25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:37 AM WIB

Kebun Di Bumi Yang Belum Jadi

Oleh: Dahlan Iskan

Ini hanya bisa dilakukan oleh pemilik celana yang sakunya amat dalam. Seperti Grup Hartono, pemilik Grup Djarum itu. Sudah lima tahun terus keluar uang. Belum ada penghasilan. Masih dua tahun lagi akan terus keluar uang. Lebih besar. Belum juga ada penghasilan.

Penghasilannya baru mulai tiba tahun 2021 nanti. Setelah delapan tahun terus-menerus keluar uang. Kalau saku celananya tidak benar-benar dalam perusahaan itu sudah kehabisan nafas di tengah jalan.

Sejak awal saya tahu: Grup Hartono punya konsep modern  mengatasi alam gersang Sumba Timur: menggunakan teknologi irigasi hemat air. Yang dikenal dengan drip irigation. Irigasi tetesan air. Tidak banyak air yang diperlukan.

Teknologi itulah yang telah jadi kisah sukses Israel. Yang tanahnya juga tandus. Yang kini pertaniannya maju.
Saya sudah pernah minta teknologi itu diterapkan di kebun tebu di Subang, Jabar. Lima tahun lalu. Untuk lahan ujicoba dua hektar. Hasilnya: bisa 120 ton per hektar. Naik 40 persen. Tentu saya tidak tahu lagi kelanjutan program tersebut.

Teori dasarnya: kebun tebu perlu banyak air. Di musim tanamnya. Musim hujan yang pendek di Sumba Timur cukup membantu. Tapi tanaman tebu juga tidak mau banyak air. Sejak tebu berumur lima bulan. Yakni saat gula mulai diproduksi di pohonnya. Untuk tahap ini alam Sumba Timur memang tidak banyak air. Bahkan terlalu kering. Tapi irigasi tetesan air bisa mengatasinya.

Dari tipologi tanaman tebu seperti itulah lantas tercipta pertanyaan menjebak untuk murid SD: di manakah gula dibuat? Jawaban yang lazim: di pabrik gula. Jawaban yang benar: di kebun tebu. Pabrik gula itu hanya ibarat rumah sakit bersalin. Membuat bayinya di tempat tidur masing-masing. Kadang juga di kebun tebu.

Pembuatan gula itu dikatakan berhasil kalau: cukup air di musim tanam dan kurang air setelah itu.

Tapi saya kaget saat tiba di kebun tebu grup Grup Hartono  di Sumba Timur itu: begitu banyak proyek pembuatan embung. Ini yang di luar dugaan saya.

Saya pikir tidak perlu bikin kolam-kolam raksasa itu. Saya pikir airnya cukup dari sungai kecil di sana. Yang bisa dibendung. Lalu dipompa. Dimasukkan selang-selang drip irigation.

Ternyata ada problem sosial. Air sungai yang sedikit itu masih diperlukan penduduk. Untuk minum ternak. Dan tanaman mereka. Kebun tebu tidak boleh mengganggu itu. Air yang boleh dipompa hanya yang betul-betul sisa petani. Di bagian sungai yang sudah dekat laut. Yang kalau tidak dipakai juga akan terbuang ke samudera Hindia.

Berarti tambah lagi biayanya: tiap 300 hektar perlu satu kolam raksasa. Untuk tahap pertama ini harus membangun lebih dari 100 kolam. Yang kolam itu harus ditinggikan. Agar dasar kolam lebih tinggi dari kebun tebu.

Dari kolam itulah air dimasukkan ke selang irigasi. Selang itu digelar berbaris-baris sesuai dengan barisan tanaman tebu. Warna selang: hitam. Lebih hitam dari kulit saya. Ukuran selang: sedikit lebih besar dari ibu jarinya Nella Kharisma. Atau sedikit lebih kecil dari ibu jarinya Via Vallen.

Misal: tahap pertama kebun tebu itu seluas 6.000 ha saja. Bisa dibayangkan berapa ribu kilometer jaringan selang itu. Betapa mahal harganya.

Itu bukan selang biasa. Tiap 30 cm ada lubangnya. Tidak terlihat oleh mata. Saya pernah mencoba. Enam tahun lalu. Selang itu saya potong sependek setengah meter. Lubang di ujung selang saya tutup dengan telapak tangan. Lubang ujung satunya saya masukkan mulut. Saya tiup sekuat tenaga. Ujung jari saya tertempel di lubang kecil di selang itu. Tidak terasa ada angin keluar. Padahal saya sampai ngeden meniupnya.

Teknologi pembuatan lubang itulah yang canggih. Yang tidak mudah ditiru. Menjadi rahasia Israel.

Air bisa menetes dari dalamnya. Tetesan itu begitu pelannya. Merata di semua lubang. Yang dekat kolam. Yang jauh dari kolam.

Itu membuat tanah di sekitar tetesan basah. Bentuk tanah basahnya seperti bentuk bawang. Tanah di luar bawang itu tetap kering. Bawang itu ada tepat di akar tebu.

Begitu hemat airnya. Tidak ada yang merembes ke tanah di luar akar. Tidak ada air yang menguap sia-sia. Irigasi air mengalir terasa begitu borosnya.

Dan itulah yang mahal. Itu pula yang membuat kebun tebu ini hijau. Di tengah padang kering di Sumba Timur.
Tidak sehijau komplek villa Nihi Sumba yang terbaik di dunia. Tapi kebun tebu ini akan jadi yang pertama di Indonesia. (dis)

Oleh: Dahlan Iskan

Ini hanya bisa dilakukan oleh pemilik celana yang sakunya amat dalam. Seperti Grup Hartono, pemilik Grup Djarum itu. Sudah lima tahun terus keluar uang. Belum ada penghasilan. Masih dua tahun lagi akan terus keluar uang. Lebih besar. Belum juga ada penghasilan.

Penghasilannya baru mulai tiba tahun 2021 nanti. Setelah delapan tahun terus-menerus keluar uang. Kalau saku celananya tidak benar-benar dalam perusahaan itu sudah kehabisan nafas di tengah jalan.

Sejak awal saya tahu: Grup Hartono punya konsep modern  mengatasi alam gersang Sumba Timur: menggunakan teknologi irigasi hemat air. Yang dikenal dengan drip irigation. Irigasi tetesan air. Tidak banyak air yang diperlukan.

Teknologi itulah yang telah jadi kisah sukses Israel. Yang tanahnya juga tandus. Yang kini pertaniannya maju.
Saya sudah pernah minta teknologi itu diterapkan di kebun tebu di Subang, Jabar. Lima tahun lalu. Untuk lahan ujicoba dua hektar. Hasilnya: bisa 120 ton per hektar. Naik 40 persen. Tentu saya tidak tahu lagi kelanjutan program tersebut.

Teori dasarnya: kebun tebu perlu banyak air. Di musim tanamnya. Musim hujan yang pendek di Sumba Timur cukup membantu. Tapi tanaman tebu juga tidak mau banyak air. Sejak tebu berumur lima bulan. Yakni saat gula mulai diproduksi di pohonnya. Untuk tahap ini alam Sumba Timur memang tidak banyak air. Bahkan terlalu kering. Tapi irigasi tetesan air bisa mengatasinya.

Dari tipologi tanaman tebu seperti itulah lantas tercipta pertanyaan menjebak untuk murid SD: di manakah gula dibuat? Jawaban yang lazim: di pabrik gula. Jawaban yang benar: di kebun tebu. Pabrik gula itu hanya ibarat rumah sakit bersalin. Membuat bayinya di tempat tidur masing-masing. Kadang juga di kebun tebu.

Pembuatan gula itu dikatakan berhasil kalau: cukup air di musim tanam dan kurang air setelah itu.

Tapi saya kaget saat tiba di kebun tebu grup Grup Hartono  di Sumba Timur itu: begitu banyak proyek pembuatan embung. Ini yang di luar dugaan saya.

Saya pikir tidak perlu bikin kolam-kolam raksasa itu. Saya pikir airnya cukup dari sungai kecil di sana. Yang bisa dibendung. Lalu dipompa. Dimasukkan selang-selang drip irigation.

Ternyata ada problem sosial. Air sungai yang sedikit itu masih diperlukan penduduk. Untuk minum ternak. Dan tanaman mereka. Kebun tebu tidak boleh mengganggu itu. Air yang boleh dipompa hanya yang betul-betul sisa petani. Di bagian sungai yang sudah dekat laut. Yang kalau tidak dipakai juga akan terbuang ke samudera Hindia.

Berarti tambah lagi biayanya: tiap 300 hektar perlu satu kolam raksasa. Untuk tahap pertama ini harus membangun lebih dari 100 kolam. Yang kolam itu harus ditinggikan. Agar dasar kolam lebih tinggi dari kebun tebu.

Dari kolam itulah air dimasukkan ke selang irigasi. Selang itu digelar berbaris-baris sesuai dengan barisan tanaman tebu. Warna selang: hitam. Lebih hitam dari kulit saya. Ukuran selang: sedikit lebih besar dari ibu jarinya Nella Kharisma. Atau sedikit lebih kecil dari ibu jarinya Via Vallen.

Misal: tahap pertama kebun tebu itu seluas 6.000 ha saja. Bisa dibayangkan berapa ribu kilometer jaringan selang itu. Betapa mahal harganya.

Itu bukan selang biasa. Tiap 30 cm ada lubangnya. Tidak terlihat oleh mata. Saya pernah mencoba. Enam tahun lalu. Selang itu saya potong sependek setengah meter. Lubang di ujung selang saya tutup dengan telapak tangan. Lubang ujung satunya saya masukkan mulut. Saya tiup sekuat tenaga. Ujung jari saya tertempel di lubang kecil di selang itu. Tidak terasa ada angin keluar. Padahal saya sampai ngeden meniupnya.

Teknologi pembuatan lubang itulah yang canggih. Yang tidak mudah ditiru. Menjadi rahasia Israel.

Air bisa menetes dari dalamnya. Tetesan itu begitu pelannya. Merata di semua lubang. Yang dekat kolam. Yang jauh dari kolam.

Itu membuat tanah di sekitar tetesan basah. Bentuk tanah basahnya seperti bentuk bawang. Tanah di luar bawang itu tetap kering. Bawang itu ada tepat di akar tebu.

Begitu hemat airnya. Tidak ada yang merembes ke tanah di luar akar. Tidak ada air yang menguap sia-sia. Irigasi air mengalir terasa begitu borosnya.

Dan itulah yang mahal. Itu pula yang membuat kebun tebu ini hijau. Di tengah padang kering di Sumba Timur.
Tidak sehijau komplek villa Nihi Sumba yang terbaik di dunia. Tapi kebun tebu ini akan jadi yang pertama di Indonesia. (dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/