapkan ini. Kalau enggak kan dia akan dituntut, praperadilan. 

Pasti dia enggak gegabah apalagi menyangkut tokoh kan,” pungkasnya.

JAKARTA – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri diyakini tidak gegabah karena memiliki alat bukti dalam menangkap pengacara Muhammad Rizieq Shihab, Munarman. 

Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) itu ditangkap di Perumahan Modern Hills, Cinangka, Pamulang, Tangerang Selatan, Selasa sore (27/4) pukul 15.30 WIB.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta menjelaskan bahwa penangkapan kasus dugaan tindak pidana terorisme berbeda dengan tindak pidana biasa.

Kata Wayan Sudirta, penangkapan terhadap seseorang dalam kasus tindak pidana biasa hanya 1×24 jam. 

Wayan pun membeberkan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Dalam Pasal 28 ayat (1) UU itu, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindakan pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari. 

Sedangkan Pasal 28 ayat (2) mengatur, penyidik dapat memperpanjangan penangkapan untuk waktu 7 hari. 

“Sehingga dia punya 21 hari kalau dihitung secara keseluruhan, Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 5 Tahun 2018, polisi punya kewenangan untuk melakukan penangkapan itu paling lama itu 21 hari. 

Inilah keleluasaan yang diberikan UU Pemberantasan Teroris kepada kepolisian. 

Itulah kelebihan kewenangan yang dimiliki ketimbang tindak pidana lain,” kata Wayan Sudirta dihubungi wartawan, Selasa (27/4).

Wayan pun membeberkan Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Kemudian, Wayan membeberkan Pasal 17 KUHAP bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 

“Kapan perintah penangkapan dilakukan? Syaratnya harus ada bukti permulaan cukup. Apa bukti permulaan cukup?

 Itu ada di Putusan MK Nomor 21 Tahun 2014, harus minimal ada dua alat bukti. Oleh karena itu, polisi pasti terikat dengan ini,” kata Wayan.

Dia menambahkan, dalam putusan MK itu, bukti permulaan yang cukup diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP. 

Ada lima jenis alat bukti dalam KUHAP. 

“Minimal harus dua alat bukti ini di dalam Pasal 184 polisi harus memegangnya, baru bisa perintah penangkapan, oleh karena itu secara normatif polisi sebelum melakukan penangkapan, ini kan harus memenuhi KUHAP dan putusan MK Nomor 21 Tahun 2014.

 Karena ini kasus yang menarik, menyangkut tokoh yang sangat populer, pastilah polisi bersikap tidak gegabah,” jelasnya.

Maka itu, kata dia, suka atau tidak suka, yakin atau tidak yakin, harus dipastikan polisi memiliki dua alat bukti. Namun, kata dia, alat bukti itu tentu akan dibuka di pengadilan. 

“Tapi sekarang dia (Polisi, red) pasti simpan dua alat bukti itu,” ungkapnya.

Dirinya mengatakan, polisi tidak boleh gegabah, sambil mengingatkan semua pihak betapa pentingnya memegang asas praduga tak bersalah di dalam kasus Munarman ini 

“Dan polisi harus punya alat bukti itu. Dalam praktek memang polisi sudah menyiapkan ini. Kalau enggak kan dia akan dituntut, praperadilan. 

Pasti dia enggak gegabah apalagi menyangkut tokoh kan,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/