28.2 C
Jakarta
17 September 2024, 2:25 AM WIB

Revisi Perda RTWR, PHDI Bali: Untuk Bali 100 Tahun, Jangan Ada Titipan

DENPASAR – Semua pihak yang terlibat dalam pembahasan revisi Perda Nomor 16/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali mesti hati-hati.

Pembahasan harus benar-benar dilakukan ahlinya. Jangan sampai salah konsep dan salah memutuskan.

Perubahan yang dilakukan jangan untuk kepentingan bisnis atau titipan pesanan kelompok tertentu, tapi untuk meng-ajeg­-kan Bali.

Kalau bisa revisi itu tidak hanya untuk menjaga Bali 10 atau 20 tahun saja, tapi untuk Bali 100 tahun ke depan.

Bali akan metaksu jika dipelihara taksu Bali. Di antaranya bangunan paling tinggi 15 meter, kesucian pura tidak diganggu, pemeliharaan adat dan budaya seperti desa pekraman harus selalu didukung.

Apa yang sudah disepakati dan sudah ada harus tetap dijaga. Misalnya, tentang ketinggian bangunan. Kita semua sudah sepakat ketinggian bangunan di Bali maksimal 15 meter.

Ada pengecualian untuk fasilitas publik seperti rumah sakit pemerintah, kantor pemerintah, dan sekolah. Bangunannya boleh lebih dari 15 meter, tapi tetap harus dibatasi tidak boleh terlalu tinggi.

Selain tiga bangunan itu, tidak boleh melebihi 15 meter. Kenapa? Karena rumah sakit, kantor pemerintahan, dan sekolah tidak untuk bisnis.

Kalau aturan itu konsisten dipakai, tidak mengganggu apa yang menjadi sifat siku-siku Bali, maka Bali akan tetap metaksu.

Dengan mempertahankan yang sudah ada, Bali tidak seperti Jakarta dan Singapura, sehingga Bali masih bisa dilihat.

Kalau Bali sudah sama dengan Jakarta dengan Singpaura, lalu apa keistimewaannya Bali? Supaya Bali tetap istimewa, maka aturan kearifan lokal harus konsisten dijaga.

Kalau pembangunan Bali merujuk pada Tiongkok, Singapura, atau Jakarta, ya Bali tidak istimewa lagi.

Apalagi ada kondominium, gedung yang tinggi, besar, mewah, bertingkat yang dijual atau disewakan bersama.

Saya yakin masyarakat Bali tidak akan menempati kondominium. Yang tinggal di kondominium mungkin 90 persen bukan orang Bali.

Tapi, orang asing atau orang luar. Kalau ada sulinggih, diajak masuk kondominium pasti tidak mau. Masyarakat Bali budayanya bukan kondominium.

Yang jelas, pemikiran apapun yang mendasari ingin meninggikan bangunan lebih dari 15 meter, maka pemikiran yang seperti itu diurungkan saja.

Apa yang kita lakukan sekarang ini akan dinikmati untuk anak cucu. Kita memiliki tanggung jawab terhadap masa depan Bali.

Jangan sampai kita yang hidup sekarang ini disalahkan anak cucu nanti karena salah konsep. Kita akan menerima karma dari perbuatan kita. Jadi, jangan salah konsep dan salah memutuskan.

Selain ketinggian bangunan, bisama kesucian pura tolong diamankan. Sempadan pantai, sungai, dan danau benar-benar juga harus dijaga.

Jangan sampai salah hitung. Kalau sampai salah, walau sedikit, maka pembangunan itu bisa merusak. 

Mari kita jaga dan ajeg-kan Tri Hita Karana (THK), hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Antara teori dengan praktik jangan berubah.

Kalau THK terus dipertahankan, maka apa yang selama ini memang menjadi roh Bali akan bisa diwujudkan.

Saya berharap penyusun revisi Perda RTRW jangan cepat-cepat memutuskan kalau berurusan dengan taksu dan masa depan Bali. Harus benar-benar dikaji orang yang ahli di bidangnya.

DENPASAR – Semua pihak yang terlibat dalam pembahasan revisi Perda Nomor 16/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali mesti hati-hati.

Pembahasan harus benar-benar dilakukan ahlinya. Jangan sampai salah konsep dan salah memutuskan.

Perubahan yang dilakukan jangan untuk kepentingan bisnis atau titipan pesanan kelompok tertentu, tapi untuk meng-ajeg­-kan Bali.

Kalau bisa revisi itu tidak hanya untuk menjaga Bali 10 atau 20 tahun saja, tapi untuk Bali 100 tahun ke depan.

Bali akan metaksu jika dipelihara taksu Bali. Di antaranya bangunan paling tinggi 15 meter, kesucian pura tidak diganggu, pemeliharaan adat dan budaya seperti desa pekraman harus selalu didukung.

Apa yang sudah disepakati dan sudah ada harus tetap dijaga. Misalnya, tentang ketinggian bangunan. Kita semua sudah sepakat ketinggian bangunan di Bali maksimal 15 meter.

Ada pengecualian untuk fasilitas publik seperti rumah sakit pemerintah, kantor pemerintah, dan sekolah. Bangunannya boleh lebih dari 15 meter, tapi tetap harus dibatasi tidak boleh terlalu tinggi.

Selain tiga bangunan itu, tidak boleh melebihi 15 meter. Kenapa? Karena rumah sakit, kantor pemerintahan, dan sekolah tidak untuk bisnis.

Kalau aturan itu konsisten dipakai, tidak mengganggu apa yang menjadi sifat siku-siku Bali, maka Bali akan tetap metaksu.

Dengan mempertahankan yang sudah ada, Bali tidak seperti Jakarta dan Singapura, sehingga Bali masih bisa dilihat.

Kalau Bali sudah sama dengan Jakarta dengan Singpaura, lalu apa keistimewaannya Bali? Supaya Bali tetap istimewa, maka aturan kearifan lokal harus konsisten dijaga.

Kalau pembangunan Bali merujuk pada Tiongkok, Singapura, atau Jakarta, ya Bali tidak istimewa lagi.

Apalagi ada kondominium, gedung yang tinggi, besar, mewah, bertingkat yang dijual atau disewakan bersama.

Saya yakin masyarakat Bali tidak akan menempati kondominium. Yang tinggal di kondominium mungkin 90 persen bukan orang Bali.

Tapi, orang asing atau orang luar. Kalau ada sulinggih, diajak masuk kondominium pasti tidak mau. Masyarakat Bali budayanya bukan kondominium.

Yang jelas, pemikiran apapun yang mendasari ingin meninggikan bangunan lebih dari 15 meter, maka pemikiran yang seperti itu diurungkan saja.

Apa yang kita lakukan sekarang ini akan dinikmati untuk anak cucu. Kita memiliki tanggung jawab terhadap masa depan Bali.

Jangan sampai kita yang hidup sekarang ini disalahkan anak cucu nanti karena salah konsep. Kita akan menerima karma dari perbuatan kita. Jadi, jangan salah konsep dan salah memutuskan.

Selain ketinggian bangunan, bisama kesucian pura tolong diamankan. Sempadan pantai, sungai, dan danau benar-benar juga harus dijaga.

Jangan sampai salah hitung. Kalau sampai salah, walau sedikit, maka pembangunan itu bisa merusak. 

Mari kita jaga dan ajeg-kan Tri Hita Karana (THK), hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Antara teori dengan praktik jangan berubah.

Kalau THK terus dipertahankan, maka apa yang selama ini memang menjadi roh Bali akan bisa diwujudkan.

Saya berharap penyusun revisi Perda RTRW jangan cepat-cepat memutuskan kalau berurusan dengan taksu dan masa depan Bali. Harus benar-benar dikaji orang yang ahli di bidangnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/