Tari Rejang Renteng yang kini mewabah di Bali tak lepas dari peran seorang Ida Ayu Made Diastini, SST,. M.Si.
Tarian yang terinspirasi dari Tari Renteng di Desa Saren, Nusa Gede, ini awalnya dikembangkan Dinas Kebudayaan Bali.
Lantas, bagaimana Diastini meneliti dan menggalinya kembali ke tempat kelahiran tari itu hingga menjadi tari rejang paling viral saat ini?
IGP ARDITA, Denpasar
TAHUN 1999 Dinas Kebudayaan Provinsi Bali mendapat “mandat” dari Pemprov melakukan pelestarian tarian langka.
Salah satu yang dibidik adalah tari Renteng di Desa Saren, Nusa Gede, Nusa Penida. Berangkatlah tim Disbud Bali tersebut ke Nusa Penida karena saat piodalan di Pura Dalem Ped akan ditarikan tari Renteng tersebut sebagai wali.
Harapannya, tim dari Disbud Bali ini bisa menyaksikan, meneliti lalu mengembangkan tari Renteng tersebut.
Tim dari Disbud Bali saat itu ikut menari mengikuti gerakan para pemangku yang ngerenteng. Hasilnya tentu belum sempurna karena hanya pada gerakan pengawak yang diulang-ulang.
Selanjutnya, tari Renteng itu dikembangkan lagi dengan menambahkan gerakan pada pepeson yang diambil dari gerakan mendet dalam tari wali serta pekaad yang diambil dari gerakan Rejang Dewa.
Tari baru tersebut kemudian diberi nama Tari Rejang Renteng. Tapi “proyek” Disbud Bali itu seperti terbengkalai tanpa kelanjutan jelas.
Tari Rejang Renteng memang muncul menjadi tari baru namun hadir begitu saja tanpa ruh dan bagaimana makna serta filosofi dari setiap gerakan bahkan filosofi dari busana sederhana yang digunakannya.
Termasuk terminologi kata “renteng” yang kini sedang menjadi pabligbagan (perdebatan). Saatnya kemudian muncul Ida Ayu Diastini, seorang PNS di Disbud Bali.
Diastini yang sudah menguasai tarian dan tabuh Rejang Renteng hasil pengembangan Disbud Bali itu pada November 2017 diundang melatih ibu-ibu PKK ke Nusa Lembongan.
Undangan melatih Rejang Renteng persiapan warga Lembongan ngayah pada upacara Catus Pata itu diterima dengan senang hati oleh Diastini.
“Karena sejak saat itu saya pribadi ingin meneliti seperti apa sejatinya tari Renteng di Desa Saren itu dan saya bertekad mendapatkan keteranngan dari para pewaris atau yang kesudi ngerenteng tersebut,” jelas Diastini.
Dengan bekal seadanya Diastini nekat berangkat sendirian ke Nusa Lembongan. Selain mengajar, ini kesempatan baginya untuk meneliti kembali
tari Renteng tersebut karena dia melihat Rejang Renteng hasil pengembangan Dinas Kebudayaan Bali masih perlu disempurnakan.
Niat tulus ngayah serta tekad mendapatkan informasi dari sumbernya itu membuat Diastini mendapat petunjuk serta pengalaman amat berharga.
Berbagai pewisik serta pengalaman niskala selama meneliti itu akhirnya mengantarkannya menjadi semacam brand dari tari Rejang Renteng itu sendiri.
“Informasi awal saya dapatkan dari Jero Mangku Ketut Sutiana dari Desa Lembongan. Menurut Jero Mangku Sutiana, Tari Rejang Renteng berasal dari Desa Saren yang sebelumnya disebut Renteng saja,” jelas Diastini lagi.
Setelah mengajar tari dan tabuh kepada ibu-ibu PKK di Lembongan hingga ngayah menari Rejang Renteng pada upacara Catus Pata,
beberapa bulan kemudian tepatnya Maret 2018 Diastini terobsesi datang kembali ke pulau yang menjadi bagian Kabupaten Klungkung tersebut.
Kali ini Diastini mau langsung ke tempat kelahiran Renteng di Banjar Adat Saren, Desa Pekraman Mujaning Tembeling, Desa Dinas Batumadeg, Dusun Saren Satu, Nusa Gede.
“Disana saya bertemu dengan mantan kelian adatnya bernama I Made Nase. Menurut I Made Nase, Renteng ini hanya ditarikan para pemangku dan wanita yang sudah menikah,” ungkap Diastini.
Yang mengejutkan, Diastini pun kesudi (mendapat pewisik niskala) ikut ngerenteng disana dan ini sebagai titik awal dari perjalanan panjangnya
memundut paican Ida Betara Dalem Ped yang memberi ruh dan taksu Tari Rejang Renteng tersebut. (*)