26.3 C
Jakarta
25 April 2024, 4:16 AM WIB

Kurus Kering Karena Komplikasi, Terakhir Pentas di Nusa Penida

Seniman Bondres Made Ngurah Sadika, kini sudah gantung topeng. Sejak terkena penyakit komplikasi, seniman yang sering memainkan karakter Susik pada pementasan bondres itu menjadi layu kurus kering. Susik kini kesulitan melucu.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

SIAPA yang tak kenal Susik? Tokoh topeng itu begitu terkenal dan melegenda di dunia seni pertunjukan bondres. Sosok di balik topeng itu adalah Made Ngurah Sadika, 54.

Dia terkenal andal membawakan banyolan-banyolan dengan logat khas Buleleng yang mengocok perut. Kalimatnya yang khas: nyanan opake jak meme, yang dibawakan dengan gaya centil mampu membuat siapa saja tertawa.

Sayangnya seniman seni pertunjukan itu kini hanya bisa tergolek lemah di rumahnya. Tubuhnya ringkih kurus kering digerogoti penyakit komplikasi.

Saat ditemui di rumahnya di bilangan Jalan Kresna, Kelurahan Kendran, pria yang akrab disapa Susik itu terduduk di ruang tamu.

Sesekali ia meraba punggungnya yang sakit. Sesekali ia mencoba berdiri. Setelah itu duduk kembali. Gerak tubuhnya gelisah, menahan rasa sakit yang entah di bagian mana. Hanya rintihan yang sering terdengar.

“Aduh bangyange sakit, tundune sakit, kenyel negak, aduh…aduh…sakit gati. Dije kaden sakite ne aduh….,” keluh Susik saat ditemui di rumahnya siang kemarin.

Kondisinya sangat lemah, saking lemahnya, Susik tak lagi mampu melemparkan lawakan. Padahal saat masih sehat, di panggung maupun di luar panggung, Susik pasti menghadirkan tawa lewat banyolan-banyolannya.

Sejak setahun terakhir, kondisi Susik memang merosot drastis. Pemicunya adalah penyakit diabetes yang dideritanya lima tahun lalu.

Meski menderita sakit sejak lama, Susik terus menjajal panggung ke panggung. Tak jarang ia pentas hingga tiga kali dalam sehari. Sesekali ia harus pentas dengan menahan rasa sakit, karena kakinya bengkak.

Namun sejak setahun lalu, Susik tak mampu naik panggung lagi karena penyakit komplikasi. Panggung terakhir yang dirasakan Susik adalah pementasan di Pulau Nusa Penida.

“Waktu itu dapat undangan dari Pak Bupati Klungkung (Nyoman Suwirta, Red). Sejak itu tidak pernah pentas lagi,” kata Luh Remi, istri Susik kepada wartawan.

Usai pementasan itu, Susik istirahat total. Belakangan selain menderita diabetes, ia diketahui menderita penyakit jantung, kencing batu, dan gagal ginjal.

Bahkan hanya separo ginjalnya yang berfungsi. Sementara batu ginjal sudah sempat diatasi melalui terapi laser beberapa waktu lalu. Praktis sejak itu ia hanya bed rest, tak bisa lagi naik panggung.

Bukan hanya soal panggung, soal pekerjaan kedinasan pun terbengkalai. Maklum di lembaga pemerintahan, Susik tercatat menduduki posisi Kabid Pengembangan pada Dinas Arsip dan Perpustakaan Buleleng.

Pentolan Sanggar Susik Bondres itu juga harus melakukan cuci darah rutin dua kali dalam seminggu. Beruntung masih ada asuransi kesehatan yang menanggung biaya pengobatannya, sehingga masih bisa ditanggulangi keluarga.

Keluarga sebenarnya sempat mempertimbangkan operasi untuk menanggulangi penyakit gagal ginjal. Sayangnya opsi itu belum bisa diambil. Pasalnya pihak keluarga tak memiliki cukup biaya.

Apalagi sejak Susik turun panggung, tidak ada pendapatan yang bisa diharapkan. Sementara asuransi kesehatan tidak menanggung seluruh biaya yang muncul.

“Terpaksa dirawat di rumah saja. Tidak ada biaya untuk tambahan obat yang lain. soalnya kalau operasi kan ada biaya tambahan untuk obat-obatan. Nah biaya tambahan ini tidak ditanggung asuransi,” keluh Remi.

Kini Susik juga sudah mulai mengalihkan tampuk kepemimpinan sanggarnya, kepada sang putra, Gede Arya Darmadi, 28.

Sebenarnya Susik sudah mulai melakukan proses transisi sejak dua tahun terakhir. Termasuk saat tampil pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 2016 lalu, Susik sudah mulai melakukan proses transisi.

Ia mempercayakan putranya tampil pada Parade Topeng Panca. Meski kala itu putranya tak memainkan karakter Susik, penampilannya cukup meyakinkan.

Semenjak turun panggung, Susik pun mempercayakan karakter topeng Susik pada putranya. Meski karakternya tidak sama persis, paling tidak kehadiran topeng Susik bisa mengobati kerinduan penonton.

Sesekali memang ada yang ingin mendatangkan karakter Susik. “Yen ade ne nyewa, tyang orahin kendalane. Tyang orahin masih panak tyange ne ngisi. Men kanggoange, jalan. Men tusing, buung pentas,” kata Susik.

Sang putra sulung, Gede Arya Darmadi mengaku membawakan karakter Susik di atas panggung bukan perkara gampang.

Sebab tokoh Susik bukan hanya dikenal lewat gaya dan banyolan belaka. Namun juga dikenal lewat suara. Suara Susik sangat berkarakter dan sulit ditiru.

Putra sulungnya Gede Arya Darmadi pun tak menampik hal itu. Ia yang kebetulan mendampingi sang ayah mengaku bukan perkara gampang mengambil peran sebagai tokoh Susik saat pentas.

Sebab, suara sang Ayah memang sangat berkarakter dan sulit ditiru. Tak jarang saat pentas, ia kelepasan dan mengeluarkan suara pria.

Meski begitu, Arya tetap berusaha tampil sebaik mungkin demi biaya pengobatan sang ayah. 

Seniman Bondres Made Ngurah Sadika, kini sudah gantung topeng. Sejak terkena penyakit komplikasi, seniman yang sering memainkan karakter Susik pada pementasan bondres itu menjadi layu kurus kering. Susik kini kesulitan melucu.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

SIAPA yang tak kenal Susik? Tokoh topeng itu begitu terkenal dan melegenda di dunia seni pertunjukan bondres. Sosok di balik topeng itu adalah Made Ngurah Sadika, 54.

Dia terkenal andal membawakan banyolan-banyolan dengan logat khas Buleleng yang mengocok perut. Kalimatnya yang khas: nyanan opake jak meme, yang dibawakan dengan gaya centil mampu membuat siapa saja tertawa.

Sayangnya seniman seni pertunjukan itu kini hanya bisa tergolek lemah di rumahnya. Tubuhnya ringkih kurus kering digerogoti penyakit komplikasi.

Saat ditemui di rumahnya di bilangan Jalan Kresna, Kelurahan Kendran, pria yang akrab disapa Susik itu terduduk di ruang tamu.

Sesekali ia meraba punggungnya yang sakit. Sesekali ia mencoba berdiri. Setelah itu duduk kembali. Gerak tubuhnya gelisah, menahan rasa sakit yang entah di bagian mana. Hanya rintihan yang sering terdengar.

“Aduh bangyange sakit, tundune sakit, kenyel negak, aduh…aduh…sakit gati. Dije kaden sakite ne aduh….,” keluh Susik saat ditemui di rumahnya siang kemarin.

Kondisinya sangat lemah, saking lemahnya, Susik tak lagi mampu melemparkan lawakan. Padahal saat masih sehat, di panggung maupun di luar panggung, Susik pasti menghadirkan tawa lewat banyolan-banyolannya.

Sejak setahun terakhir, kondisi Susik memang merosot drastis. Pemicunya adalah penyakit diabetes yang dideritanya lima tahun lalu.

Meski menderita sakit sejak lama, Susik terus menjajal panggung ke panggung. Tak jarang ia pentas hingga tiga kali dalam sehari. Sesekali ia harus pentas dengan menahan rasa sakit, karena kakinya bengkak.

Namun sejak setahun lalu, Susik tak mampu naik panggung lagi karena penyakit komplikasi. Panggung terakhir yang dirasakan Susik adalah pementasan di Pulau Nusa Penida.

“Waktu itu dapat undangan dari Pak Bupati Klungkung (Nyoman Suwirta, Red). Sejak itu tidak pernah pentas lagi,” kata Luh Remi, istri Susik kepada wartawan.

Usai pementasan itu, Susik istirahat total. Belakangan selain menderita diabetes, ia diketahui menderita penyakit jantung, kencing batu, dan gagal ginjal.

Bahkan hanya separo ginjalnya yang berfungsi. Sementara batu ginjal sudah sempat diatasi melalui terapi laser beberapa waktu lalu. Praktis sejak itu ia hanya bed rest, tak bisa lagi naik panggung.

Bukan hanya soal panggung, soal pekerjaan kedinasan pun terbengkalai. Maklum di lembaga pemerintahan, Susik tercatat menduduki posisi Kabid Pengembangan pada Dinas Arsip dan Perpustakaan Buleleng.

Pentolan Sanggar Susik Bondres itu juga harus melakukan cuci darah rutin dua kali dalam seminggu. Beruntung masih ada asuransi kesehatan yang menanggung biaya pengobatannya, sehingga masih bisa ditanggulangi keluarga.

Keluarga sebenarnya sempat mempertimbangkan operasi untuk menanggulangi penyakit gagal ginjal. Sayangnya opsi itu belum bisa diambil. Pasalnya pihak keluarga tak memiliki cukup biaya.

Apalagi sejak Susik turun panggung, tidak ada pendapatan yang bisa diharapkan. Sementara asuransi kesehatan tidak menanggung seluruh biaya yang muncul.

“Terpaksa dirawat di rumah saja. Tidak ada biaya untuk tambahan obat yang lain. soalnya kalau operasi kan ada biaya tambahan untuk obat-obatan. Nah biaya tambahan ini tidak ditanggung asuransi,” keluh Remi.

Kini Susik juga sudah mulai mengalihkan tampuk kepemimpinan sanggarnya, kepada sang putra, Gede Arya Darmadi, 28.

Sebenarnya Susik sudah mulai melakukan proses transisi sejak dua tahun terakhir. Termasuk saat tampil pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 2016 lalu, Susik sudah mulai melakukan proses transisi.

Ia mempercayakan putranya tampil pada Parade Topeng Panca. Meski kala itu putranya tak memainkan karakter Susik, penampilannya cukup meyakinkan.

Semenjak turun panggung, Susik pun mempercayakan karakter topeng Susik pada putranya. Meski karakternya tidak sama persis, paling tidak kehadiran topeng Susik bisa mengobati kerinduan penonton.

Sesekali memang ada yang ingin mendatangkan karakter Susik. “Yen ade ne nyewa, tyang orahin kendalane. Tyang orahin masih panak tyange ne ngisi. Men kanggoange, jalan. Men tusing, buung pentas,” kata Susik.

Sang putra sulung, Gede Arya Darmadi mengaku membawakan karakter Susik di atas panggung bukan perkara gampang.

Sebab tokoh Susik bukan hanya dikenal lewat gaya dan banyolan belaka. Namun juga dikenal lewat suara. Suara Susik sangat berkarakter dan sulit ditiru.

Putra sulungnya Gede Arya Darmadi pun tak menampik hal itu. Ia yang kebetulan mendampingi sang ayah mengaku bukan perkara gampang mengambil peran sebagai tokoh Susik saat pentas.

Sebab, suara sang Ayah memang sangat berkarakter dan sulit ditiru. Tak jarang saat pentas, ia kelepasan dan mengeluarkan suara pria.

Meski begitu, Arya tetap berusaha tampil sebaik mungkin demi biaya pengobatan sang ayah. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/