Memaafkan. Pelajaran penting inilah yang bergema di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Minggu siang. Korban tragedi ledakan Bom Bali, 12 Oktober 2002,
dan bom Hotel JW Marriott, 5 Agustus 2003 berbagi kisah kepada ratusan siswa. Mereka berbagi resep dan kiat sembuh dari luka dan trauma.
I KADEK SURYA KENCANA, Denpasar
“PEACE maker? Yes I am. Peace generation? Yes we are,” teriak peserta Peacetival Bali 2018 bersahut-sahutan, Minggu (9/9) sore kemarin.
Para siswa sejumlah sekolah itu memberi senyum termanis kepada rekan di sebelah mereka. Ikrar janji damai pun diucapkan.
“Kami putra-putri Indonesia, meskipun berbeda-beda siap menerima satu sama lainnya. Karena berbeda itu indah.”
Nilai-nilai perdamaian dan pelajaran memaafkan yang disampaikan oleh Febby Firmansyah Isran, korban bom Hotel JW Marriott, Thiolina Marpaung,
korban bom Bali, dan Inayah Wulandari Wahid putri bungsu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membuat generasi milenial itu bergairah jadi agen perdamaian.
Menyongsong hari Perdamaian Internasional, Selasa (11/9) besok, para pelajar yang juga berasal dari sejumlah sekolah di luar Bali itu belajar kiat memaafkan kesalahan orang lain.
Kisah nyata Thiolina Marpaung membuat audiens tenang. Dengan suara lantang dia menyebut diri sebagai korban selamat bom Bali 2002 di Paddy’s Pub dan Sari Club Jalan Legian, Kuta yang tercatat menewaskan 202 jiwa; 209 orang luka-luka.
“Saya mau sharing. Kami yang masih hidup di Yayasan Isana Dewata ada 11 orang. Bisa dilihat kita sebagai korban bisa hidup kembali. Bisa memaafkan,” ucapnya.
Lina- sapaan akrab Thiolina Marpaung – bercerita saat bom RDX berbobot antara 50-150 kg itu meledak dia bersama dua orang temannya sedang berada di dalam mobil; melintas di Jalan Legian.
“Dua teman saya sampai terbakar. Sekarang masih hidup, banyak luka. Dua mata saya terluka. Mata kanan saya pecah lensa originalnya sehingga harus dioperasi dan transplantasi.
Sedangkan mata kiri kemasukan beling di ototnya. Harus dioperasi juga. Tujuh kali operasi,” ujarnya.
Lina berharap tragedi Bom Bali 2 di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat 2005 silam menjadi yang terakhir. “Kita harus sama-sama menjaga Bali,” harapnya.
Bagaimana cara memaafkan orang yang melukai fisik (mata, red) dan hatinya? Lina mengaku menerapi diri untuk hidup kembali.
“Waktu kejadian itu sakitnya luar biasa. Saya mengatakan di satu kali hari malam. Saking sakitnya mata di dalam, saya saat itu pasrah dan berdoa sama Tuhan.
Saya bilang, Tuhan kalau memang Tuhan masih kasih saya mau hidup ke depan tolong ambil sakit saya. Tapi, kalau tidak Tuhan tolong ambil nyawa saya. Itu saja saya ucapkan,” kisahnya.
Untuk memaafkan pelaku Bom Bali 1, Lina menjawab harus terlebih dahulu berdamai dengan hati sendiri. Setelah itu menerima kenyataan dan terakhir bersyukur.
“Ketika itu bisa kita lakukan, lambat laun pasti semakin dekat sama Tuhan. Memaafkan semakin sempurna adanya,” terangnya.
Meski berhasil melewati rasa sakit dan memaafkan para pelaku, Lina mengaku saat ini masih harus berjuang mengalahkan rasa trauma.
Tak sendiri. 43 keluarga korban bom Bali di Yayasan Isana Dewata sampai detik ini juga masih berkutat dengan trauma.
“Ada yang tidak berani pergi ke jalan Legian, Kuta, monumen bom bali tidak mau dilihat,” ungkapnya.
Pasca ledakan, ada 11 trauma yang harus dihadapi Lina. Salah satunya bunyi sirene. “Hari ini saya sudah sembuh dengan suara sirene itu.
Hanya satu yang belum saya bisa selesaikan sampai detik ini, yaitu bau asap. Kalau saya mencium bau asap, saya tidak bisa tenang. Pasti kelimpungan.
Tapi setelah saya cari asap itu ada di mana, saya bisa aman. Lebih tenang,” beber wanita berkacamata itu. 10 trauma lain, imbuhnya sembuh karena berdamai dengan sakit dan rasa takut yang menimpanya.
“4 tahun setelah kejadian bom saya masih nangis. Kini sudah tidak lagi. Mari kita sama-sama menyiarkan perdamaian supaya Bali tetap damai untuk dunia,” ungkapnya.
Menariknya, tuntutan pekerjaan membuatnya kini sudah biasa melintasi Jalan Legian, Kuta. “Saya kerja di percetakan. Setiap hari harus melintas di Jalan Legian,” tandasnya.
Merespons situasi yang saat ini terjadi, khususnya rentetan bom dan penangkapan pelaku terorisme di sejumlah lokasi di nusantara, Lina merasa prihatin.
Lewat sejumlah berita, dirinya menyebut lembaga pendidikan di sejumlah provinsi di Indonesia disisipi paham radikal. Sebagai korban bom, Lina berharap hal serupa tidak terjadi lagi, terutama di Bali.
Selain Lina, Febby Firmansyah Isran juga menceritakan pengalamannya saat menjadi korban korban tragedi bom di Hotel JW Marriott pada 5 Agustus 2003 lalu.
Akibat kejadian tersebut, Febby mengalami luka bakar sebanyak 42%. Meski demikian, jiwa besar membuatnya memaafkan para pelaku. Salah satunya mantan teroris Ali Fauzi.