28.4 C
Jakarta
19 September 2024, 23:33 PM WIB

Tinggal Sejak Lima Generasi, Dulu Sering Menghaturkan Panen ke Puri

Keberadaan warga di Banjar Selasih, di Desa Puhu, Kecamatan Payangan tak lepas dari peran Puri Agung Payangan.

Sejak lima generasi lalu, warga sudah menetap di areal pertanian di Banjar Selasih. Secara tiba-tiba, warga kaget karena tanah yang biasa mereka tempati beralih milik investor.

IB INDRA PRASETIA, Gianyar
TURUN tebing berliku. Kemudian naik bukit. Begitu jalan yang harus ditempuh untuk menuju wilayah Banjar Selasih di Desa Puhu, Kecamatan Payangan.

Di siang hari saja, pengendara yang melintas harus hati-hati karena jalan menempel di sisi tebing.

Apalagi bila malam hari. Gelap, karena tanpa lampu penerang jalan. Meski begitu, itulah rumah bagi warga Banjar Selasih.

“Kami sudah lima generasi tinggal di Selasih. Dari kakeknya kakek saya,” ujar Mangku Made Sanggup, didampingi putranya.

Mangku Made Sanggup pun bercerita jika leluhurnya dulu punya hubungan dengan kerajaan di Puri Agung Payangan.

Puri berada di jantung Kecamatan Payangan. Jarak antara Puri Payangan dengan Banjar Selasih sekitar 5 kilometer ke arah utara.

“Dulu leluhur kami tinggal di puri. Ngayah, bersihkan merajan (tempat suci, red) di puri. Membantu keluarga puri,” terangnya.

Akhirnya, karena kebijakan puri, beberapa warga diberikan lahan di Banjar Selasih. “Di tanah yang sama investor ini. Kami dikasih tinggal di sini. Menggarap lahan pertanian,” terangnya.

Sebagai gantinya, leluhurnya pun sering menghaturkan hasil panen ke puri. “Kalau panen, bawa hasil panen ke puri. Istilahnya kami ngaturan (mempersembahkan, red),” jelasnya.

Hubungan tersebut, kata dia, berlangsung dari zaman kerajaan hingga zaman kemerdekaan. Bahkan hubungan warga ke puri berlangsung sampai zaman orde baru atau era 1990-an.

Ketika di puri ada hajatan, baik upacara suka duka keluarganya dan beberapa warga yang diberi tempat di Selasih pasti hadir ke puri.

“Orang tua kami ngayah (kerja sosial, red). Saya sendiri juga ikut datang ke puri membantu. Kalau acara kematian, pernikahan, kami ikut,” jelasnya.

Dulu, tradisi mempersembahkan hasil panen ke puri juga masih sering dilakukan. “Kalau orang tua saya panen pisang.

Saya ikut ke puri antarkan pisang. Apa hasil panen di ladang kami haturkan ke puri,” terangnya.

Timbal balik hubungan warga dengan puri mulai renggang sejak 1993 silam. “Waktu itu, tiba-tiba dari investor datang. Mengaku kalau tanah itu sudah dibeli sama investor,” jelasnya.

Warga pun kaget mendengar. “Tidak ada bilang apa-apa dari pemilik awal. Tiba-tiba dijual, begitu saja,” terangnya.

Sejak kedatangan investor itulah, warga tidak pernah lagi berhubungan ke puri. Meski begitu, warga sehari-hari tetap hidup dan menggarap lahan di Selasih.

Seperti yang dilakukan keluarga Mangku Sanggup bersama tiga putranya. Dia membuat rumah berasitektur Bali di atas lahan investor.

Di tengah konflik dan peralihan kepemilikan dari puri ke investor, dia pun mempercantik rumahnya.

Tembok merajan miliknya diganti batu gunung berwana hitam. Kemudian, halaman rumahnya dipercantik menggunakan batu sikat.

“Ya, karena mau rusak. Kan tetap harus kami rawat,” terangnya. Ditanya mengenai sertifikat, pihaknya mengaku tidak punya.

“Kami ingin ini kondusif. Yang jelas kami minta tuntutan kami itu saja. Kami tidak ingin berbenturan. Terima kasih semua pihak sudah membantu,” ujar pemangku di Pura Panti itu.

Dalam beberapa kali pertemuan, warga meminta 4 tuntutan. Pertama, di atas lahan ada 6 pura. Jadi warga minta akses atau aktivitas ke pura tidak terganggu.

Kedua, selama investor belum membangun, maka warga bisa menggarap hasil ladang. Ketiga, apabila investor membangun akomodasi wisata, maka tenaga kerja diambil dari Banjar Selasih.

Sedangkan, tuntutan keempat belum bisa terealisasi. Ada perbedaan data antara warga dan investor.

Yakni warga minta relokasi lahan terhadap 32 bidang tanah. Sedangkan, versi investor, mendata ada 30 bidang tanah warga di atas lahan mereka. (*)


Keberadaan warga di Banjar Selasih, di Desa Puhu, Kecamatan Payangan tak lepas dari peran Puri Agung Payangan.

Sejak lima generasi lalu, warga sudah menetap di areal pertanian di Banjar Selasih. Secara tiba-tiba, warga kaget karena tanah yang biasa mereka tempati beralih milik investor.

IB INDRA PRASETIA, Gianyar
TURUN tebing berliku. Kemudian naik bukit. Begitu jalan yang harus ditempuh untuk menuju wilayah Banjar Selasih di Desa Puhu, Kecamatan Payangan.

Di siang hari saja, pengendara yang melintas harus hati-hati karena jalan menempel di sisi tebing.

Apalagi bila malam hari. Gelap, karena tanpa lampu penerang jalan. Meski begitu, itulah rumah bagi warga Banjar Selasih.

“Kami sudah lima generasi tinggal di Selasih. Dari kakeknya kakek saya,” ujar Mangku Made Sanggup, didampingi putranya.

Mangku Made Sanggup pun bercerita jika leluhurnya dulu punya hubungan dengan kerajaan di Puri Agung Payangan.

Puri berada di jantung Kecamatan Payangan. Jarak antara Puri Payangan dengan Banjar Selasih sekitar 5 kilometer ke arah utara.

“Dulu leluhur kami tinggal di puri. Ngayah, bersihkan merajan (tempat suci, red) di puri. Membantu keluarga puri,” terangnya.

Akhirnya, karena kebijakan puri, beberapa warga diberikan lahan di Banjar Selasih. “Di tanah yang sama investor ini. Kami dikasih tinggal di sini. Menggarap lahan pertanian,” terangnya.

Sebagai gantinya, leluhurnya pun sering menghaturkan hasil panen ke puri. “Kalau panen, bawa hasil panen ke puri. Istilahnya kami ngaturan (mempersembahkan, red),” jelasnya.

Hubungan tersebut, kata dia, berlangsung dari zaman kerajaan hingga zaman kemerdekaan. Bahkan hubungan warga ke puri berlangsung sampai zaman orde baru atau era 1990-an.

Ketika di puri ada hajatan, baik upacara suka duka keluarganya dan beberapa warga yang diberi tempat di Selasih pasti hadir ke puri.

“Orang tua kami ngayah (kerja sosial, red). Saya sendiri juga ikut datang ke puri membantu. Kalau acara kematian, pernikahan, kami ikut,” jelasnya.

Dulu, tradisi mempersembahkan hasil panen ke puri juga masih sering dilakukan. “Kalau orang tua saya panen pisang.

Saya ikut ke puri antarkan pisang. Apa hasil panen di ladang kami haturkan ke puri,” terangnya.

Timbal balik hubungan warga dengan puri mulai renggang sejak 1993 silam. “Waktu itu, tiba-tiba dari investor datang. Mengaku kalau tanah itu sudah dibeli sama investor,” jelasnya.

Warga pun kaget mendengar. “Tidak ada bilang apa-apa dari pemilik awal. Tiba-tiba dijual, begitu saja,” terangnya.

Sejak kedatangan investor itulah, warga tidak pernah lagi berhubungan ke puri. Meski begitu, warga sehari-hari tetap hidup dan menggarap lahan di Selasih.

Seperti yang dilakukan keluarga Mangku Sanggup bersama tiga putranya. Dia membuat rumah berasitektur Bali di atas lahan investor.

Di tengah konflik dan peralihan kepemilikan dari puri ke investor, dia pun mempercantik rumahnya.

Tembok merajan miliknya diganti batu gunung berwana hitam. Kemudian, halaman rumahnya dipercantik menggunakan batu sikat.

“Ya, karena mau rusak. Kan tetap harus kami rawat,” terangnya. Ditanya mengenai sertifikat, pihaknya mengaku tidak punya.

“Kami ingin ini kondusif. Yang jelas kami minta tuntutan kami itu saja. Kami tidak ingin berbenturan. Terima kasih semua pihak sudah membantu,” ujar pemangku di Pura Panti itu.

Dalam beberapa kali pertemuan, warga meminta 4 tuntutan. Pertama, di atas lahan ada 6 pura. Jadi warga minta akses atau aktivitas ke pura tidak terganggu.

Kedua, selama investor belum membangun, maka warga bisa menggarap hasil ladang. Ketiga, apabila investor membangun akomodasi wisata, maka tenaga kerja diambil dari Banjar Selasih.

Sedangkan, tuntutan keempat belum bisa terealisasi. Ada perbedaan data antara warga dan investor.

Yakni warga minta relokasi lahan terhadap 32 bidang tanah. Sedangkan, versi investor, mendata ada 30 bidang tanah warga di atas lahan mereka. (*)


Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/