26.7 C
Jakarta
12 September 2024, 19:28 PM WIB

Ini Plus Minus Metode Kuota Hare dan Sainte Lague yang Perlu Anda Tahu

DENPASAR – Sebagai penggiat pemilu, mantan Ketua KPU Bali I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa menilai metode penghitungan Sainte Lague memiliki sisi positif dan negatif.

Dengan metode kuota Hare, kata dia, parpol kecil bisa diakomodasi, namun di sisi lain parpol besar yang mendulang suara maksimal merasa dirugikan karena suara mereka beralih atau dibagi kepada parpol lain.

“Dengan sistem hare penghitungan kursi partai berbeda-beda. Ada parpol dengan suara penuh untuk satu kursi, ada yang hanya seperempat suara namun juga dapat kursi. Ini dinilai tidak adil,” ungkap Lanang Perbawa.

Lebih lanjut Lanang memberikan gambaran mengenai dua sistem penghitungan suara tersebut.  Ia mencontohkan perolehan suara pada pemilihan Legislatif 2019.

Misalnya dalam Pileg 2019 perolehan suara PDIP 220.000, NasDem 100.000, Gerindra 30.000, dan PAN 25.000.

Bila dengan sistem kuota Hare ditentukan harga 1 kursi adalah 200.000, maka perolehan kursi maka PDIP mendapat 1 kursi dengan sisa suara 20.000, NasDem 0 kursi sisa 100.000, Gerindra 0 kursi sisa 30.000, dan PAN 0 kursi sisa 25.000.

Karena masih ada sisa 3 kursi, maka suara diberikan ke kursi terbanyak, yaitu NasDem, Gerindra, dan PAN.

Akhirnya PDIP 1 kursi, NasDem 1 kursi, Gerindra 1 kursi, dan PAN 1 kursi. Ini dinilai banyak pihak tidak adil karena suara PDIP 2 kali suara NasDem, 7 kali suara Gerindra, dan 9 kali suara PAN.

Sementara dengan Sainte Lague Murni, pembagi yang dipakai bukan kuota kursi, tetapi perolehan suara dibagi 1,3,5,7 untuk urutan masing masing kursi.

Misalnya, untuk perebutan kursi pertama antara PDIP dengan 220.000, Gerindra 100.000, Golkar 30.000, PAN 25.000.

Jadi kursi pertama 1 kursi untuk yang tertinggi PDIP. Kursi kedua suara PDIP 220.000: 3 = 73.333. Karena suara NasDem 100 ribu, Gerindra 30 ribu, dan PAN 25 ribu, maka NasDem mendapat 1 kursi karena mengoleksi 100 ribu suara.

Untuk kursi ketiga (PDIP : 220.000/3 = 73.333, NasDem 100.000/3 = 33.333, Gerindra 30.000, PAN 25.000), maka 1 kursi kembali untuk PDIP karena memiliki 73.333 suara untuk kursi yang kedua pada perebutan kursi dapil yang ke-3.

Kursi keempat (PDIP : 220.000/5 = 44.000, NasDem 100.000/3 = 33.333, Gerindra 30.000, PAN 25.000) jadi 1 kursi kembali untuk PDIP karena meraih suara tertinggi untuk kursi ke-3, yaitu 44.000 untuk kursi dapil yang ke 4.

Total akhir kursi terbagi menjadi PDIP 3 kursi, NasDem 1 kursi, Gerindra 0 kursi, dan PAN 0 kursi. Lanang Perbawa menyebut faktor inilah yang membuat parpol besar ngotot sistem Sainte Lague yang digunakan.

 

DENPASAR – Sebagai penggiat pemilu, mantan Ketua KPU Bali I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa menilai metode penghitungan Sainte Lague memiliki sisi positif dan negatif.

Dengan metode kuota Hare, kata dia, parpol kecil bisa diakomodasi, namun di sisi lain parpol besar yang mendulang suara maksimal merasa dirugikan karena suara mereka beralih atau dibagi kepada parpol lain.

“Dengan sistem hare penghitungan kursi partai berbeda-beda. Ada parpol dengan suara penuh untuk satu kursi, ada yang hanya seperempat suara namun juga dapat kursi. Ini dinilai tidak adil,” ungkap Lanang Perbawa.

Lebih lanjut Lanang memberikan gambaran mengenai dua sistem penghitungan suara tersebut.  Ia mencontohkan perolehan suara pada pemilihan Legislatif 2019.

Misalnya dalam Pileg 2019 perolehan suara PDIP 220.000, NasDem 100.000, Gerindra 30.000, dan PAN 25.000.

Bila dengan sistem kuota Hare ditentukan harga 1 kursi adalah 200.000, maka perolehan kursi maka PDIP mendapat 1 kursi dengan sisa suara 20.000, NasDem 0 kursi sisa 100.000, Gerindra 0 kursi sisa 30.000, dan PAN 0 kursi sisa 25.000.

Karena masih ada sisa 3 kursi, maka suara diberikan ke kursi terbanyak, yaitu NasDem, Gerindra, dan PAN.

Akhirnya PDIP 1 kursi, NasDem 1 kursi, Gerindra 1 kursi, dan PAN 1 kursi. Ini dinilai banyak pihak tidak adil karena suara PDIP 2 kali suara NasDem, 7 kali suara Gerindra, dan 9 kali suara PAN.

Sementara dengan Sainte Lague Murni, pembagi yang dipakai bukan kuota kursi, tetapi perolehan suara dibagi 1,3,5,7 untuk urutan masing masing kursi.

Misalnya, untuk perebutan kursi pertama antara PDIP dengan 220.000, Gerindra 100.000, Golkar 30.000, PAN 25.000.

Jadi kursi pertama 1 kursi untuk yang tertinggi PDIP. Kursi kedua suara PDIP 220.000: 3 = 73.333. Karena suara NasDem 100 ribu, Gerindra 30 ribu, dan PAN 25 ribu, maka NasDem mendapat 1 kursi karena mengoleksi 100 ribu suara.

Untuk kursi ketiga (PDIP : 220.000/3 = 73.333, NasDem 100.000/3 = 33.333, Gerindra 30.000, PAN 25.000), maka 1 kursi kembali untuk PDIP karena memiliki 73.333 suara untuk kursi yang kedua pada perebutan kursi dapil yang ke-3.

Kursi keempat (PDIP : 220.000/5 = 44.000, NasDem 100.000/3 = 33.333, Gerindra 30.000, PAN 25.000) jadi 1 kursi kembali untuk PDIP karena meraih suara tertinggi untuk kursi ke-3, yaitu 44.000 untuk kursi dapil yang ke 4.

Total akhir kursi terbagi menjadi PDIP 3 kursi, NasDem 1 kursi, Gerindra 0 kursi, dan PAN 0 kursi. Lanang Perbawa menyebut faktor inilah yang membuat parpol besar ngotot sistem Sainte Lague yang digunakan.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/