33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:27 PM WIB

Budidaya 75 Varietas Pisang, Tertarik Karena Jadi Kebutuhan Upacara

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghasilkan nilai ekonomi. Salah satunya bertani pisang. Itulah yang dilakukan salah seorang pria asal Desa Bangli, Kecamatan Baturiti, Tabanan.

Dengan memanfaatkan lahan yang dulu kosong dan kurang produktif diubah dengan menanam berbagai jenis pisang.

 

 

JULIADI, Tabanan

BEBERAPA kali Jawa Pos Radar Bali ini kesasar menemukan kebun dari seorang pejabat struktural Pemkab Tabanan yang keseharian juga sebagai petani desa.

Beruntung salah seorang warga desa yang juga petani menunjukkan arah jalan menuju kebun milik I Made Sumertayasa yang melakukan budidaya pisang.

“Nanti ke arah Pura Padang Dawa itu sudah masuk lokasi rumah bapak dari Sumertayasa,” ujar salah seorang petani desa sambil menunjuk arah jalan.

Tepat pukul 12.00 siang, Jawa Pos Radar Bali yang bertandang sampai ke lokasi kebun pisang milik Sumertayasa di Banjar Umapoh, Desa Bangli, Baturiti, Tabanan tiba.

Rupanya pria yang juga sebagai Kepala Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Tabanan sudah menunggu.

Kami pun langsung menuju kebun dengan melewati pematang sawah yang sedang ditanami padi untuk menuju kebun pohon pisang.

Papan plang nama kebun pisang yang bertuliskan Pisangne K-Tamane terpasang pada pintu masuk kebun.

Di kebun seluas 1,5 hektare tersebut tampak beberapa pekerja sedang memindahkan tunas-tunas pisang untuk ditanam kembali.

Pekerja lainnya juga sibuk membuat pupuk cair dengan metode Eco Enzyme dari hasil kulit buah pisang dan buah-buah lainnya.

“Sudah ada sekitar 75 jenis varietas pisang yang saya tanam. Namun paling banyak jenis pisang lokal Bali dan pisang Cavendish,” ujar I Made Sumertayasa menceritakan ketertarikannya budidaya pisang.

Diakuinya, bergelut menanam pisang sejak tahun 2018 lalu, tapi mulai intensif sejak ada Covid-19 mewabah. Bukan tanpa sebab.

Sejatinya cia melakukan budidaya pisang. Selain karena hidup dari keluarga petani sejak kecil dan darah bertani itu juga ada.

Faktor tingginya kebutuhan pisang di Bali yang selama ini selalu didatangkan dari luar jadi pemicu. Di mana pisang selama ini sudah menjadi kebutuhan utama dalam sarana upacara di Bali.

Ditambah lagi dengan saat-saat hari raya keagamaan umat Hindu di Bali selalu membutuhkan pisang.

“Itu sebabnya saya menanam pisang. Selain itu karena lahan kebetulan juga kosong dengan tanaman,” ungkap pria berusia 40 tahun.

Lanjutnya, bertani pisang memang tidak harus memandang nilai ekonomi. Namun juga karena budidaya pisang sangat sederhana dan mudah.

Sebab menanam pisang satu kali bisa panen seterusnya dari tunas-tunas baru. Artinya modal tanam satu kali bisa dapat bibit pisang seterusnya.

“Hal yang membuat saya tertarik juga dari menanam pisang, bukan hanya buah pisang yang didapat. Melainkan juga daun pisang bisa dijual begitu pula batang dari pisang bisa dijadikan pakan babi,” terangnya.

Sejauh ini, dari 75 jenis varietas pisang yang Sumertayasa tanam, beberapa pisang berada dari luar Bali. Bahkan, ada pisang dengan bibit yang ia beli seharga Rp 2 juta yakni pisang musa dari Papua.

Sedangkan pisang lainnya pisang Samarinda, pisang triolin dari Jogjakarta, pisang Raja Mangsan, pisang Brasil, pisang Kepok, pisang Susu, pisang Seribu, pisang Mas, pisang Susu Merah, pisang Raja Sereh, pisang Batu dan pisang lainnya

“Rencana saya, mudah-mudah direstui saya berniat tanam pisang dari berbagai jenis pisang nusantara,” harapnya.

Sumertayasa menambahkan, meski begitu banyak pisang yang ia tanam kemudian harus memenuhi kebutuhan pasar di Bali.

Namun, dia tak mau menanam pisang agar cepat berbuah menggunakan pupuk kimia. Semua pisang yang dia tanam dengan menggunakan metode pertanian organik.

Bahkan, pisang yang dia petik dari buah dimatangkan secara tradisional dengan cara pisang ditempatkan pada sebuah kendi gerabah. Barulah pisang diberikan sekam yang sudah dibakar.

“Jadi, saya tak mau pakai bahan instan (karbit) untuk mematangkan pisang. Pola pematangan pisang secara tradisional. Sehingga menjadi pisang yang sehat untuk siap dikonsumsi,” ungkapnya.    

Untuk pisang, kata Sumertayasa, memang setiap hari panen. Dalam sekali panen maksimal 4-6 tandan buah pisang.

Sedangkan untuk pemasarannya dilakukan secara online. Pihaknya pun langsung mengantar ke lokasi pembeli.

“Permintaan pisang saat ini yang paling dominan diburu dengan jenis pisang mas, karena untuk sarana upacara di Bali.

Dari hasil tanam pisang ini rata-rata dalam satu bulan omsetnya Rp 4-5 juta. Itu sudah termasuk dari hasil penjualan daun pisang,” pungkasnya. (*)

 

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghasilkan nilai ekonomi. Salah satunya bertani pisang. Itulah yang dilakukan salah seorang pria asal Desa Bangli, Kecamatan Baturiti, Tabanan.

Dengan memanfaatkan lahan yang dulu kosong dan kurang produktif diubah dengan menanam berbagai jenis pisang.

 

 

JULIADI, Tabanan

BEBERAPA kali Jawa Pos Radar Bali ini kesasar menemukan kebun dari seorang pejabat struktural Pemkab Tabanan yang keseharian juga sebagai petani desa.

Beruntung salah seorang warga desa yang juga petani menunjukkan arah jalan menuju kebun milik I Made Sumertayasa yang melakukan budidaya pisang.

“Nanti ke arah Pura Padang Dawa itu sudah masuk lokasi rumah bapak dari Sumertayasa,” ujar salah seorang petani desa sambil menunjuk arah jalan.

Tepat pukul 12.00 siang, Jawa Pos Radar Bali yang bertandang sampai ke lokasi kebun pisang milik Sumertayasa di Banjar Umapoh, Desa Bangli, Baturiti, Tabanan tiba.

Rupanya pria yang juga sebagai Kepala Dinas Perizinan dan Penanaman Modal Tabanan sudah menunggu.

Kami pun langsung menuju kebun dengan melewati pematang sawah yang sedang ditanami padi untuk menuju kebun pohon pisang.

Papan plang nama kebun pisang yang bertuliskan Pisangne K-Tamane terpasang pada pintu masuk kebun.

Di kebun seluas 1,5 hektare tersebut tampak beberapa pekerja sedang memindahkan tunas-tunas pisang untuk ditanam kembali.

Pekerja lainnya juga sibuk membuat pupuk cair dengan metode Eco Enzyme dari hasil kulit buah pisang dan buah-buah lainnya.

“Sudah ada sekitar 75 jenis varietas pisang yang saya tanam. Namun paling banyak jenis pisang lokal Bali dan pisang Cavendish,” ujar I Made Sumertayasa menceritakan ketertarikannya budidaya pisang.

Diakuinya, bergelut menanam pisang sejak tahun 2018 lalu, tapi mulai intensif sejak ada Covid-19 mewabah. Bukan tanpa sebab.

Sejatinya cia melakukan budidaya pisang. Selain karena hidup dari keluarga petani sejak kecil dan darah bertani itu juga ada.

Faktor tingginya kebutuhan pisang di Bali yang selama ini selalu didatangkan dari luar jadi pemicu. Di mana pisang selama ini sudah menjadi kebutuhan utama dalam sarana upacara di Bali.

Ditambah lagi dengan saat-saat hari raya keagamaan umat Hindu di Bali selalu membutuhkan pisang.

“Itu sebabnya saya menanam pisang. Selain itu karena lahan kebetulan juga kosong dengan tanaman,” ungkap pria berusia 40 tahun.

Lanjutnya, bertani pisang memang tidak harus memandang nilai ekonomi. Namun juga karena budidaya pisang sangat sederhana dan mudah.

Sebab menanam pisang satu kali bisa panen seterusnya dari tunas-tunas baru. Artinya modal tanam satu kali bisa dapat bibit pisang seterusnya.

“Hal yang membuat saya tertarik juga dari menanam pisang, bukan hanya buah pisang yang didapat. Melainkan juga daun pisang bisa dijual begitu pula batang dari pisang bisa dijadikan pakan babi,” terangnya.

Sejauh ini, dari 75 jenis varietas pisang yang Sumertayasa tanam, beberapa pisang berada dari luar Bali. Bahkan, ada pisang dengan bibit yang ia beli seharga Rp 2 juta yakni pisang musa dari Papua.

Sedangkan pisang lainnya pisang Samarinda, pisang triolin dari Jogjakarta, pisang Raja Mangsan, pisang Brasil, pisang Kepok, pisang Susu, pisang Seribu, pisang Mas, pisang Susu Merah, pisang Raja Sereh, pisang Batu dan pisang lainnya

“Rencana saya, mudah-mudah direstui saya berniat tanam pisang dari berbagai jenis pisang nusantara,” harapnya.

Sumertayasa menambahkan, meski begitu banyak pisang yang ia tanam kemudian harus memenuhi kebutuhan pasar di Bali.

Namun, dia tak mau menanam pisang agar cepat berbuah menggunakan pupuk kimia. Semua pisang yang dia tanam dengan menggunakan metode pertanian organik.

Bahkan, pisang yang dia petik dari buah dimatangkan secara tradisional dengan cara pisang ditempatkan pada sebuah kendi gerabah. Barulah pisang diberikan sekam yang sudah dibakar.

“Jadi, saya tak mau pakai bahan instan (karbit) untuk mematangkan pisang. Pola pematangan pisang secara tradisional. Sehingga menjadi pisang yang sehat untuk siap dikonsumsi,” ungkapnya.    

Untuk pisang, kata Sumertayasa, memang setiap hari panen. Dalam sekali panen maksimal 4-6 tandan buah pisang.

Sedangkan untuk pemasarannya dilakukan secara online. Pihaknya pun langsung mengantar ke lokasi pembeli.

“Permintaan pisang saat ini yang paling dominan diburu dengan jenis pisang mas, karena untuk sarana upacara di Bali.

Dari hasil tanam pisang ini rata-rata dalam satu bulan omsetnya Rp 4-5 juta. Itu sudah termasuk dari hasil penjualan daun pisang,” pungkasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/