26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 4:31 AM WIB

Pamali Periode Kedua Pemerintahan; Studi Kasus di Indonesia

SEJAK era reformasi dan penetapan periode jabatan presiden selama 5 tahun, praktis Susilo Bambang Yudhoyono yang mengawali kiprah menjadi presiden selama 2 periode.

Kali ini, Joko Widodo menjadi presiden berikutnya yang mengikuti langkah SBY memimpin Indonesia di periode kedua.

Perlu diingat, kesuksesan kepemimpinan SBY di periode pertama menjadi bomerang di periode berikutnya.

Kampanye “katakan tidak pada korupsi” tidak diikuti dengan perilaku kader-kadernya di pemerintahan.

Tercatat ada 6 menteri yang tersandung kasus korupsi di era kepemimpinan SBY; Siti Fadillah Supari (Menteri Kesehatan),

Andi Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), Suryadharma Ali (Menteri Agama), Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata), dan Bachtiar Chamsyah (Menteri Sosial).

Selain itu, banyak kader di luar lembaga eksekutif yang turut merongrong elektabilitas Demokrat dengan perilaku korupsi kadernya seperti:

Anas Urbaningrum (ketua umum Demokrat), Hartati Murdaya (anggota dewan pembina Demokrat), Sutan Bhatoegana (Ketua DPP Demokrat),

Muhammad Nazaruddin (Bendahara Umum Demokrat), Angelina Sondakh (Wakil Sekjen Demokrat), Amrun Daulay, Sarjan Taher, Djufri,

dan As’ad Syam (anggota DPR Fraksi Demokrat), Agusrin M. Najamudin (Gubernur Bengkulu), Murman Effendi (Bupati Seluma), dan Abdul Fattah (Bupati Batanghari).

Partai koruptor pun melekat dalam diri partai Demokrat. Terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan banyak kader Demokrat pun disinyalir menjadi faktor penyebab menurunnya perolehan suara partai di pemilu 2014 dan 2019.

Demokrat yang sebelumnya menjadi partai unggulan menjadi partai tengah yang mesti berjuang hanya untuk lolos ke parlemen.

Selain korupsi, kegagalan periode kedua SBY mencatatkan sejarah kegagalan di bidang ekonomi.

Indef mencatat beberapa kegagalan SBY saat menjabat presiden, seperti: ketimpangan melebar, gini ratio naik 0,5,

deindustrialisasi dengan rendahnya kontribusi sektor industri terhadap PDB, neraca perdagangan dari surplus US$ 25,06 miliar menjadi defisit US$ 4,06 miliar,

kurangnya penciptakan lapangan kerja, elastisitas 1 persen pertumbuhan dalam membuka lapangan kerja turun dari 436.000 menjadi 164.000, efisiensi ekonomi semakin memburuk.

ICOR melonjak dari 4,17 menjadi 4,5, tax ratio turun sebesar 1,4 persen, kesejahteraan petani menurun 0,92 persen,

utang per kapita naik dari US$ 531,29 menjadi US$ 1.002,69 (2013), pembayaran bunga utang menyedot 13,6 persen dari anggaran pemerintah pusat, APBN naik,

namun disertai defisit keseimbangan primer, postur APBN semakin tidak proporsional, boros, dan semakin didominasi pengeluaran rutin dan birokrasi.

Ketika periode pertama SBY begitu diagungkan yang selaras dengan perolehan suara partai Demokrat tahun 2009 mencapai 20,85 persen (tertinggi).

Kemudian bobrok di periode kedua pemerintahan yang membuat elektablitas partai merosot.

Pamali bagi presiden Jokowi yang mendapat banyak apresiasi di pemerintahan periode pertama,

ketika baru mulai merajut kabinet periode kedua harus dihantam pandemi dan 2 menterinya tersandung kasus korupsi.

 

Tantangan Jokowi

Periode pertama Jokowi, ICW mencatat ada 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR RI, dua kasus melibatkan menteri, dan 85 kepala daerah.

Setahun menukangi kabinet Indonesia Maju, 2 menteri lagi-lagi tersandung kasus korupsi. Juliari Batubara (Menteri Sosial) dan Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan).

Korupsi begitu akrab di periode kedua kepemerintahan. Seolah menjadi ajang rekreasi menumpuk kekayaan pribadi selama masih diberikan mandat oleh presiden.

Jatuhnya ekonomi nasional membuat banyak peluang untuk dimanfaatkan menjadi ladang korupsi.

Selain bantuan sosial, banyak aspek anggaran negara yang dihibahkan untuk penanggulangan Covid-19.

Program vaksinasi yang sempat disemprot Ribka Tjiptaning karena dianggap sebagai ajang transaksi bisnis farmasi.

Banyak bidang yang membutuhkan pemulihan pasca pandemi. Mulai dari transportasi, pariwisata, pendidikan, kebudayaan, hingga pertanian.

Pemerintah juga terkesan jor-joran menggelontorkan anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional.

Sampai dengan akhir tahun 2020, utang pemerintah sudah menembus Rp 6.074,56 triliun. Di awal tahun 2021, Sri Mulyani masih mengincar utang hingga Rp 342 Triliun.

Kebijakan utang luar negeri akan diamini oleh semua jika digunakan secara optimal untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Syaratnya, semua harus mempunyai keprihatinan yang sama terhadap pagebluk Covid-19. Periode kedua jangan sampai dijadikan ajang mengutamakan kepentingan pribadi dibanding negara.

Jika jajaran kabinet di lembaga eksekutif, legislatif, hingga partai politik benar-benar fokus menyelamatkan bangsa, seharusnya Indonesia akan mudah melewati periode pandemi.

Namun sebaliknya, jika para pemangku kebijakan menyelewengkan tugas dan tanggungjawabnya seperti yang terjadi di periode kedua kepemerintahan SBY, maka hancurlah kesejahteraan dan keadilan negara.

Periode kedua harus dijadikan citra unggul di mata masyarakat agar suara partai dan tokoh tidak jeblok di pemilu.

PDI Perjuangan selaku pemegang estafet politik nasional harus lebih ketat mengawasi kinerja kader di dalam maupun luar pemerintah.

Apalagi banyak kader yang digadang menjadi presiden di tahun 2024. Kasus Juliari Batubara cukup dijadikan pelajaran bahwa perilaku korupsi bukan hanya merugikan diri sendiri,

melainkan juga mencederai partai politik yang bersangkutan dan kepemerintahan Jokowi yang dikenal bersih.(*)

 


Joko Yuliyanto

Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif Menulis Opini di Media Daring.

SEJAK era reformasi dan penetapan periode jabatan presiden selama 5 tahun, praktis Susilo Bambang Yudhoyono yang mengawali kiprah menjadi presiden selama 2 periode.

Kali ini, Joko Widodo menjadi presiden berikutnya yang mengikuti langkah SBY memimpin Indonesia di periode kedua.

Perlu diingat, kesuksesan kepemimpinan SBY di periode pertama menjadi bomerang di periode berikutnya.

Kampanye “katakan tidak pada korupsi” tidak diikuti dengan perilaku kader-kadernya di pemerintahan.

Tercatat ada 6 menteri yang tersandung kasus korupsi di era kepemimpinan SBY; Siti Fadillah Supari (Menteri Kesehatan),

Andi Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), Suryadharma Ali (Menteri Agama), Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata), dan Bachtiar Chamsyah (Menteri Sosial).

Selain itu, banyak kader di luar lembaga eksekutif yang turut merongrong elektabilitas Demokrat dengan perilaku korupsi kadernya seperti:

Anas Urbaningrum (ketua umum Demokrat), Hartati Murdaya (anggota dewan pembina Demokrat), Sutan Bhatoegana (Ketua DPP Demokrat),

Muhammad Nazaruddin (Bendahara Umum Demokrat), Angelina Sondakh (Wakil Sekjen Demokrat), Amrun Daulay, Sarjan Taher, Djufri,

dan As’ad Syam (anggota DPR Fraksi Demokrat), Agusrin M. Najamudin (Gubernur Bengkulu), Murman Effendi (Bupati Seluma), dan Abdul Fattah (Bupati Batanghari).

Partai koruptor pun melekat dalam diri partai Demokrat. Terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan banyak kader Demokrat pun disinyalir menjadi faktor penyebab menurunnya perolehan suara partai di pemilu 2014 dan 2019.

Demokrat yang sebelumnya menjadi partai unggulan menjadi partai tengah yang mesti berjuang hanya untuk lolos ke parlemen.

Selain korupsi, kegagalan periode kedua SBY mencatatkan sejarah kegagalan di bidang ekonomi.

Indef mencatat beberapa kegagalan SBY saat menjabat presiden, seperti: ketimpangan melebar, gini ratio naik 0,5,

deindustrialisasi dengan rendahnya kontribusi sektor industri terhadap PDB, neraca perdagangan dari surplus US$ 25,06 miliar menjadi defisit US$ 4,06 miliar,

kurangnya penciptakan lapangan kerja, elastisitas 1 persen pertumbuhan dalam membuka lapangan kerja turun dari 436.000 menjadi 164.000, efisiensi ekonomi semakin memburuk.

ICOR melonjak dari 4,17 menjadi 4,5, tax ratio turun sebesar 1,4 persen, kesejahteraan petani menurun 0,92 persen,

utang per kapita naik dari US$ 531,29 menjadi US$ 1.002,69 (2013), pembayaran bunga utang menyedot 13,6 persen dari anggaran pemerintah pusat, APBN naik,

namun disertai defisit keseimbangan primer, postur APBN semakin tidak proporsional, boros, dan semakin didominasi pengeluaran rutin dan birokrasi.

Ketika periode pertama SBY begitu diagungkan yang selaras dengan perolehan suara partai Demokrat tahun 2009 mencapai 20,85 persen (tertinggi).

Kemudian bobrok di periode kedua pemerintahan yang membuat elektablitas partai merosot.

Pamali bagi presiden Jokowi yang mendapat banyak apresiasi di pemerintahan periode pertama,

ketika baru mulai merajut kabinet periode kedua harus dihantam pandemi dan 2 menterinya tersandung kasus korupsi.

 

Tantangan Jokowi

Periode pertama Jokowi, ICW mencatat ada 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR RI, dua kasus melibatkan menteri, dan 85 kepala daerah.

Setahun menukangi kabinet Indonesia Maju, 2 menteri lagi-lagi tersandung kasus korupsi. Juliari Batubara (Menteri Sosial) dan Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan).

Korupsi begitu akrab di periode kedua kepemerintahan. Seolah menjadi ajang rekreasi menumpuk kekayaan pribadi selama masih diberikan mandat oleh presiden.

Jatuhnya ekonomi nasional membuat banyak peluang untuk dimanfaatkan menjadi ladang korupsi.

Selain bantuan sosial, banyak aspek anggaran negara yang dihibahkan untuk penanggulangan Covid-19.

Program vaksinasi yang sempat disemprot Ribka Tjiptaning karena dianggap sebagai ajang transaksi bisnis farmasi.

Banyak bidang yang membutuhkan pemulihan pasca pandemi. Mulai dari transportasi, pariwisata, pendidikan, kebudayaan, hingga pertanian.

Pemerintah juga terkesan jor-joran menggelontorkan anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional.

Sampai dengan akhir tahun 2020, utang pemerintah sudah menembus Rp 6.074,56 triliun. Di awal tahun 2021, Sri Mulyani masih mengincar utang hingga Rp 342 Triliun.

Kebijakan utang luar negeri akan diamini oleh semua jika digunakan secara optimal untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Syaratnya, semua harus mempunyai keprihatinan yang sama terhadap pagebluk Covid-19. Periode kedua jangan sampai dijadikan ajang mengutamakan kepentingan pribadi dibanding negara.

Jika jajaran kabinet di lembaga eksekutif, legislatif, hingga partai politik benar-benar fokus menyelamatkan bangsa, seharusnya Indonesia akan mudah melewati periode pandemi.

Namun sebaliknya, jika para pemangku kebijakan menyelewengkan tugas dan tanggungjawabnya seperti yang terjadi di periode kedua kepemerintahan SBY, maka hancurlah kesejahteraan dan keadilan negara.

Periode kedua harus dijadikan citra unggul di mata masyarakat agar suara partai dan tokoh tidak jeblok di pemilu.

PDI Perjuangan selaku pemegang estafet politik nasional harus lebih ketat mengawasi kinerja kader di dalam maupun luar pemerintah.

Apalagi banyak kader yang digadang menjadi presiden di tahun 2024. Kasus Juliari Batubara cukup dijadikan pelajaran bahwa perilaku korupsi bukan hanya merugikan diri sendiri,

melainkan juga mencederai partai politik yang bersangkutan dan kepemerintahan Jokowi yang dikenal bersih.(*)

 


Joko Yuliyanto

Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif Menulis Opini di Media Daring.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/