Oleh: Dahlan Iskan
Hilanglah Medan.
Muncul Sleman.
Hilanglah Palembang.
Muncul lagi Padang.
Itulah hasil kompetisi sepakbola kasta tertinggi kita. Liga 1. Selama setahun. Yang berakhir tadi malam.
Tentu sayang sekali. PSMS Medan harus harus turun kasta. Sebenarnya saya berdoa agar Medan bertahan. Tapi kalah 1-5 atas PSM Makassar. Kemarin sore. Tidak ada gunanya Persebaya kalah 0-4 di Medan. Minggu lalu.
Sayang juga. Palembang turun tahta. Begitu baik prestasi Sriwijaya FC di awal musim. Tapi begitu buruk di paro kedua. Penyebabnya jelas: Pilkada. Pendukung dana utama Sriwijaya FC gagal terpilih sebagai gubernur Sumsel.
Pemain-pemain terbaiknya dijual. Salah satu pembeli utamanya Arema, Malang. Aremalah yang mengalahkan Sriwijaya FC. Kemarin sore. Dengan skor 1-2. Menyebabkan Palembang turun tahta.
Saya mencatat begitu banyak kemajuan di sepakbola kita. Kompetisi Liga 1 tahun ini relatif lancar. Jumlah penonton meningkat drastis. Setidaknya di klub-klub favorit. Persebaya, Bandung, Makassar, Semarang. Bahkan Persija. Lihatlah pertandingan tadi malam. Gelora Bung Karno penuh: 90.000 orang. Memang tadi malam menentukan. Tapi pertandingan sebelumnya juga begitu.
Jumlah penonton terbanyak memang masih dipegang Bonek. Total 500.000 orang. Nyaris. Tapi bisa saja peta berubah musim depan. Yang konon baru dimulai lagi April.
Saya tidak perlu mengulangi. Kompetisi musim ini memang seru. Sampai menjelang pertandingan terakhir pun belum diketahui siapa juaranya. Persaingan di papan atas begitu sengitnya: antara Persija dan PSM. Persaingan di papan bawah begitu menegangkan: siapa tiga klub yang harus turun tahta.
Persib sebenarnya kandidat juara. Sebelum ada kasus kematian supporter Persija. Di Bandung. Yang menyebabkan Persib terkena sanksi berat. Tidak boleh bermain di kandang. Sampai akhir musim. Itulah yang justru membuahkan Persija juara. Dengan pengorbanan salah seorang supporternya.
Musim ini sanksi diberikan dengan sangat tegas. Dan berat. Persebaya, misalnya, begitu sering didenda. Akibat Bonek melakukan pelanggaran. Misalnya menyalakan flair. Atau meneriakkan kata-kata yang dilarang.
Pernah Bonek mencoba ini: memasang spanduk besar dengan tulisan huruf Jawa. Maksudnya agar petugas dari Jakarta tidak bisa membaca isinya: pelungker-pelungker. Eh, kena denda juga. Rupanya ada yang bisa membaca huruf Jawa. Kabarnya Persebaya terkena denda Rp 1,2 miliar. Selama satu musim ini. Persib mungkin lebih besar lagi.
Yang juga harus dipuji adalah Indosiar. Yang mau menyiarkan langsung. Sampai mengorbankan acara populernya: dangdut Academy. Peran siaran langsung itu besar: dalam mengontrol kejujuran wasit. Saya tidak berani memastikan urusan sogok-menyogok sudah tidak ada. Tapi saya bisa memastikan pasti turun drastis. Dengan siaran langsung itu seluruh masyarakat bisa ikut menilai. Indosiar telah ikut mengatasi problem mendasar sepakbola kita.
Sikap wasit kita juga banyak majunya. Sudah lebih banyak senyum. Menghadapi protes pemain. Seberingas apa pun. Mengacungkan kartu kuning pun sudah sambil senyum. Sudah mirip wasit di liga Eropa.
Dulu, wasit sepakbola kita galak. Wajahnya seperti pemarah. Kalau memberi kartu kuning sikapnya seperti menghukum. Akibatnya: menambah ketegangan permainan.
Akhirnya agak sulit menyalahkan Medan. Yang harus kembali turun tahta ke Liga 2. Waktu naik tahta tahun lalu waktunya mepet. Ibaratnya: minggu ini keputusan naik tahta, dua minggu lagi laga Liga 1 dimulai. Tidak sempat cari pemain. Tidak cukup waktu cari uang.
Itu pula problem Persebaya. Yang baru naik tahta bersamaan dengan Medan. Sulit cari pemain baru. Pemain baik sudah terikat kontrak semua. Karena itu Azrul Ananda, presidennya, tidak manargetkan juara. HANYA cukup papan tengah. Hasilnya, ternyata papan atas. Ranking lima. Meski sempat hampir terdegradasi juga.
Selamat datang Sleman. Anda tidak akan senasib Persebaya, PSIS atau PSMS. Anda punya waktu cukup untuk cari pemain berkualitas. Empat bulan lagi kompetisi baru dimulai. Demikian juga dua pendatang baru: Kalteng Putra dan Semen Padang.
Yang juga kemajuan: siaran langsung tidak mengurangi jumlah penonton di stadion. Saya masih ingat dulu: sedih sekali. Kalau pertandingan Persebaya disiarkan TV secara langsung. Sedikit sekali yang mau datang ke stadion.
Stadion kini sudah berubah menjadi teater. Begitu banyak lagu supporter. Begitu banyak spanduk. Dengan bunyi menghibur. Begitu banyak bendera. Raksasa ukurannya. Atraktif kibarannya.
Di kalangan Bonek muncul pula atraksi-atraksi tiga dimensi. Banyak juga lagu-lagu yang cara menyanyikannya sahut-sahutan. Antara tribun selatan, utara, timur dan barat.
Saya begitu suka lagu “rek aku teko rek” itu. Di samping lagu “song for pride”.
Dalam pertandingan penutupan dua hari lalu bahkan ada hujan salju. Di stadion Bung Tomo Surabaya. Menjelang babak dua dimulai. Di tribun selatan. Saya telat memvideokannya. Benar-benar seperti salju sedang turun. Rupanya seluruh penonton melemparkan tisu panjang. Dari atas. Dalam jumlah masif. Bersamaan.
Stadion sudah seperti Fift Evenue di New York. Atau Time Square. Orang pengin nonton orang. Bukan hanya ingin nonton sepakbola.
Itu yang tidak bisa dinikmati dalam siaran langsung di televisi.
Saya begitu gembira. Sepakbola sudah lebih banyak ditonton. Sudah lebih banyak untuk mengekspresikan eksistensi. Semoga bukan sekedar karena sudah bosan politik. Atau karena lagi sumpek ekonomi.(Dahlan Iskan)