DENPASAR – Tim kuasa hukum terdakwa I Gede Ari Astina, 43, alias JRX SID cukup serius menyiapkan nota keberatan atau eksepsi sebagai bentuk perlawanan terhadap JPU.
Dalam persidangan secara daring kemarin (29/9), tim kuasa hukum yang dimotori Sugeng Teguh Santoso membacakan eksepsi setebal 27 halaman secara bergantian.
Dalam sidang yang berlangsung 1,5 jam itu, tim kuasa hukum JRX membeber berbagai kejanggalan kasus ini.
Dari dimulai penyidikan di Polda Bali, hingga dakwaan yang disusun tim JPU gabungan Kejari Denpasar dan Kejati Bali yang dikomandoi Otong Hendra Rahayu.
Tim kuasa hukum juga “menelanjangi” Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Bali sebagai pelapor.
Sidang dipimpin hakim Ida Ayu Adnya Dewi. Pembacaan eksepsi dibuka oleh Sugeng. Pembacaan eksepsi kemudian dilanjutkan I Wayan Adi Sumiarta.
Adi mengungkapkan latar belakang dan kronologis aktivitas terdakwa terkait tata kelola Covid-19 hingga akhirnya diseret ke pengadilan.
Katanya, sudah bukan rahasia lagi bahwa pemerintah terlihat gagap dalam menangani Covid-19. Mulai dari pernyataan pejabat di awal-awal wabah
yang kesannya meremehkan Covid-19 sampai dengan kebijakan yang kerap tidak jelas dan berubah-ubah, sehingga membingungkan masyarakat.
Pada akhirnya selain membingungkan, kebijakan tata kelola tersebut seringkali merugikan masyarakat.
“Terdakwa dikenal lantang bersuara kritis atas kebijakan pemerintah dalam tata kelola covid yang dia anggap bias kelas,” jelasnya.
Salah satu hal yang dikritik keras oleh terdakwa adalah terkait dengan kebijakan paksa rapid test yang digunakan sebagai syarat administrasi.
“Itulah sebab terdakwa terus bertanya, baik menggunakan media sosial maupun dengan turun ke jalan sebagai hak konstitusionalnya,” tandas Adi.
Terdakwa kemudian mempertanyakan kepada Ikatan Dokter Indonesia/IDI melalui mention ke akun resmi IDI @ikatandokterindonesia.
Terdakwa meminta penjelasan dengan gaya bahasa Terdakwa yang berlatar belakang musisi punk rock dengan gaya bahasa “Californian style”.
Terdakwa berpandangan IDI adalah organisasi besar yang punya power untuk mengubah kebjakan sebagaimana fitrah organisasinya.
Namun terdakwa tidak memperoleh jawaban apapun padahal IDI mempunyai akun instagram yang aktif digunakan.
Terdakwa terus mempertanyakan kebijakan rapid test ini ke semua pihak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya dibawakan
ke jalan dalam aksi demonstrasi dengan isu menolak rapid test/swab test sebagai syarat administrasi pada 26 Juli 2020.
Berbagai media nasional mengangkat isu ini hingga mengundang perdebatan nasional. akhirnya isu penolakan ini tidak mampu disanggah termasuk oleh dokter dan juga pihak Kantor Staf Kepresidenan (KSP).
Bahkan, banyak pihak baik akademisi, dokter, otoritas sepakat bahwa rapid test/swab test tidak tepat digunakan sebagai syarat administrasi.
Setelah banyak pihak terutama pihak KSP sepakat terkait isu tersebut, terdakwa berpikir ada harapan perubahan kebijakan.
Namun, tepatnya 3 Agustus 2020 terdakwa dipanggil sebagai saksi oleh pihak penyidik Ditkrimsus Polda Bali.
Pada saat itulah terdakwa tahu sudah dilaporkkan oleh IDI Bali sejak 16 Juni 2020. Terdakwa akhirnya tahu, SPDP (Surat Dimulainya Penyidikan Perkara) atas perkara aquo sudah
dikirim ke Kejaksaan Tinggi Bali sejak 27 Juli 2020 atau sehari setelah terdakwa membuat heboh Indonesia dengan menggelar demo menolak rapid test /swab test sebagai syarat administrasi.
“Apakah ini kebetulan?” sindirnya. Disebutkan Adi, ada beberapa hal yang janggal dalam proses ini. Jika diperhatikan secara kronologis, terdakwa dilaporkan pada 16 Juni 2020.
Namun, selama proses itu terdakwa tidak pernah dipanggil untuk klarifikasi atas laporan tersebut, yang ada justru terdakwa pada saat itu
langsung dipanggil sebagai saksi dan baru saat itulah terdakwa mengetahui bahwa perkara ini sudah dilakukan SPDP.
“Ini sangat janggal karena belakangan dalam sistem peradilan pidana di negara kita sudah mulai mengembangkan keadilan
restoratif/restorative justice. Artinya tidak semua perkara harus diselesaikan di pengadilan,” beber pengacara muda itu.
Namun, sebagaimana Perkap Nomor 6/2019 dan Surat Edaran Kapolri Nomor 8/2018 memberikan batasan waktu untuk menggunakan mekanisme ini yakni, sejak dari penyelidikan hingga tahap penyidikan (sebelum SPDP).
Artinya, lanjut Adi, jika penyidik sudah mengirimkan SPDP maka peluang penyelesaian permasalahan hukum melalui mekanisme keadilan restoratif sudah tertutup.
Dalam perkara aquo, perkara ini sudah tertutup peluang penyelesaian melalui mekanisme keadilan restoratif sudah tertutup sejak 27 Juli 2020, yakni saat penyidik mengirimkan SPDP ke Kejaksaan Tinggi Bali.
Dengan tidak pernah dipanggilnya terdakwa sebagai terlapor, mengakibatkan terdakwa tidak tahu mengenai laporan perkara aquo,
otomatis terdakwa tidak punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan pihak IDI dan tidak punya kesempatan menyelesaikan masalah melalui keadilan restoratif.
Fahmi Yanuar Siregar melanjutkan, kejanggalan lain yang mencolok adalah tanggal pengiriman SPDP ke Kejaksaan Tinggi Bali yakni 27 Juli 2020
atau sehari setelah terdakwa dkk menggelar demo menolak rapid test/swab test sebagai syarat administrasi.
“Apakah ini kebetulan ataukah ini adalah upaya membungkam Terdakwa agar tidak lagi bersuara beda terkait Covid-19?
Apakah ini cara menghentikan terdakwa bertanya kritis atas kebijakan pemerintah,” ucapnya dengan nada menggebu.
Tanpa ada kesempatan klarifikasi, tanpa ada kesempatan menempuh restorative justice, sehingga melupakan asas hukum pidana yang krusial yakni ultimum remidium atau hukum pidana sebagai jalan terakhir.
Ditegaskan, semestinya IDI yang terdiri dari ribuan intektual dengan berbagai strata pendidikan dari dokter hingga profesor, tidak kesulitan menjawab pertanyaan terdakwa.
“Sebegitu lemahkah IDI sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan Terdakwa? Tidakkah IDI punya kemampuan komunikasi publik,
sehinggga tidak mampu menjaga fitrah dari kebebasan berpendapat dan memilih menggunakan UU ITE yang sangat karet,” cetusnya menyindir.