Oleh Dahlan Iskan
Haji Nasir hanya tamatan STM. Kini kapalnya 7 buah. Tambak udangnya 20 hektar. Punya pabrik es. Cool storage. Perusahaannya sudah banyak: yang terkait dengan ikan: penangkapan ikan laut, budidaya udang.
Ia anggota DPRD. Dengan suara terbanyak. Tapi tidak mau lagi jadi caleg. Di Pemilu depan. Hanya mau sepenuhnya urus bisnis. Kapok masuk politik. Merasa ditipu. Tidak ada yang disebut komitmen di politik.
“Dulu saya ini dirayu. Agar mau jadi caleg,” kata Haji Nasir. “Dengan janji bisa jadi ketua DPRD. Andaikan saya bisa dapat suara terbanyak,” katanya.
Ia berhasil di Pemilu. Meraih suara terbanyak. Tapi yang berlaku dagang sapi. Jabatan Ketua DPRD itu lepas. Ke Golkar. Yang perolehan kursinya sama dengan partainya, PPP: lima. Tapi janji tinggal janji.
“Saya tidak cocok di politik,” katanya. “Istri saya juga melarang saya nyaleg lagi,” tambahnya.
Itu terjadi di Kabupaten Berau. Paling utara Kaltim.
Yang kini maju sekali. Sejak bupatinya berani membangun bandara. Sepuluhan tahun lalu.
Sejak itu Berau berubah. Tidak perlu lagi ke sana naik kapal. Dari Samarinda maupun dari Balikpapan.
Saya ingat ketika pertama ke Berau. Landasannya masih rumput. Pesawat yang ke sana berbaling satu. Isinya empat orang. Sebelum terbang, pilotnya minta tolong saya: putarkan baling-balingnya. Dengan tangan saya. Sambil kaki jinjit. Saya sedikit kurang tinggi.
Berau masih seperti itu. Kurang lebih. Ketika Haji Nasir Junaid tiba dari kampung halamannya: Barru, Sulsel.
Ia pasti tidak akan mau ke Berau. Kalau hatinya tidak sakit. Sakit sekali. Saat ia masih berumur 19 tahun. Saat Nasir belum lama tamat sekolah: STM Pembangunan di Makassar.
Pulang dari Makassar ia membantu ayahnya: jual beli ikan. Ayahnya memang nelayan tapi sambil berdagang ikan. Membeli ikan sesama nelayan. Menjualnya ke pasar.
Suatu saat Nasir diminta ayahnya menagih ke para pelanggan. Salah satunya tidak mau bayar: kakak sulungnya sendiri.
Sang kakak tidak mau bayar. Alasannya: uangnya lagi diperlukan untuk biaya sekolah anaknya.
Waktu menyerahkan uang tagihan ke bapaknya Nasir tidak bicara apa-apa. Setelah dihitung uangnya kurang. Nasir tidak berani melapor apa adanya. Tidak berani membuka kata-kata kakaknya. Tidak mengira juga ayahnya seteliti itu.
Ayahnya mencurigai sebagian uang itu dipakai Nasir. Marah besar. Tidak habis-habisnya. Akhirnya Nasir bicara terus terang. Tapi sang ayah terlanjur sudah marah. Nasir dituduh bersekongkol dengan kakaknya.
Nasir pun ditendang. Dengan kaki ayahnya yang kuat. Kena pantatnya.
Nasir menjauhi bapaknya. Masuk kamar. Menangis. Ibu tirinya meredakan. Gagal. Nasir ingin lari. Membawa luka yang dalam. Di dalam hati. Hati remaja.
Minggat.
Ia pamit pada ibu tirinya itu. Tanpa menyebut akan ke mana. Juga pamit ke ibu kandungnya. Yang juga sudah menikah lagi dengan pria lain. Ia bawa ijazah STM. Plus mengalaman magang tiga tahun. Di Astra. Saat sekolah di STM jurusan mesin dulu.
Nasir menuju pelabuhan Pare-pare. Hanya membawa dua baju. Dua celana. Dimasukkan tas kresek. Bersama ijazahnya.
Ada tiga kapal yang siap berangkat hari itu. Kapal kayu. Salah satunya ke Berau. Yang berangkat lebih dulu.
Ia bertanya ke anak kapal: apakah di Berau bisa hidup? Dengan bekal ijazah itu?
Yang ditanya melihat ijazahnya.
“Bisa”, jawab yang ditanya.
Tapi Nasir masih ragu. Ikut ke Berau atau ikut kapal lain. Ke jurusan lain.
Sinyal pertama berbunyi. Tanda kapal mau berangkat. Nasir masih terpaku di dermaga.
Sinyal kedua berbunyi. Nasir masih ragu. Masih terpaku juga di dermaga. Ingat pacarnya. Yang di Makassar. Tapi sudah agak lama juga terpisah. Sejak Nasir pulang ke Barru.
Sinyal ketiga pun berbunyi. Kapal mulai merenggang. Dermaga mulai ditinggalkan. Nasir meloncat!
Di kapal itu Nasir menempatkan diri sebagai orang yang nunut. Harus tahu diri. Ia kerjakan apa pun yang bisa ia kerjakan: membantu masak, cuci piring, ambil air, bersih-bersih.
Malam-malam ia masuk kamar mesin. Yang biasanya sunyi dalam gemuruh. Ia akan membantu juru mesin. Biar juru mesin bisa istirahat. Ia senang mesin. Sejak kecil. Itulah sebabnya ia masuk STM. Jurusan mesin. Dan magang di Astra.
Nasir bingung. Juru mesinnya sombong. Ia ajak bicara tidak mau menjawab. Akhirnya ia tahu: juru mesin itu bisu tuli. Cerita yang ia dapat: juru mesin itu dulunya tentara. Dihajar sampai ringsek. Akibat menembak komandannya.
Sang juru mesin berhasil lari dari penjara. Entahlah.
Yang jelas Nasir berhasil berkomunikasi dengan si bisu-tuli. Dengan bahasa mesin.
Satu hari satu malam kapal itu berlayar. Terlihatlah daratan Kalimantan. Kapal memasuki Muara Sungai Berau. Menyusuri sungai ke hulunya. Ke kota Tanjung Redeb, ibukota Berau.
Nasir disenangi seluruh awak kapal. Saat kapal sandar di dermaga Tanjung Redeb Nasir bingung: mau ke mana. Ini perantauan pertamanya ke luar Sulawesi.
Ia pun menghadap kapten kapal: minta ijin tinggal di kapal. Sebelum mendapat pekerjaan.
Hari pertama Nasir keliling kota kecil itu. Mencari bengkel. Yang pemiliknya orang Bugis. Ia melamar. Dengan senjata ijazah STM-nya.
Ditolak.
Besoknya datang lagi.
Ditolak lagi.
Hari ketiga Nasir datang lagi. Kali ini harus berhasil. Sore itu kapalnya akan berangkat ke Pare-pare. Tidak ada lagi tempat menginap.
Kepada pemilik bengkel Nasir menyatakan ini: tidak usah digaji. Asal diberi makan. Dan boleh tidur di bengkel itu.
Diterima.
Nasir mengerjakan apa saja di bengkel itu. Bengkel Wira Karya itu.
Bengkel itu kini sudah tidak ada. Sudah dibeli orang. Ditutup. Kini sedang dibangun hotel. Di dekat dealer Honda itu.
Teman Nasir di bengkel itu pun senang. Nasir rajin. Suka membantu teman. Bosnya pun bersimpati.
Tiga bulan kemudian bengkel mengalami kesulitan: tidak ada yang bisa memperbaiki persoalan mobil konsumennya.
Mobil itu baru: Daihatsu Hiland. Untuk angkutan penumpang. Jarak jauh. Dari Tanjung Redeb ke Biduk-biduk. Lewat hutan. Bukit. Sungai tak berjembatan. Jalannya tidak ada yang beraspal. Kalau hujan harus berhenti. Atau harus didorong. Tiga hari baru sampai.
Mobil itu tidak kuat naik gunung.
Dimasukkan lah ke bengkel Wira Karya. Tidak ada yang bisa memperbaiki. Pun kepala bengkelnya.
Nasir minta ijin menanganinya. Anak kecil itu.
Diragukan.
Semua melihat Nasir masih anak-anak: 19 tahun.
Tapi Nasir yakin bisa. Itu makanannya saat magang di Astra dulu.
Nasir lihat Klep-klep mobil itu. Pistonnya empat. Berarti klepnya ada delapan. Klep-klep itulah yang terlalu berdekatan.
Nasir menyetel ulang klep-klep itu. Lalu dicoba dihidupkan: grenggggg. Mobil hidup dengan suara lebih garang.
Tapi pengemudi mobil tidak pede. Nasir harus ikut serta dalam mobil itu. Yang sudah penuh penumpang itu. Harus ikut sampai gunung terakhir. Artinya: sampai tujuan. Tiga hari kemudian bisa ikut balik ke Tanjung Redeb.
Waktu naik gunung pertama itulah ujian bagi Nasir. Di situlah mobil tersebut dulu gagal menanjak. Ternyata mobil ini kini mampu naik dengan pedenya. Nasir mendapat pujian dari seluruh penumpang.
Nasir tentu senang kemampuannya diakui. Tapi tetap saja ia harus duduk di pojok belakang. Tempat barang. Semua kursi sudah terisi penumpang. Ia terpental-pental. Itulah nasib yunior. Yunior yang mampu sekali pun. Minggu berikutnya Nasir tiba kembali di Tanjung Redeb. Langsung diangkat menjadi kepala teknik. Seniornya kini jadi anak buahnya. Nasir sadar. Bakal banyak persoalan psikologis. Ia bertekad: harus pintar-pintar membawa diri. Sering kali ia lakukan: untuk hal yang sudah tahu pun Nasir bertanya pada anak buahnya. Pura-pura. Bohong. Tapi penting.
Gajinya naik terus. Tapi Nasir tetap tinggal di bengkel. Menghemat. Gaji pertamanya ia kirim ke ibunya. Ibu kandung.
Tiga tahun di bengkel itu Nasir sudah punya banyak tabungan. Ia bertekad ingin jadi pengusaha. Hanya menjadi karyawan tidak akan membuatnya kaya.
Kebetulan: ada kapal kayu dijual. Tanpa mesin. Nasir mampu membeli kapal itu. Dari tabungannya.
Lalu ia datangi penjual mesin. Yang selama ini sering minta tolong padanya: urusan kerusakan mesin kapal. Ia minta untuk bisa beli mesin. Dengan cara mencicil.
Begitulah. Nasir sudah punya kapal. Untuk angkut pasir. Setiap kali angkut ia dapat uang Rp 290 ribu. Dibagi tiga. Ia dapat Rp 70 ribu. Dua orang yang menjalankan kapal mendapat @Rp 70 ribu.
Nasir tetap bekerja di bengkel. Tetap tinggal di bengkel. Begitu hematnya.
Nasir tidak berpikir beli rumah dulu. Ia justru beli kapal kedua. Tapi kapal ini berada di tangan orang yang salah. Uangnya habis terus.
Saat itulah Nasir berpikir: harus fokus. Tidak boleh kapalnya diurus orang lain. Ia harus berhenti dari bengkel. Urus sendiri kapal-kapalnya.
Itu berarti tidak bisa lagi tinggal di bengkel. Harus cari rumah tinggal. Nasir tetap tidak mau membeli rumah. Tidak mau mengontrak rumah. Ia pilih menyewa satu kamar: diisi 9 orang. Semua perantau dari Sulawesi.
Masih harus berhemat.
Ia jalankan sendiri kapal-kapalnya. Sampai pernah nyasar ke perbatasan Filipina. Dihadang tentara bersenjata.
Nasir juga sering membawa kapalnya ke pelabuhan-pelabuhan di Sabah. Di situ Nasir belajar: membangun kapal sendiri.
Nasir tidak mau lagi membeli kapal. Kapal-kapal berikutnya adalah bikinan sendiri. Ia hanya beli bahan-bahannya. Membayar ongkos tukangnya.
Kini kapalnya tujuh buah. Termasuk dua kapal penangkap ikan. Di laut lepas.
Bisnisnya pun ke hulu: bikin pabrik es. Lalu cool storage. Lalu merambah ke tambak udang.
Bisnis ikan itu membuatnya sering ke pabrik es. Membawa kapalnya serta. Di pabrik itulah ia melihat beberapa gadis lagi mandi. Di pemandian pabrik. Tidak berdinding. Mereka mandi dengan mengenakan sarung.
Istri saya pun begitu. Dulu. Mandinya di batang. Di pinggir sungai. Bisa dilihat semua orang. Yang lagi lalu-lalang. Di Kaltim mandi seperti itu disebut mandi basah.
Saat itulah Nasir terpikat. Pada salah satu gadis yang mandi itu. Ternyata dia memang primadona di pabrik itu. Nasir minta tolong temannya. Untuk mengenalnya langsung.
Itulah istrinya yang sekarang: Sempurna. Dipanggil: Pur.
Pilihannya tepat. Nasir percaya istrinya itu membawa rejeki.
Ia ingat omongan-omongan orang tua di desanya: kalau cari istri carilah yang ada ininya di bawah lehernya.
Sambil mengatakan ‘ininya’ Nasir menggambarkan kalung di bawah lehernya. Ia melihat tanda itu saat Sempurna mandi basah. Yang hanya bagian susu ke bawah yang ditutupi sarung. Nasir bisa melihat tanda itu di bagian antara dada dan leher Sempurna.
Saya sendiri tidak jelas maksud tanda itu. Saya memang ke rumah Nasir Sabtu lalu. Tapi istrinya lagi tidak ada di rumah. Pun kalau toh ada, belum tentu saya berani minta ini: agar sang istri membuka dadanya.
Rumah Nasir ini luar biasa bagusnya. Untuk ukuran Berau. Membuat saya harus minta berfoto bersama. Di depan rumahnya. Lihatlah fotonya.
“Rumah ini saya sendiri yang mendesain. Saya sendiri pula yang mengawasi,” katanya.
Tambak udangnya pun ia desain sendiri. Pengerjaannya juga tanpa kontraktor.
Itulah hasil keseriusannya berusaha.
Semua orang di Barru kini tahu: Nasir adalah kisah sukses anak Barru.
Kisah itu mulai ‘bocor’ setelah Nasir punya dua kapal. Mulailah orang Barru tahu: ke mana Nasir minggat. Dari berita para awak kapal. Dari mulut ke mulut. Sampailah ke keluarga Nasir: Nasir jadi omongan di antara sesama perantau.
Bapaknya pun tahu.
Meski Nasir belum mau berkabar. Sampai saat itu.
Barulah ketika hendak naik haji Nasir minta bapaknya ke Berau. Sang ayah menolak. Tapi Nasir terus merayu. Dengan alasan: ini kan mau naik haji.
Akhirnya sang ayah ke Berau. Melihat sukses anak yang pernah ia tendang keras-keras itu.
Begitulah. Ketika ditinggal naik haji ayahnyalah yang mengurus kapal-kapal Nasir.
Ketika Nasir sudah kembali dari haji ayahnya pamit pulang. Nasir mencegahnya. Minta lebih lama di Berau.
Suatu malam, tengah malam, ayahnya mengajak Nasir bicara. Berdua. Di kamar. Saat itulah Nasir tidak berkutik. Sang ayah mengatakan bahwa umurnya tinggal 4 hari. Ia harus pulang ke Barru. Tidak mau meninggal di perantauan.
Mulut Nasir terkatup. Tidak mampu bicara apa-apa. Ia memandang ayahnya. Tidak habis-habis. Ia tahu ayahnya serius. Sudah tua pula.
Keesokan harinya Nasir melepas kepulangan ayahnya. Sang ayah masih berpesan: saat saya meninggal nanti kamu tidak usah pulang. Kirim saja uangmu. Untuk kuburku. Usahamu ini belum bisa ditinggal. Masih perlu kamu urus tiap hari.
Empat hari kemudian Nasir terima kabar: ayahnya meninggal dunia. Hanya beberapa jam setelah kedatangannya dari Berau. “Pagi tiba, sore meninggal,” ujar Nasir.
Sang ayah tentu lega: anak yang minggat itu, yang kini berumur 46 tahun itu, telah sukses di kampung orang.(dahlan iskan)