31.4 C
Jakarta
24 November 2024, 19:21 PM WIB

Sokok Basa Warisan Kerajaan Panji Sakti, Basa Jadi Sarana Zikir Mulud

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Pegayaman, Buleleng, punya ciri dan tradisi khas tersendiri.

Warga menyebutnya dengan tradisi sokok basa. Tradisi ini berusia ratusan tahun karena masyarakat setempat tekun melestarikannya.

 

 

JULIADI, Sukasada

JARUM jam menunjukkan pukul 08.00 Wita saat warga Desa Pengayaman, baik dari para tetua desa hingga muda-mudi menyerahkan sokok basa ke masjid Jamiq Pegayaman, kemarin (9/11).

Sebelum diserahkan ke masjid, sokok basa dijemput oleh group hadrah yang ditarikan oleh pemuda desa.

 Sokok basa merupakan tradisi leluhur yang khusus dihelat saat peringatan Maulid Nabi.  Sokok basa adalah bebantenan

yang terdiri atas tusukan telur yang diletak diatas pajegan terbuat dari batang pisang dengan tinggi 1 meter sampai 1,5 meter.

Kemudian rangkaian bambu dengan tusukan telur dihiasi bunga dan buah-buahan dibawahnya. Ciri khasnya dari sokok basa wajib

menggunakan dauh sirih yang diambil dari tanaman pekarangan rumah atau berada di lahan perkebunan warga. 

Sekitar pukul 11.00 di areal Masjid Jamiq Pegayaman sudah penuh sesak dengan masyarakat Pengayaman.

Tradisi sokok basa ini tampaknya sangat dinanti warga. Selian dihelat setahun sekali, warga menunggu telur yang dibagikan panitia Peringatan Maulid Nabi. 

Panitia Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Ketut Muhammad Suharto, mengaku budaya dan tradisi Maulid Nabi di Desa Pegayaman ada sejak Kerajaan Panji Sakti di Buleleng.

Usia tradisi sokok basa seratus tahun lebih. Menariknya, kata Suharto, budaya dan tradisi seperti sokok basa semua wujud dari akulturasi. Antara budaya Islam dan Bali.

“Sokok basa itu dibuat oleh para penglingsir dan leluhur sejak dulu. Meski demikian budaya tersebut tetap pada koridor akidah Islam,” paparnya.

Tradisi sokok basa digelar setahun sekali dengan tujuan untuk selamatan desa spesial dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Sekaligus untuk memperkenalkan bahwa Islam itu universal, toleransi dan berkolaborasi. Karena masyarakat Pegayaman meski hidup di Bali kental dengan nyame braya.

“Tradisi sokok basa ini sebagai wujud sedekah dari masyarakat dengan memberikan sedikit rezekinya untuk dibagikan kepada orang lain.

Masyarakat yang membuat sokok basa tidak ada perintah, namun murni datang dari masyarakat,” ungkap pria yang juga sebagai Ketua Bumdes Barokah Desa Pegayaman.

Dijelaskan pria berusia 53 tahun ini, sokok basa sebenarnya hampir mirip dengan gebogan Bali. Tetapi yang membedakan adalah ciri khasnya berada pada daun sirih yang dimunculkan dan lebih banyak bunga digunakan.  

Makna filisofis dari sokok basa yang identik dengan daun sirih oleh masyarakat Desa Pegayaman daun sirih kental dengan daun obat (antiseptic).

Dan ada kepercayaan pada masyarakat ketika sokok basa yakni daun sirih tersebut yang sudah didoakan oleh para tetua dan penghulu digunakan sebagai obat.

“Jadi orang-orang di desa berebut mengambil daun sirih. Nah, daun sirih tersebut disimpan di rumah dengan digantung didepan pintu.

Karena bisa digunakan untuk obat. Kepercayaan lainnya masyarakat sebagai daun sirih sebagai pengusir hama penyakit dilahan pertanian. Daun sirih diurai dicampur air dan disemprotkan ke tanaman padi,” terangnya.

Dia menambahkan sebelum acara sokok basa digelar di masjid, sekaa hadarah dari kumpulan muda desa menjemput sokok basa ke rumah warga desa.

Kemudian diarak menari didepan rumah warga yang menyerahkan sokok basa ke masjid sebagai ucapan terima kasih kepada tuan rumah karena telah membuat sokok basa. Barulah dibawa ke masjid.

“Ketika sokok basa berada di masjid dikumpulkan untuk mengisi jeda waktu dilakukan zikir mulud. Barulah puncak acara sokok basa usai salat Dhuhur

dilakukan selakaran dan doa yang dipimpin Penguhulu Desa Adat Pengayaman. Kemudian sokok basa dibagikan kepada masyarakat,” pungkasnya. (*)

 

 

 

 

 

 

 

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Pegayaman, Buleleng, punya ciri dan tradisi khas tersendiri.

Warga menyebutnya dengan tradisi sokok basa. Tradisi ini berusia ratusan tahun karena masyarakat setempat tekun melestarikannya.

 

 

JULIADI, Sukasada

JARUM jam menunjukkan pukul 08.00 Wita saat warga Desa Pengayaman, baik dari para tetua desa hingga muda-mudi menyerahkan sokok basa ke masjid Jamiq Pegayaman, kemarin (9/11).

Sebelum diserahkan ke masjid, sokok basa dijemput oleh group hadrah yang ditarikan oleh pemuda desa.

 Sokok basa merupakan tradisi leluhur yang khusus dihelat saat peringatan Maulid Nabi.  Sokok basa adalah bebantenan

yang terdiri atas tusukan telur yang diletak diatas pajegan terbuat dari batang pisang dengan tinggi 1 meter sampai 1,5 meter.

Kemudian rangkaian bambu dengan tusukan telur dihiasi bunga dan buah-buahan dibawahnya. Ciri khasnya dari sokok basa wajib

menggunakan dauh sirih yang diambil dari tanaman pekarangan rumah atau berada di lahan perkebunan warga. 

Sekitar pukul 11.00 di areal Masjid Jamiq Pegayaman sudah penuh sesak dengan masyarakat Pengayaman.

Tradisi sokok basa ini tampaknya sangat dinanti warga. Selian dihelat setahun sekali, warga menunggu telur yang dibagikan panitia Peringatan Maulid Nabi. 

Panitia Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Ketut Muhammad Suharto, mengaku budaya dan tradisi Maulid Nabi di Desa Pegayaman ada sejak Kerajaan Panji Sakti di Buleleng.

Usia tradisi sokok basa seratus tahun lebih. Menariknya, kata Suharto, budaya dan tradisi seperti sokok basa semua wujud dari akulturasi. Antara budaya Islam dan Bali.

“Sokok basa itu dibuat oleh para penglingsir dan leluhur sejak dulu. Meski demikian budaya tersebut tetap pada koridor akidah Islam,” paparnya.

Tradisi sokok basa digelar setahun sekali dengan tujuan untuk selamatan desa spesial dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Sekaligus untuk memperkenalkan bahwa Islam itu universal, toleransi dan berkolaborasi. Karena masyarakat Pegayaman meski hidup di Bali kental dengan nyame braya.

“Tradisi sokok basa ini sebagai wujud sedekah dari masyarakat dengan memberikan sedikit rezekinya untuk dibagikan kepada orang lain.

Masyarakat yang membuat sokok basa tidak ada perintah, namun murni datang dari masyarakat,” ungkap pria yang juga sebagai Ketua Bumdes Barokah Desa Pegayaman.

Dijelaskan pria berusia 53 tahun ini, sokok basa sebenarnya hampir mirip dengan gebogan Bali. Tetapi yang membedakan adalah ciri khasnya berada pada daun sirih yang dimunculkan dan lebih banyak bunga digunakan.  

Makna filisofis dari sokok basa yang identik dengan daun sirih oleh masyarakat Desa Pegayaman daun sirih kental dengan daun obat (antiseptic).

Dan ada kepercayaan pada masyarakat ketika sokok basa yakni daun sirih tersebut yang sudah didoakan oleh para tetua dan penghulu digunakan sebagai obat.

“Jadi orang-orang di desa berebut mengambil daun sirih. Nah, daun sirih tersebut disimpan di rumah dengan digantung didepan pintu.

Karena bisa digunakan untuk obat. Kepercayaan lainnya masyarakat sebagai daun sirih sebagai pengusir hama penyakit dilahan pertanian. Daun sirih diurai dicampur air dan disemprotkan ke tanaman padi,” terangnya.

Dia menambahkan sebelum acara sokok basa digelar di masjid, sekaa hadarah dari kumpulan muda desa menjemput sokok basa ke rumah warga desa.

Kemudian diarak menari didepan rumah warga yang menyerahkan sokok basa ke masjid sebagai ucapan terima kasih kepada tuan rumah karena telah membuat sokok basa. Barulah dibawa ke masjid.

“Ketika sokok basa berada di masjid dikumpulkan untuk mengisi jeda waktu dilakukan zikir mulud. Barulah puncak acara sokok basa usai salat Dhuhur

dilakukan selakaran dan doa yang dipimpin Penguhulu Desa Adat Pengayaman. Kemudian sokok basa dibagikan kepada masyarakat,” pungkasnya. (*)

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/