TRADISI megibung atau makan bersama sangat di kenal di kabupaten Karangasem.
Bahkan tradisi turun temurun di kabupaten paling ujung timur di Bali tak hanya dilakukan warga Hindu Bali. Namun tradisi yang sangat dikenal luas masyarakat luar Karangasem ini juga dilakukan oleh warga muslim di Karangasem. Seperti apa?
WAYAN PUTRA, Bebandem
Setiap perayaan Idul Fitri atau lebaran, tradisi megibung selalu rutin digelat secara turun temurun bagi sebagian besar Warga Kampung Muslim Saren Jawa di Desa Budekeling, Bebandem, Karangasem.
Bahkan bagi warga setempat, tradisi ini sudah dilaksanakan dari sejak moyang atau pendahulu mereka semasa jauh sebelum kejayaan Kerajaan Karangasem .
Hampir mirip dengan megibung yang digelar warga Hindu Bali di Karangasem, tradisi megibung di Kampung Muslim Saren Jawa juga dibagi menjadi beberapa kelompok. Ada delapan orang, enam orang, dan terkecil empat orang.
Bedanya, jika bahan megibung yang digelar warga Hindu Bali terdiri dari nasi, sate, dan lawar. Khusus umat muslim di kampung Muslim Saren Jawa, bahan gibungan berupa nasi dan lauk opor atau rendang sebagai pengganti lawar.
Seperti disampaikan salah seorang Penghulu di Kampung Saren Jawa Juaini Bakri. Ditemui diselai acara megibung di Masjid Jami’Nurul Hayat, Rabu (5/6) lalu, ia menjelaskan, jika tradisi megibung yang dilakukan oleh ratusan warga lainnya merupakan tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun semenjak Muslim ada dikampung Saren ini.
Selain itu, ia juga menambahkan jika tradisi ini tak hanya dilakukan saat Idul Fitri atau tepatnya usai melaksanakan salat Idul Fitri, namun setiap hari keagamaan juga kerap dilakukan.
“Selain Idul Fitri, hari besar lainnya juga biasa megibungan,” ujarnya.
Megibungan ala warga Kampung Sarem dan kampung lainnya yang ada di Karangasem tak ada bedanya.
Hampir sama pada umumnya, bahkan lauknya yang dari daging sapi juga diolah dengan bumbu genap mirip seperti sate khas Karangasem. Hanya untuk hidangan lawarnya diganti dengan hidangan lainnya seperti Rendang dan Opor.
Selain itu, yang membedakan lagi, proses memasaknya dilakukan di masing- masing rumah warga.
Dimana setelah matang baru dibawa ke masjid. Karena ada unsur sodakohnya, makanan tersebut tak harus dimakan sendiri. Nantinya makanan tersebut diharapkan bisa dimakan secara yang bersama-sama.
Kalau tradisi megibung ala Bali selalu diawali dengan tradisi mebat.
Mebat adalah mengolah bahan makanan yang akan dipakai untuk mengibung. Diantaranya membuat sate, lawar dan komoh.
Hanya saja megibung alam warga Muslim tidak diawali mebat. Namun makanan atau gibungan dibuat di rumah masing masing dan disantep bersama-sama di Masjid.
Tradisi ini dilakukan dengan penuh suka cita. Selain ada tradisi megibung, warga Saren Jawa juga keseharinya menggunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi. Bahkan bahasa Bali yang mereka gunakan termasuk bahasa Bali halus dengan tingkatan yang cukup sulit.
Untuk diketahui Kampung Muslim Saren Jawa merupakan kampung muslim tertua di Bali.
Menurut cerita kampung muslim ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Majapahit.
Warga Saren Jawa sendiri juga tidak berasal dari Lombok seperti warga muslim lainya di Karangasem.
Namun berasal dari Jawa timur. Mereka juga kerap ngayah di Geria Budekeling yang memang disebut sebut mengajaknya ke Karangasem.
Karena dekat dengan kalangan Geria maka bahasa Bali yang mereka gunakan juga bahasa halus. Yang selama ini dipergunakan warga Bali lainya saat berbicara dengan para Brahmana atau Kesatria dan yang lainya. (tra)
Foto I Nengah Rata, Mundur dari Pengurus Pesemetonan karena gagal Nyaleg (foto tra)
Gagal Nyaleg, Bos Dealer Motor Mendadak Mundur Jadi Penglingsir Pasemetonan
AMLAPURA—Diduga kecewa dan sakit hati karena tak lolos saat mencalonkan diri sebagai calon legislative pada Pemilu 2019 lalu, seorang bos dealer motor memilih keluar dari pengurus pasemeton.
Caleg gagal yang diduga ngambul dengan memilih keluar dari kepengurusan pasemeton itu seperti yang dilakukan I Nengah Rata.
Rata yang merupakan caleg dari PDI Perjuangan Dapil Selat, Rendang, Karangasem ini mendadak memilih mundur dari jabatan sebagai wakil ketua Pesemetonan Arya Kenuruhan Kecamatan Selat.
Diduga Rata mundur karena kecewa dengan anggota pasemeton yang tak mendukung dirinya saat maju Pileg 2019 lalu.
Terkait kemunduran dirinya dari struktur kepengurusan pasemeton, Nengah Rata tak menampik.
“Ada janji yang tidak ditepati,” ujarnya.
Selaian itu dia juga merasa sudah tidak dihargai sebagai pengurus karena janjinya mau mendukung dengan pilihan sekitar 50 persen namun ternyata jauh dari harapan. Ini juga menandakan kalau dirinya sudah tidak mendapat dukungan lagi sehingga mundur sebagai pengurus.
Rata mengakui warga Kenuruhan Kecamatan Selat ada 1300 KK atau sekitar 4000 pemilih. Sementara jika 50 persen saja pilihan masuk kepadanya maka jumlah pemilih akan signifikan. Namun kenyataanya dia mengaku hanya dapat 680 suara.
Rata sendiri bukan orang baru dalam kepengurusan Arya Kenuruhan Selat. Dia sudah enam tahun berkecimpung atau ngayah sebagai pengurus organisasi warga.
Rata mengakui awalnya sempat ada kesepakatan di internal untuk mendukung penglingsir yang maju kelegeslatif.
Sementara pengurus lainya juga komitmen tidak ada yang maju sehingga Rata memutuskan untuk maju.
“Bahkan saat itu Ketua Saba Pinandita Gede Sarjana janji mendukung 200 persen ternyata di Dusun Alas Tunggal nol (tempat asal Gede Sarjana red).
Rata pun mengaku kecewa dan merasa tidak dihargai. Rata sendiri mengakui mundurnya dia juga di berangi dengan mundurnya pengurus lainya seperti Ketua, Sekretaris dan Bendahara.
Lalu apa langkah kedepan? Rata mengaku tetap akan ngayah di pesemetonan namun bukan sebagai penglingsir.
“Masih banyak ayah-ayahan lainya yang bisa dilakukan. Mungkin sementara akan focus dulu mengurus usaha di UD Indra Merta Motor,” akunya.