25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:41 AM WIB

Dosen FISIP Unud: Kaum Disabilitas di Indonesia Belum Bermartabat

RadarBali.com – Tedi Ervianto, dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana menilai Indonesia belum memiliki komitmen politik serius memberikan kaum disabilitas tempat yang lebih bermartabat.

Dikatakannya UU Nomor 8 Tahun 2016 terutama terkait ketentuan bagi perusahaan yang harus mengakomodasi pekerja dari kalangan disabilitas bisa dimaknai belum berjalan sebagaimana yang diamanatkan.

Regulasi ini memang menunjukkan pada kita bahwa negara dalam hal ini pemerintah memiliki komitmen pada kalangan difabel sebagai warga negara yang setara, terutama dari sisi HAM.

“Tapi sekali lagi, kalaupun amanat Pasal 53 ayat 2 bahwa perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen (satu persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja, ini masih belum banyak dilaksanakan,” ucapnya.

Tedi menyebut implementasinya terbata-bata dan justru tidak banyak pemilik dunia usaha menjalankan komitmen ini.

“Terbata-bata karena memang masih susah dicari solusinya bagaimana. Dalam artian, perusahaan swasta, misal dalam skala UMKM, masih banyak dipaksa dengan kebutuhannya sendiri untuk memikirkan soal untung rugi. Kalau bicara soal untung rugi, bagaimanapun yang tertanam di benak pengusaha adalah memperkerjakan tenaga kerja yang non disabilitas karena mereka lebih sanggup bekerja dalam tekanan, dibanding penyandang disabilitas,” jelasnya.

Lebih lanjut, Tedi menilai bagi mereka (pengusaha, Red) memperkerjakan penyandang disabilitas dianggap over cost karena harus menyertakan alat bantu dan sebagainya.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Banyak penyandang disabilitas justru memiliki kemampuan lebih, termasuk kesanggupan bekerja dalam tekanan, bahkan melebihi kemampuan tenaga kerja yang non disabilitas. 

RadarBali.com – Tedi Ervianto, dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana menilai Indonesia belum memiliki komitmen politik serius memberikan kaum disabilitas tempat yang lebih bermartabat.

Dikatakannya UU Nomor 8 Tahun 2016 terutama terkait ketentuan bagi perusahaan yang harus mengakomodasi pekerja dari kalangan disabilitas bisa dimaknai belum berjalan sebagaimana yang diamanatkan.

Regulasi ini memang menunjukkan pada kita bahwa negara dalam hal ini pemerintah memiliki komitmen pada kalangan difabel sebagai warga negara yang setara, terutama dari sisi HAM.

“Tapi sekali lagi, kalaupun amanat Pasal 53 ayat 2 bahwa perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen (satu persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja, ini masih belum banyak dilaksanakan,” ucapnya.

Tedi menyebut implementasinya terbata-bata dan justru tidak banyak pemilik dunia usaha menjalankan komitmen ini.

“Terbata-bata karena memang masih susah dicari solusinya bagaimana. Dalam artian, perusahaan swasta, misal dalam skala UMKM, masih banyak dipaksa dengan kebutuhannya sendiri untuk memikirkan soal untung rugi. Kalau bicara soal untung rugi, bagaimanapun yang tertanam di benak pengusaha adalah memperkerjakan tenaga kerja yang non disabilitas karena mereka lebih sanggup bekerja dalam tekanan, dibanding penyandang disabilitas,” jelasnya.

Lebih lanjut, Tedi menilai bagi mereka (pengusaha, Red) memperkerjakan penyandang disabilitas dianggap over cost karena harus menyertakan alat bantu dan sebagainya.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Banyak penyandang disabilitas justru memiliki kemampuan lebih, termasuk kesanggupan bekerja dalam tekanan, bahkan melebihi kemampuan tenaga kerja yang non disabilitas. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/