27.8 C
Jakarta
22 November 2024, 22:48 PM WIB

Profesor Egaliter Untuk Yang Tanpa Kasir

Oleh: Dahlan Iskan

Inilah profesor yang ideal: badannya langsing, tidak pernah masuk rumah sakit, tidak pernah minum obat, dekat dengan mahasiswa, egaliter, aktif di penelitian, menciptakan sesuatu, dan semua hal yang ideal-ideal.

Di kartu namanya tidak dicantumkan gelar apa pun. Hanya: Raldi Artono Koestoer. Gelar akademisnya entah disimpan di mana: profesor, doktor, MSc, insinyur.

Waktu saya masuk ruangannya Prof Raldi lagi asyik di depan komputer. Dr Ir Mohammad Aditya memberitahukan kedatangan saya. Wakil Direktur Pusat Riset Universitas Indonesia ini baru berumur 40 tahun. Lulusan UI dan Jerman.

Prof Raldi terjungkit saat melihat saya datang. ”Dapat rezeki apa saya didatangi Pak Dahlan,” ujarnya.

Saya merasa bersalah. Baru sekali ini bertemu Prof Raldi. Saya akan terus menulis namanya ‘Prof Raldi’. Biar pun Prof Raldi minta agar saya jangan memanggil begitu.

Saya pun dirangkulnya. Saya lirik kakinya: pakai sandal jepit.

Di ruang sebelahnya, di gedung fakultas tehnik Universitas Indonesia ini, seorang mahasiswa memainkan laptop. Bisa saya lihat lewat sekat kaca di ruangan itu. Di depan mahasiswa itu tergolek  sesosok bayi. Dalam sebuah inkubator. Agak aneh: bayi itu bule. Seperti bayi pasangan suami-istri Prancis.

Ternyata itu boneka.
Saya pun digandeng ke ruang sebelah. Mahasiswa tadi tidak terusik. Ternyata lagi bikin soft ware. Untuk digitalisasi inkubator tersebut.

Itulah inkubator hasil desain Prof Raldi. Yang lahir akibat banyaknya kejadian: meninggalnya bayi prematur dari keluarga miskin.

Kekhususan inkubator UI ini: hanya 50 watt. Cocok untuk rumah orang miskin di Indonesia. Bandingkan dengan yang impor: 400 watt.
Aneh, kata profesor 64 tahun ini, di negara tropik ada inkubator dengan power 400 watt.

Kalau itu di barat, bisa dimengerti. Di sana suhu udara bisa sangat dingin. Tapi dasar mental importir, yang tidak logis pun diimpor.

Kelebihan lain: beratnya hanya 13 kg. Bisa ditenteng dari desa ke desa. Dibuat knock-down pula.

Tidak menimbulkan suara sama sekali. Tidak dipasangi kipas di dalamnya.

Dan… harganya hanya Rp 3,5 juta. Bukan Rp 40 juta. Atau Rp 50 juta. Seperti harga impor.

Kakaknyalah yang sebenarnya yang berhasil mengetuk sanubarinya. Sang kakak menantang Prof Raldi untuk mengatasi kematian bayi miskin. Bayi prematur.

Prof Raldi pun mempelajari prinsip-prinsip dasar inkubator: penghangat, merata dan cukup udara. (Lihat instagram saya: dahlaniskan19).

Begitu simple. Pikirnya.
Kenapa begitu mahal. Pikirnya.
Kok boros listrik. Pikirnya.

Berpikir.
Ciri intelektual memang berpikir.
Dan intelektual egaliter berpikir lebih keras: karena harus disertai misi.

Misi utama ia tetapkan: hanya untuk menolong orang miskin.
Di kartu namanya memang tertulis: Socio-technopreneur. Peminjaman inkubator gratis untuk Nusantara.

Saya bayangkan: betapa larisnya inkubator UI ini kalau dijual untuk umum.

Tapi Prof Raldi sudah teguh: hanya melayani pembeli khusus. Yakni pembeli yang mau jadi relawan UI: meminjamkan inkubator itu untuk orang miskin. Termasuk mau mengantarkan ke rumah bayi. Dan mengambilnya kembali.

Tidak boleh si orang miskin mengambil sendiri. Atau harus mengembalikan. Itu akan menimbulkan biaya. Bisa-bisa bayinya mati. Karena tidak punya uang untuk mengambil inkubator.

Kini sudah ada 70 relawan seperti itu. Di 70 kota.
Relawan di Jember misalnya, mengantar inkubatornya sampai ke Banyuwangi.

Permintaan inkubator itu bisa langsung ke relawan. Atau lewat UI: ada nomor telepon yang bisa di SMS atau WA. Ada di kartu nama Prof Raldi.

Dari mana tahu kalau yang kirim SMS itu miskin atau tidak?
”Kita kirimkan sejumlah pertanyaan,” ujar Prof Raldi.

Lulusan UI dan Prancis itu.
Penjelasan Prof Raldi berikutnya membuat saya tertawa ngakak:

”Kalau jawaban SMS itu kacau pasti dia miskin,” ujarnya.

Ada juga rumah sakit yang ingin membeli. Lalu dilayani. Tanpa diteliti apakah rumah sakit itu kaya atau miskin. Prof Raldi cukup nelihat nama rumah sakit itu: Rumah Sakit Tanpa Kasir. ”Tahu sendiri kan, apa artinya?” ujar Prof.Raldi.
Lokasinya di Tangerang Selatan.

Atau rumah sakit di Bandung ini. Namanya: RSBC. Singkatan dari Rumah Sakit Bersalin Cuma-cuma.

Masih ada beberapa lagi ciptaan Prof Raldi. Tapi acara mahasiswa teknik mesin ini segera dimulai: MME Summit. Dekan FT UI yang juga egaliter itu, Prof Dr Ir Hendri DS Budiono sudah menunggu.

Meski mengaku belum profesor saya memanggil beliau begitu. Yang belum itu kan hanya administratif saja. Kelas dan kualitasnya kan sudah.

Dan lagi kami belum salat duhur. Prof Raldi mengajak saya ke musala.

Saya kumandangkan iqamat.
Prof Raldi yang jadi imam.
Penuh sekali musala itu.
Doa ribuan orang miskin memberkahinya. (Dahlan Iskan)

Oleh: Dahlan Iskan

Inilah profesor yang ideal: badannya langsing, tidak pernah masuk rumah sakit, tidak pernah minum obat, dekat dengan mahasiswa, egaliter, aktif di penelitian, menciptakan sesuatu, dan semua hal yang ideal-ideal.

Di kartu namanya tidak dicantumkan gelar apa pun. Hanya: Raldi Artono Koestoer. Gelar akademisnya entah disimpan di mana: profesor, doktor, MSc, insinyur.

Waktu saya masuk ruangannya Prof Raldi lagi asyik di depan komputer. Dr Ir Mohammad Aditya memberitahukan kedatangan saya. Wakil Direktur Pusat Riset Universitas Indonesia ini baru berumur 40 tahun. Lulusan UI dan Jerman.

Prof Raldi terjungkit saat melihat saya datang. ”Dapat rezeki apa saya didatangi Pak Dahlan,” ujarnya.

Saya merasa bersalah. Baru sekali ini bertemu Prof Raldi. Saya akan terus menulis namanya ‘Prof Raldi’. Biar pun Prof Raldi minta agar saya jangan memanggil begitu.

Saya pun dirangkulnya. Saya lirik kakinya: pakai sandal jepit.

Di ruang sebelahnya, di gedung fakultas tehnik Universitas Indonesia ini, seorang mahasiswa memainkan laptop. Bisa saya lihat lewat sekat kaca di ruangan itu. Di depan mahasiswa itu tergolek  sesosok bayi. Dalam sebuah inkubator. Agak aneh: bayi itu bule. Seperti bayi pasangan suami-istri Prancis.

Ternyata itu boneka.
Saya pun digandeng ke ruang sebelah. Mahasiswa tadi tidak terusik. Ternyata lagi bikin soft ware. Untuk digitalisasi inkubator tersebut.

Itulah inkubator hasil desain Prof Raldi. Yang lahir akibat banyaknya kejadian: meninggalnya bayi prematur dari keluarga miskin.

Kekhususan inkubator UI ini: hanya 50 watt. Cocok untuk rumah orang miskin di Indonesia. Bandingkan dengan yang impor: 400 watt.
Aneh, kata profesor 64 tahun ini, di negara tropik ada inkubator dengan power 400 watt.

Kalau itu di barat, bisa dimengerti. Di sana suhu udara bisa sangat dingin. Tapi dasar mental importir, yang tidak logis pun diimpor.

Kelebihan lain: beratnya hanya 13 kg. Bisa ditenteng dari desa ke desa. Dibuat knock-down pula.

Tidak menimbulkan suara sama sekali. Tidak dipasangi kipas di dalamnya.

Dan… harganya hanya Rp 3,5 juta. Bukan Rp 40 juta. Atau Rp 50 juta. Seperti harga impor.

Kakaknyalah yang sebenarnya yang berhasil mengetuk sanubarinya. Sang kakak menantang Prof Raldi untuk mengatasi kematian bayi miskin. Bayi prematur.

Prof Raldi pun mempelajari prinsip-prinsip dasar inkubator: penghangat, merata dan cukup udara. (Lihat instagram saya: dahlaniskan19).

Begitu simple. Pikirnya.
Kenapa begitu mahal. Pikirnya.
Kok boros listrik. Pikirnya.

Berpikir.
Ciri intelektual memang berpikir.
Dan intelektual egaliter berpikir lebih keras: karena harus disertai misi.

Misi utama ia tetapkan: hanya untuk menolong orang miskin.
Di kartu namanya memang tertulis: Socio-technopreneur. Peminjaman inkubator gratis untuk Nusantara.

Saya bayangkan: betapa larisnya inkubator UI ini kalau dijual untuk umum.

Tapi Prof Raldi sudah teguh: hanya melayani pembeli khusus. Yakni pembeli yang mau jadi relawan UI: meminjamkan inkubator itu untuk orang miskin. Termasuk mau mengantarkan ke rumah bayi. Dan mengambilnya kembali.

Tidak boleh si orang miskin mengambil sendiri. Atau harus mengembalikan. Itu akan menimbulkan biaya. Bisa-bisa bayinya mati. Karena tidak punya uang untuk mengambil inkubator.

Kini sudah ada 70 relawan seperti itu. Di 70 kota.
Relawan di Jember misalnya, mengantar inkubatornya sampai ke Banyuwangi.

Permintaan inkubator itu bisa langsung ke relawan. Atau lewat UI: ada nomor telepon yang bisa di SMS atau WA. Ada di kartu nama Prof Raldi.

Dari mana tahu kalau yang kirim SMS itu miskin atau tidak?
”Kita kirimkan sejumlah pertanyaan,” ujar Prof Raldi.

Lulusan UI dan Prancis itu.
Penjelasan Prof Raldi berikutnya membuat saya tertawa ngakak:

”Kalau jawaban SMS itu kacau pasti dia miskin,” ujarnya.

Ada juga rumah sakit yang ingin membeli. Lalu dilayani. Tanpa diteliti apakah rumah sakit itu kaya atau miskin. Prof Raldi cukup nelihat nama rumah sakit itu: Rumah Sakit Tanpa Kasir. ”Tahu sendiri kan, apa artinya?” ujar Prof.Raldi.
Lokasinya di Tangerang Selatan.

Atau rumah sakit di Bandung ini. Namanya: RSBC. Singkatan dari Rumah Sakit Bersalin Cuma-cuma.

Masih ada beberapa lagi ciptaan Prof Raldi. Tapi acara mahasiswa teknik mesin ini segera dimulai: MME Summit. Dekan FT UI yang juga egaliter itu, Prof Dr Ir Hendri DS Budiono sudah menunggu.

Meski mengaku belum profesor saya memanggil beliau begitu. Yang belum itu kan hanya administratif saja. Kelas dan kualitasnya kan sudah.

Dan lagi kami belum salat duhur. Prof Raldi mengajak saya ke musala.

Saya kumandangkan iqamat.
Prof Raldi yang jadi imam.
Penuh sekali musala itu.
Doa ribuan orang miskin memberkahinya. (Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/