Tidak terhitung.
Entah sudah berapa kali.
Saya ke Palu.
Di masa lalu.
Tak terhitung.
Berapa banyak ikan lautnya yang sudah kulahap.
Berapa cobek sambalnya yang kulumat.
Berapa botol bawang merah gorengnya yang kubawa pulang.
Palu.
Tempatku merintis koran.
Tempatku mendidik wartawan.
Tempatku menikmati makanan.
Pernah saya ke Palu
Hanya satu jam di sana
Hanya karena kangen ikannya
Dan sambalnya.
Tak pernah hilang dari ingatan.
Sebuah restoran
Tidak bisa tutup sebelum tengah malam
Karena pesawat saya terlambat tiba
Sang suami menunggu di teras
Seorang keturunan Arab.
Sang istri tetap di dapur membuat sambal baru.
Seorang wanita keturunan Tionghoa.
Yang tidak bisa bahasa Mandarin melainkan Hokkian.
Saya lihat putri-putrinya.
Setengah Arab.
Setengah Tionghoa.
Palu…
Kesegaran ikannya,
Kelegitan sambalnya,
Masih menempel di lidahku.
Sampai belasan tahun kemudian.
Sampai sekarang.
Palu…
Kutitikkan air mataku.
Kuremaskan genggam tanganku.
Marah.
Geram.
Tak berdaya.
Menyaksikan rakyat sengsara.
Tidak cukup listrik di sana
Di tahun 2009 itu.
Kulanggar hukum.
Kutabrak peraturan.
Demi listrik di sana.
Yang mati tiga kali sehari.
Kadang seminggu mati abadi…
Palu-Kebunkopi,
Palu-Parigi,
Palu-Tentena,
Palu-Donggala,
Adalah rute-ruteku.
Kala itu.
Rute yang menantang
Rute yang ngeri-ngeri sedap itu.
Palu…
Telukmu,
Nyiur melambaimu,
Al-Khairatmu,
Gerejamu,
Kelentengmu,
Semua lekuk-lekukmu,
Begitu abadinya diingatanku.
Palu…
Lama saya tidak ke sana
Sejak saya sendiri terkena bencana.
Palu…
Tiba-tiba namamu menusuk jantungku.
Pilu
Gempa dan tsunami itu.
Jumat senja akhir September lalu.
Meluluhlantakkan bumimu.
Palu.
Membuatku pilu.
Palu.
Membangkitkan rinduku padamu.
Dahlan Iskan