Oleh: Dahlan Iskan
“Tunda lagi dulu. Ada perkembangan baru”.
Itulah permintaan saya kepada mas Joko Intarto. Yang mengelola disway.
Sering terjadi seperti itu. Tulisan sudah saya buat. Sudah saya kirim pula. Tapi tiba-tiba ada perkembangan baru. Saya harus menulis lagi. Yang terlanjur selesai ditulis itu tidak jadi dimuat.
Begitulah nasib sebuah tulisan. Yang saya buat di Turki. Saya minta jangan dimuat dulu.
Kalah dengan peristiwa jilbab pertama di DPR Amerika. Lalu kalah lagi dengan Sultan Muhammad V Malaysia. Yang mengawini ratu kecantikan Rusia.
Hari ini tulisan itu ternyata kalah lagi. Dengan yang lebih penting: dimulainya perundingan dagang Amerika-Tiongkok.
Perundingan itu terjadi di Beijing. Senin kemarin. Tim perundingan Amerika bertemu tim perunding tuan rumah.
Kejutan terjadi: Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He tiba-tiba nongol. Ia masuk ke ruangan. Disambut tepuk tangan tim perunding dari Amerika. Bahkan ada yang bertepuk sambil berdiri.
Padahal perundingan itu hanya untuk tingkat wakil menteri. Mestinya. Seperti yang sudah disepakati. Kelak barulah meningkat ke tingkat menteri. Kelak lagi naik lagi ke tingkat pengambil keputusan. Munculnya pejabat setinggi Liu He benar-benar kejutan.
Dari pihak Tiongkok yang hadir juga banyak sekali. Hampir 100 orang. Dua kali lipat dari juru runding Amerika.
Yang memimpin tim Amerika tidak sampai tingkat wakil menteri. Hanya dipimpin Wakil Kepala Perwakilan Dagang, Jeffrey Gerrish. Mengapa Liu He sampai masuk ruang perundingan? Bahkan disertai menteri perdagangannya pula?
Presiden Donald Trump sudah sepakat dengan Presiden Xi Jinping: gencatan senjata dulu selama 90 hari. Sejak mereka berdua bertemu di Argentina. Tanggal 29 Nopember lalu.
Berarti, Senin kemarin itu, saat perundingan pertama dimulai itu, sudah sangat telat. Sudah kehilangan waktu 36 hari.
Tentu tidak bisa dikatakan kehilangan. Perundingan pertama itu memerlukan persiapan matang. Point-pointnya harus dibuat. Agar tidak terjerumus ke debat kusir.
Tanggal 1 Maret depan semua itu harus sudah beres. Kalau tidak, yaaah, perang dagang meledak tak terkendali.
Kehadiran Liu He itu dianggap positif. Bisa diartikan Tiongkok ingin perundingan cepat selesai. Apalagi Tiongkok sudah setuju segera membeli kedelai Amerika. Berapa pun jumlahnya. Tiongkok juga sudah setuju menurunkan tarip impor mobil Amerika.
Bahkan Tesla sudah bikin kejutan. Diijinkan menguasai tanah lebih 100 ha. Di pinggiran Shanghai. Buat pabrik mobil listriknya. Yang model 3. Yang harganya murah. Yang 100 persen milik Tesla. Pabrik Tesla di Amerika hanya akan memproduksi mobil listrik yang mahal.
Elon Musk, bos Tesla, sudah di Shanghai. Di hari yang sama dengan dimulainya perundingan. Elon Musk punya acara sendiri: meresmikan dimulainya pabrik Tesla di Shanghai.
Maka silakan terkejut: pabrik itu sudah bisa memproduksi Tesla akhir tahun ini. Akhir 2019. Silakan terkejut lagi: Tesla akan memproduksi mobil listrik 500.000 pertahun.
Perundingan dagang kali ini dikelilingi begitu banyak kejutan.
Donald Trump juga bikin kejutan. Ia sangat optimistis. “Ekonomi mereka kini tidak baik,” ujar Trump. Berkali-kali. Merasa Amerika segera menang.
Perundingan itu dibagi dalam grup-grup. Ada kelompok tarif dan non-tarif. Ada kelompok hak cipta. Lalu ada tim teknologi tinggi.
Di dalam negeri Trump sendiri tidak bisa menang. Pemerintahnya tutup sudah lebih dua minggu. Tidak ada anggaran. Kongres tidak menyetujui permintaannya: dana sekitar Rp 70 triliun. Untuk membangun tembok perbatasannya dengan Meksiko.
Trump memilih pemerintahnya tutup. Kalau anggaran itu tidak disetujui. DPR juga keras: pembangunan tembok itu tidak masuk akal.
Trump sudah berusaha keras. Ia terus meyakinkan Kongres. Yang kini dikuasai Demokrat. Sampai-sampai Trump membatalkan liburan Natal dan tahun barunya. Tetap memilih kerja di Gedung Putih. Maksudnya: agar rakyat tahu presiden bekerja saat DPR-nya liburan.
Trump juga pusing menghadapi bank sentral. Yang terus menaikkan suku bunga. Sampai mencapai 2, 5 persen saat ini. Dan masih akan naik sekali lagi. Di Amerika bank sentral memang sangat independen.
Trump menganggap langkah bank sentral itu menghambat laju peningkatan ekonomi. Yang sekarang lagi baik-baiknya.
Tapi bank sentral melihat ekonomi Amerika terlalu ‘panas’. Pertumbuhannya terlalu cepat. Yang kalau tidak direm bisa meledak. Menaikkan suku bunga adalah rem yang terbaik.
Tiongkok sendiri merasa tidak seperti yang digambarkan Trump. Pertumbuhan ekonomi memang melambat. Tapi jurus-jurus baru sudah disiapkan.
Bank sudah diminta menyiapkan ada lebih Rp 1.500 triliun. Di tahun 2019 ini. Untuk pengusaha kecil dan menengah. Juga mengurangi pajak. Membuka pasar modal untuk start-up. Model Nasdaq di New York.
Tiongkok juga tetap meneruskan program ini: membuat bulan purnama tiruan. Agar tidak perlu listrik umum di malam hari. Ujicobanya di Sichuan sudah berhasil.
Dan minggu lalu bikin kejutan baru: mendarat di bulan.
Mendaratnya bukan kejutan. Tapi bulan yang didarati adalah kejutan: sisi lain dari bulan yang pernah didarati Amerika.
Sisi yang gelap itu.
Tim dagang terus berunding. Tapi kejutan lain juga terus terjadi.
Lihatlah Selasa pagi kemarin. Kereta api lapis baja Korea Utara tiba di stasiun Beijing. Isinya: Kim Jong-Un. Pemimpin Korea Utara. Yang hari itu mestinya lagi berulang tahun. Yang ke 37 tahun.
Begitu sering Kim bertemu Xi Jinping. Seperti mengabaikan Trump.
Kim memang lagi marah. Senjata nuklirnya sudah dilucuti kok sanksi ekonominya belum dicabut. Kim seperti tidak sabar. Begitu ingin cepat memajukan ekonomi negaranya.
Ia tahu: Rusia sudah terang-terangan minta agar sanksi itu dicabut. Ia juga tahu: Tiongkok setuju dengan usul Rusia itu. Tapi Amerika masih belum setuju. Perang ternyata tidak hanya di sektor dagang. (Dahlan Iskan)