Orang awam akan bertanya: mengapa pembangkit listrik tenaga angin itu dibangun di daerah yang sudah kelebihan listrik seperti Sulsel? Mengapa tidak dibangun di Papua atau di Seram atau di Halmahera atau di Sumba atau di Flores? Yang mereka kekurangan listrik?Kenapa investor tidak sekalian mengabdi mengatasi kekurangan listrik di suatu daerah di Indonesia?
Jawabnya: Anda ini siapa? Investor? Orang PLN? Atau orang pemerintah?
Kalau Anda investor, pasti Anda akan pilih membangunnya di daerah yang sudah kelebihan listrik. Bahkan di daerah yang sistem kelistrikannya sudah mapan.
Sejak tiga tahun lalu Sulsel sudah kelebihan listrik dan sistemnya sudah cukup andal.
Dengan memilih investasi di daerah yang kelebihan listrik investasi Anda akan lebih aman. Misalnya, Anda hanya bisa kirim listrik ke PLN 10 MW dari yang Anda janjikan 75 MW. Kebetulan pada jam itu lagi tidak ada angin. Anda tidak akan dimarahi. Anda tidak akan kena klaim. Baik dari PLN maupun dari masyarakat.
Meski kiriman listrik dari Anda hanya sedikit, tidak perlu ada mati lampu. Tidak perlu ada pemadaman. Kekurangan suplai dari Anda itu bisa ditutupi oleh kiriman listrik dari pembangkit milik orang lain.
Ini beda dengan kontrak pembelian listrik dari PLTU batubara. Atau dari tenaga gas. Atau lainnya. Begitu listrik yang Anda kirim ke PLN tidak mencapai jumlah yang ada di kontrak, Anda harus membayar ganti rugi ke PLN. Yang nilainya bisa memusingkan Anda. Ini karena Anda telah dianggap memusingkan PLN.
Jadi, kalau investor tenaga angin itu membangun proyeknya di Sulsel sudah pintarlah dia. Kita harus merelakan orang lain pintar. Asal kita tidak merelakan diri kita sendiri bodoh.
Saya tidak bisa membandingkan proyek penari langit bule yang dibangun investor asing di Sulsel ini dengan proyek penari langit yang dibangun putra bangsa kita, Ricky Elson, di desa miskin di pedalaman Sumba.
Empat tahun lalu Ricky, anak Padang yang 14 tahun hidup di Jepang itu, membangun 100 kincir penari langit di Sumba. Juga di atas bukit. Agar dapat angin lebih banyak. Tinggi tiangnya hanya 12 meter dan panjang bilahnya hanya 1 meter.
Tidak ada kelebihan listrik di desa itu. Bahkan tidak ada listrik. Penduduknya masih menggunakan lampu ublik atau petromaks. Ricky: untuk apa membangun pembangkit listrik di daerah yang sudah kelebihan listrik.
Kincir-kincir itu ciptaannya sendiri. Mulai dari motornya sampai bilah baling-balingnya. Ricky memang ahli motor listrik. Dia memiliki beberapa paten di Jepang di bidang itu. Dia menciptakan motor yang bisa digerakkan oleh baling-baling.
Bukan itu intinya. Yang dia unggulkan adalah motor itu menggunakan sesedikit mungkin magnit. Agar angin yang hanya berkecepatan 1 meter perdetik sudah bisa menggerakkan baling-balingnya. Motor itu dia buat sedemikian ringan tarikannya. Berkat kadar magnit minimalis yang dia ciptakan.
Mengingat desa itu tidak ada listrik, dan juga tidak pernah ada sistem, Ricky harus membangun sendiri sistemnya. Dia harus mengadakan baterai dalam jumlah banyak. Listrik dari angin siang hari dia simpan dibaterai. Malamnya dialirkan ke rumah-rumah penduduk.
Tentu Ricky ingin mengembangkan teknologinya ini. Yang sudah terbukti berfungsi baik selama dua tahun. Hanya saja dia bukan investor.
Dia perlu dukungan kebijakan. Dia tidak bisa memilih, misalnya, membangun itu di daerah yang sudah kelebihan listrik.
Saya mengagumi proyek raksasa di Pabbaressa dan Jeneponto itu. Terpesona. Sebagai penonton.
Tapi saya tidak hanya kagum saat berkunjung ke pedalaman Sumba melihat para penari langit ciptaan Ricky. Kagum campur bangga. Dan terharu. Dan kasihan. Dan nelongso. Apalagi ketika sekarang seperti kena gilas trailer.(dis/habis)