Gede Suarka adalah seorang nelayan tradisional asal Singaraja. Saat pagebluk Coronavirus Disease (Covid-19), Suarka ikut merasakan susahnya mengais rezeki.
Meski begitu, Suarka tak mau patah semangat. Dia terus melakoni pekerjaan sampingan sebagai pembuat mata pancing. Orderan terus datang, tak terkena dampak Covid-19.
JULIADI, Singaraja
RUKO Pasar Banyuasri Singaraja yang berada dekat Masjid Koramil 1609-01/Buleleng menjadi lokasi keseharian Gede Suarka,
menghabiskan waktunya bersama dua karyawannya membuat segala jenis model mata pancing yang dipesan oleh nelayan Bali Utara.
Pria asal Jalan Gajah Mada, Banjar Tengah, Kelurahan Astina, Buleleng, ini sudah puluhan tahun menggeluti pekerjaan sebagai pembuat mata pancing.
Biasanya nelayan tradisonal se-Buleleng menyebutnya Pak Lolak handicraft sebagai satu-satunya specialis mata pancing.
Ketika Jawa Pos Radar Bali menyempatkan diri untuk melihat aktivitas pekerjaan di pasar Banyuasri, tampak gulungan kawat bahan pembuat pancing menumpuk.
Pria berusia 60 itu terlihat fokus menuntaskan segala model mata pancing yang dipesan oleh para nelayan tradisional dan sejumlah toko pancing bersama dua orang karyawannya.
Alat pembuat mata pancing yang digunakan sangat sederhana. Mulai dari palu, kikir, gerinda, tank dan alat lainnya.
“Kalau saya buat mata/kail pancing tak banyak tahu. Tapi kalau nelayan tradisional yang ditanya hampir semua tahu saya,” ucapnya sambil menyelesaikan satu persatu mata pancing yang terbuat dari bahan kawat.
Menurut pria yang akrab disapa Lolak handicraft, ditengah pandemi Covid-19 usahanya sebagai pengerajin mata pancing sama sekali tak terdampak.
Justru orderan terus berdatangan dan meningkat dari nelayan tradisional dan sejumlah toko pancing di Buleleng.
“Saya bisa selesaikan 400 biji mata pancing setiap harinya. Tergantung pemesananya,” ungkap Lolak handicraft.
Diceritakan pria yang gagal sebagai PNS di Dinas Perhubungan Buleleng dan kini bekerja sebagai nelayan, ini, sudah 26 tahun dirinya menggeluti pekerjaan sebagai pengrajin mata pancing.
Ketertarikannya membuat mata pancing lantaran dirinya suka memancing di laut. Awalnya setiap kali mata pancing dia beli di toko selalu karatan usai dipakai mancing dilaut.
Sehingga harus mengganti mata pancing setiap harinya. Waktu itu bisa dibayangkan pergi melaut harus keluar uang Rp 10-15 ribu hanya untuk beli mata pancing.
“Bukan hanya saya saja, tetapi nelayan tradisional juga demikian. Bahkan ada nelayan yang beli mata pancing sampai ratusan ribu. Sehingga saya mencoba sendiri membuat mata pancing,” kata Pak Lolak.
Membuat mata pancing tak semudah apa yang dipikirkan. Baru satu ia buat mata pancing teman-teman nelayan pun sempat mencelanya, karena mata pancing yang ia buat modelnya tak karuan.
Namun berkat ketekunan dan belajar secara otodidak mata pancing yang ia buat sama persis dengan buatan pabrikan.
“Untuk membuat satu mata pancing tetap bergantung pada model. Karena semakin besar ukuran dan model maka semakin rumit cara pembuatan dan waktu pengerjaannya,” tuturnya.
Lolak menambahkan, yang membedakan mata pancing buatan dirinya dengan pabrikan dan buatan nelayan lainnya adalah bahan yang digunakan.
Mata pancing yang dia buat berbahan baja stainless steel. Sehingga ketika digunakan tahan lama, kuat dan tak mudah karatan.
Sehingga nelayan sangat suka dengan mata pancing yang dia buat. Untuk model dan ukuran mata pancing. Mulai dari ukuran dengan nomor 1 sampai nomor 9.
“Saat ini mata pancing yang disukai nelayan dengan model metal jig yang biasanya digunakan oleh para pemancing profesional ketika mancing di laut lepas,” terangnya.
Lolak menambahkan, kini pelanggan mata pancing miliknya bukan hanya berasal dari nelayan dan toko pancing yang ada di Buleleng.
Tetapi juga berasal dari luar Bali. Bahkan, sampai di daerah Muncar Banyuwangi dan Karangasem.
“Sebulan rata-rata saya bisa hasilkan 12 ribu biji mata pancing dengan model mata pancing yang berbeda-beda. Kalau omset penjualan bisa tebus Rp 10 juta setiap bulan,” pungkasnya.(*)