GIANYAR– Parekan, semacam pengayah atau warga yang ditugasi merawat Pura Samuan Tiga menggugat puranya sendiri. Parekan I Wayan Sura mengaku memiliki pipil dan SPPT atas tanah seluas 11 are di Jalan Raya Bedulu. Di sisi lain, krama pura yang terdiri dari 11 Banjar adat, sudah mengantongi sertifikat.
Ribuan krama pun mendatangi PN Gianyar, untuk menonton sidang mediasi, Kamis (28/9). Namun kedatangan krama terhalang pintu gerbang yang dijaga puluhan polisi. Hanya yang berkepentingan yang diperbolehkan masuk.
Di dalam gedung PN, kuasa hukum penggugat Made Kartika, mengaku kliennya punya bukti kepemilikan. “Sebelumnya mereka diundang ke pura bahwa tanah disitu sudah bersertifikat. Sedangkan klien kami dititipkan melalui kakek, bahwa punya pipil dan pembayaran pajak,” ujarnya.
Nah, pada 1992 pernah ada pengukuran dan ada surat dari lembaga tertentu bahwa tanah itu atas nama kakek penggugat I Dobel. Terkait muncul sertifikat, keluarga penggugat baru tahu. “Dulu kakeknya sosial. Dipakai kepentingan publik, maka diberikan meminjam tanah untuk balai pertemuan Banjar, kantor desa lama dan TK,” jelasnya.
Termasuk tanah SD yang diperoleh lewat tukar guling pun milik penggugat dulu. Namun sudah diganti rugi oleh Pemda Gianyar. “Keterangan penggugat tidak tahu kapan diukur. Yang jelas terbit sertifikat 1992. Upaya kami menguji saja. Karena kami dari tim hukum melihat ada kejanggalan tertulis di sertifikat yang diberikan ke klien kami,” ujarnya.
Kejanggalan di antaranya, tidak ada nomor, asal muasal hak. Bahkan tanah masuk kelas 2, padahal itu kelas 1. “Peruntukkan tanah itu pertanian kelas 1, daerah pemukiman. Itu yang kami ujikan,” ujarnya.
Untuk penggugat memang tidak bisa hadir. “Dua hari lalu klien kami curhat. Maka kami mohon agar tergugat (massa pangempon) menahan diri. Agar proses pengujian secara hukum, mohon tidak melibatkan massa, memprovokasi. Terus terang klien kami merasa terintimidasi. Mereka tidak bisa hadir takut kenapa-kenapa, menghindari hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.
Sekarang mereka memperjuangkan hak leluhur. “Kami mohon jangan diintervensi secara sosial,” pintanya.
Sementara itu, Ketua Pangempon Pura Samuan Tiga, Gusti Ngurah Serana, menyatakan sudah memiliki sertifikat. “Dari pihak pura punya sertifikat dari 1992,” ujarnya.
Mengenai kedatangan massa, pertama untuk nunas Ica agar tidak terulang kasus adat. “Kami melihat ini ada keanehan. Sertifikat sudah lama, disana ada SD. Di sertifikat SD dijelaskan di sebelahnya (penyanding, red) tanah milik pura (yang digugat, red). Ini kan keanehan. Ada apa di balik nama besar Pura Samuan Tiga,” ungkapnya.
Prajuru sudah memberikan arahan kepada krama penggugat yang berstatus sebagai Parekan pura. “Jangan gugat pura. Ada jalan lain, jangan bikin ribut di pura, boleh dengan BPN saja. Kalau sudah dinyatakan sertifikat gugur ya menyerahkan,” ujar Serana selaku tergugat I.
Parekan itu, menggugat pura sebagai tergugat I yang diwakili Serana. Lalu gugatan dua ke Sekretaris dan gugatan ketiga BPN. “Itu yang menyebabkan masyarakat menjadi kaget. Bahkan tuntutan sampai Rp 7,775 Miliar. Ini menyebabkan pangempon pura kaget,” ujarnya.
Serana mengaku, penggugat ini di pura berstatus di pura Parekan. Dia tergolong orang yang paling dekat dengan ayahan di pura. “Semestinya dia sadar bagaimana dia mengayomi pura. Ini tempat ngayah, ngodalin. Jangan bikin ribut,” ujarnya.
Pihaknya sudah mediasi berulang kali bicara baik-baik. “Kami sudah turunkan pengurus membicarakan ini, kami antisipasi betul,” ujarnya.
Sementara itu, sidang mediasi akan dilanjutkan pekan depan. Sebab, penggugat tidak hadir. (dra)