26.2 C
Jakarta
26 April 2024, 4:02 AM WIB

Dua Direksi BPR Legian Ikut Dituntut 10 Tahun Bui, Denda Rp 10 Miliar

DENPASAR– Terdakwa I Gede Made Karyawan (Kepala Bisnis PT BPR Legian) dan Ni Putu Dewi Wirastini (Direktur Kepatuhan PT BPR Legian) mengalami nasib serupa dengan terdakwa Indra Wijaya (Dirut PT BPR Legian).

 

Baik Karyawan maupun Dewi sama-sama dituntut sepuluh tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam sidang sebelumnya, Indra juga dituntut pidana penjara selama satu dasa warsa.

 

Tidak hanya tuntutan pidana penjara, besaran tuntutan pidana denda juga sama. “Terdakwa Karyawan dan Wirastini dituntut pidana denda sebesar Rp10 miliar subsider enam bulan kurungan,” ujar JPU I Putu Eri Setiawan didampingi Kasi Intel I Putu Eka Suyantha, Jumat (31/12).

 

Dalam tuntutannya JPU Eri menilai terdakwa Karyawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana Perbankan.

 

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 ayat (1) Huruf a UU Nomor 7/1992 tentang Perbankan juncto Pasal  55 ayat (1) ke -1 KUHP.

 

Setali tiga uang, dalam sidang terpisah JPU I Putu Bayu Pinarta juga menilai terdakwa Dewi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana Perbankan. Pasal yang dikenakan juga sama.

 

“Para terdakwa akan mengajukan pledoi pada sidang selanjutnya,” tukas Suyantha.

 

Seperti diuraikan dalam dakwaan, terdakwa Indra Wijaya bersama Karyawan dan Dewi diduga sengaja melakukan pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan transaksi BPR Legian pada kurun waktu 2017-2018.

 

Para terdakwa melakukan transaksi sebesar Rp23,1 miliar untuk kepentingan pribadi bos PT BPR Legian, Titian Wilaras. Titian sendiri saat ini sedang menjalani pidana penjara delapan tahun.

 

Dalam mengajukan tuntutan, JPU mengajukan pertimbangan memberatkan dan meringankan. Pertimbangan memberatkan terdakwa tidak menjalankan tugasnya sebagai Dirut PT BPR Legian dengan baik sesuai dengan aturan yang berlaku.

 

Sementara pertimbangan meringankan selama persidangan terdakwa bersikap sopan, mengakui perbuatannya, dan merupakan tulang punggung keluarga.

 

Dana Rp23,1 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi Titain Wilaras selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP). Padahal, terdakwa dan saksi lainnya tahu perbuatan itu melanggar Undang-Undang Perbankan. Total transaksi sebesar  Rp 23,1 miliar.

 

Transaksi Rp 23,1 miliar tersebut di antaranya digunakan untuk membeli berbagai mobil mewah dan apartemen. Misalnya, pada 3 April  2018 transfer sebesar Rp2,2 miliar untuk pembelian mobil Mercy.

 

Selanjutnya 15 Mei 2018 transfer sebesar Rp2,3 miliar untuk pembelian mobil Range Rover, tanggal 16 Mei  2018 tranfser sebesar Rp205 juta untuk pembelian senjata api, dan 7 Juni 2018 transfer sebesar Rp5,5 miliar untuk pembelian apartemen Senayan City Residence.

 

Hal itu dilakukan  dengan cara membukukan  pada pos Biaya Dibayar Dimuka (BDD) atas beban kas  dan/atau antar bank aktiva (ABA). Meskipun tanpa disertai underlying/dokumen pendukung,  serta  tidak  dilampirkan memo intern sesuai  dengan  ketentuan  yang  berlaku di BPR Legian. 

 

Pencatatan sebagai BDD tersebut tidak sesuai dengan PSAK Nomor 9 tentang Penyajian Aktiva Lancar dan  kewajiban  jangka  pendek, seperti pembayaran premi asuransi.

 

Saat itu saksi Indra Wijaya, terdakwa, dan saksi lainnya menyadari hal tersebut merupakan penyimpangan ketentuan perbankan. Namun, hal itu tetap dilakukan  dikarenakan adanya perintah dari saksi Titian Wilaras selaku PSP BPR  Legian.

 

Pada saat saldo tabungannya tidak mencukupi, Titian Wilaras masih memerintahkan pembayaran untuk keperluan pribadi. Saksi Indra wijaya selalu mengingatkan Titian Wilaras untuk tidak menggunakan uang bank untuk kepentingan pribadi. Hal itu berisiko menjadi temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

Tetapi hal itu ditanggapi santai oleh Titian Wilaras, dengan mengatakan akan menyelesaikan semuanya karena masih memiliki cukup uang.

 

Pada 29 Agustus 2018, saksi Titian Wilaras memerintahkan terdakwa dan saksi lainnya untuk melakukan pencairan 12 bilyet deposito  milik nasabah yang belum jatuh tempo (break) dengan nilai total  dana sebesar Rp11,7 miliar.

 

Dana tersebut pencairannya tidak diterima oleh deposan melainkan digunakan untuk pemenuhan komitmen Tititan Wilaras. Hal itu menjadi temuan  pemeriksaan pengawas  OJK Kantor Regional VIII.

 

 

 

DENPASAR– Terdakwa I Gede Made Karyawan (Kepala Bisnis PT BPR Legian) dan Ni Putu Dewi Wirastini (Direktur Kepatuhan PT BPR Legian) mengalami nasib serupa dengan terdakwa Indra Wijaya (Dirut PT BPR Legian).

 

Baik Karyawan maupun Dewi sama-sama dituntut sepuluh tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam sidang sebelumnya, Indra juga dituntut pidana penjara selama satu dasa warsa.

 

Tidak hanya tuntutan pidana penjara, besaran tuntutan pidana denda juga sama. “Terdakwa Karyawan dan Wirastini dituntut pidana denda sebesar Rp10 miliar subsider enam bulan kurungan,” ujar JPU I Putu Eri Setiawan didampingi Kasi Intel I Putu Eka Suyantha, Jumat (31/12).

 

Dalam tuntutannya JPU Eri menilai terdakwa Karyawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana Perbankan.

 

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 ayat (1) Huruf a UU Nomor 7/1992 tentang Perbankan juncto Pasal  55 ayat (1) ke -1 KUHP.

 

Setali tiga uang, dalam sidang terpisah JPU I Putu Bayu Pinarta juga menilai terdakwa Dewi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana Perbankan. Pasal yang dikenakan juga sama.

 

“Para terdakwa akan mengajukan pledoi pada sidang selanjutnya,” tukas Suyantha.

 

Seperti diuraikan dalam dakwaan, terdakwa Indra Wijaya bersama Karyawan dan Dewi diduga sengaja melakukan pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan transaksi BPR Legian pada kurun waktu 2017-2018.

 

Para terdakwa melakukan transaksi sebesar Rp23,1 miliar untuk kepentingan pribadi bos PT BPR Legian, Titian Wilaras. Titian sendiri saat ini sedang menjalani pidana penjara delapan tahun.

 

Dalam mengajukan tuntutan, JPU mengajukan pertimbangan memberatkan dan meringankan. Pertimbangan memberatkan terdakwa tidak menjalankan tugasnya sebagai Dirut PT BPR Legian dengan baik sesuai dengan aturan yang berlaku.

 

Sementara pertimbangan meringankan selama persidangan terdakwa bersikap sopan, mengakui perbuatannya, dan merupakan tulang punggung keluarga.

 

Dana Rp23,1 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi Titain Wilaras selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP). Padahal, terdakwa dan saksi lainnya tahu perbuatan itu melanggar Undang-Undang Perbankan. Total transaksi sebesar  Rp 23,1 miliar.

 

Transaksi Rp 23,1 miliar tersebut di antaranya digunakan untuk membeli berbagai mobil mewah dan apartemen. Misalnya, pada 3 April  2018 transfer sebesar Rp2,2 miliar untuk pembelian mobil Mercy.

 

Selanjutnya 15 Mei 2018 transfer sebesar Rp2,3 miliar untuk pembelian mobil Range Rover, tanggal 16 Mei  2018 tranfser sebesar Rp205 juta untuk pembelian senjata api, dan 7 Juni 2018 transfer sebesar Rp5,5 miliar untuk pembelian apartemen Senayan City Residence.

 

Hal itu dilakukan  dengan cara membukukan  pada pos Biaya Dibayar Dimuka (BDD) atas beban kas  dan/atau antar bank aktiva (ABA). Meskipun tanpa disertai underlying/dokumen pendukung,  serta  tidak  dilampirkan memo intern sesuai  dengan  ketentuan  yang  berlaku di BPR Legian. 

 

Pencatatan sebagai BDD tersebut tidak sesuai dengan PSAK Nomor 9 tentang Penyajian Aktiva Lancar dan  kewajiban  jangka  pendek, seperti pembayaran premi asuransi.

 

Saat itu saksi Indra Wijaya, terdakwa, dan saksi lainnya menyadari hal tersebut merupakan penyimpangan ketentuan perbankan. Namun, hal itu tetap dilakukan  dikarenakan adanya perintah dari saksi Titian Wilaras selaku PSP BPR  Legian.

 

Pada saat saldo tabungannya tidak mencukupi, Titian Wilaras masih memerintahkan pembayaran untuk keperluan pribadi. Saksi Indra wijaya selalu mengingatkan Titian Wilaras untuk tidak menggunakan uang bank untuk kepentingan pribadi. Hal itu berisiko menjadi temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

Tetapi hal itu ditanggapi santai oleh Titian Wilaras, dengan mengatakan akan menyelesaikan semuanya karena masih memiliki cukup uang.

 

Pada 29 Agustus 2018, saksi Titian Wilaras memerintahkan terdakwa dan saksi lainnya untuk melakukan pencairan 12 bilyet deposito  milik nasabah yang belum jatuh tempo (break) dengan nilai total  dana sebesar Rp11,7 miliar.

 

Dana tersebut pencairannya tidak diterima oleh deposan melainkan digunakan untuk pemenuhan komitmen Tititan Wilaras. Hal itu menjadi temuan  pemeriksaan pengawas  OJK Kantor Regional VIII.

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/