29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:48 AM WIB

Manfaatkan Kotoran Hewan, Tak Berbau, Hemat Biaya Pakan

Pandemi Covid-19 membuat banyak orang beradaptasi dengan keadaan. Salah satunya para peternak ayam aduan dan ayam kampung

peliharaan di Desa Bantas, Selemadeg Timur, Tabanan. Sekelompok warga mulai membudidaya maggot dengan memanfaatkan kotoran hewan (kohe).

 

 

JULIADI, Tabanan

SUARA kokokan ayam sahut menyahut ketika kami datang bertandang ke salah satu peternak ayam di Banjar Dinas Bantas, Desa Bantas, Selemadeg Timur belum lama ini.

Kendati banyak ayam peliharaan, herannya kotorannya sama sekali tak berbau saat secara langsung melihat budidaya maggot milik peternak I Wayan Alit Himbawan, 48 dengan memanfaatkan kotoran hewan (kohe).

Budidaya maggot dengan kotoran tai ayam tersebut peternak ayam yang disapa Alit sudah lakukan sejak pandemi Covid-19 muncul di Indonesia.

“Saya mulai sejak bulan maret 2020, saat krisis pandemic datang,” ucap Alit mulai bercerita bagaimana ia mengembangkan maggot sebagai pakan ternak ayam peliharaannya.

Mengembangkan maggot sebenarnya karena masalah pakan ternak ayam pabrikan yang terus melonjak dari sisi harga dan kos biaya setiap harinya untuk membeli pakan ternak begitu besar.

Selain itu faktor penunjang lainnya masalah sampah organik yang belum dimanfaatkan begitu banyak di lingkungan sekitar.

Awal mulai membudidaya maggot cukup kesulitan, karena mencoba beternak maggot baru pertama kali.

Alit Himbawan pun harus belajar beberapa kali dan pembelajaran budidaya maggot via internet dengan memanfaatkan youtube.  

Indukan lalat hitam ia dapat dari Perbekel Desa Denbantas. Selanjutkan lalat tersebut ia tempatkan dalam sebuah ruang khusus yang disebut biofon dengan memberikan sampah buah busuk dan sampah organik lainnya.

Dari proses bertelur menjadi ulat kemudian menjadi prepupa dibutuhkan waktu selama 28 hari.

“Telur-telur inilah kemudian saya pindahkan ke sebuah biofon yang berada dibawah kandang ayam yang berisi kotoran ayam. Kotoran ayam inilah saya manfaatkan sebagai tempat berkembangbiaknya maggot,” ungkapnya.

Diakuinya mengembangkan maggot banyak hal yang bisa dihemat. Selain hemat pakan ternak mencapai 70 persen dengan biaya setiap kali beli pakan Rp 70 ribu per minggu.

Juga hemat sampah rumah tangga organik yang tidak terbuang begitu saja. Hal lainnya yakni kotoran ayam tidak berbau karena terurai oleh maggot.

Selain itu mengembangkan maggot tidak butuh banyak tempat dan murah dari sisi budidaya.   

“Yang lebih potensinya lagi ayam yang dipelihara sehat, karena kandungan maggot memiliki protein lebih tinggi ketimbang pakan pabrikan. Kandungan protein maggot 40-42 persen dan pakan pabrikan hanya 20 persen,” terangnya.

Alit melanjutkan, saat ini budidaya maggot yang ia kembangkan sudah ada sekitar 15 peternak ayam aduan dan ayam peliharaan.

“Kami berencana membuat sebuah kelompok ternak ayam yang bergerak di budidaya maggot, namun hanya memanfaatkan kotoran hewan,” pungkasnya. (*)

Pandemi Covid-19 membuat banyak orang beradaptasi dengan keadaan. Salah satunya para peternak ayam aduan dan ayam kampung

peliharaan di Desa Bantas, Selemadeg Timur, Tabanan. Sekelompok warga mulai membudidaya maggot dengan memanfaatkan kotoran hewan (kohe).

 

 

JULIADI, Tabanan

SUARA kokokan ayam sahut menyahut ketika kami datang bertandang ke salah satu peternak ayam di Banjar Dinas Bantas, Desa Bantas, Selemadeg Timur belum lama ini.

Kendati banyak ayam peliharaan, herannya kotorannya sama sekali tak berbau saat secara langsung melihat budidaya maggot milik peternak I Wayan Alit Himbawan, 48 dengan memanfaatkan kotoran hewan (kohe).

Budidaya maggot dengan kotoran tai ayam tersebut peternak ayam yang disapa Alit sudah lakukan sejak pandemi Covid-19 muncul di Indonesia.

“Saya mulai sejak bulan maret 2020, saat krisis pandemic datang,” ucap Alit mulai bercerita bagaimana ia mengembangkan maggot sebagai pakan ternak ayam peliharaannya.

Mengembangkan maggot sebenarnya karena masalah pakan ternak ayam pabrikan yang terus melonjak dari sisi harga dan kos biaya setiap harinya untuk membeli pakan ternak begitu besar.

Selain itu faktor penunjang lainnya masalah sampah organik yang belum dimanfaatkan begitu banyak di lingkungan sekitar.

Awal mulai membudidaya maggot cukup kesulitan, karena mencoba beternak maggot baru pertama kali.

Alit Himbawan pun harus belajar beberapa kali dan pembelajaran budidaya maggot via internet dengan memanfaatkan youtube.  

Indukan lalat hitam ia dapat dari Perbekel Desa Denbantas. Selanjutkan lalat tersebut ia tempatkan dalam sebuah ruang khusus yang disebut biofon dengan memberikan sampah buah busuk dan sampah organik lainnya.

Dari proses bertelur menjadi ulat kemudian menjadi prepupa dibutuhkan waktu selama 28 hari.

“Telur-telur inilah kemudian saya pindahkan ke sebuah biofon yang berada dibawah kandang ayam yang berisi kotoran ayam. Kotoran ayam inilah saya manfaatkan sebagai tempat berkembangbiaknya maggot,” ungkapnya.

Diakuinya mengembangkan maggot banyak hal yang bisa dihemat. Selain hemat pakan ternak mencapai 70 persen dengan biaya setiap kali beli pakan Rp 70 ribu per minggu.

Juga hemat sampah rumah tangga organik yang tidak terbuang begitu saja. Hal lainnya yakni kotoran ayam tidak berbau karena terurai oleh maggot.

Selain itu mengembangkan maggot tidak butuh banyak tempat dan murah dari sisi budidaya.   

“Yang lebih potensinya lagi ayam yang dipelihara sehat, karena kandungan maggot memiliki protein lebih tinggi ketimbang pakan pabrikan. Kandungan protein maggot 40-42 persen dan pakan pabrikan hanya 20 persen,” terangnya.

Alit melanjutkan, saat ini budidaya maggot yang ia kembangkan sudah ada sekitar 15 peternak ayam aduan dan ayam peliharaan.

“Kami berencana membuat sebuah kelompok ternak ayam yang bergerak di budidaya maggot, namun hanya memanfaatkan kotoran hewan,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/