Pulau Bali kembali berduka. Sang maestro gamelan Jegog, I Ketut Suwentra mengembuskan nafas terakhirnya di usia 71 tahun di ruang Ratna, RS Sanglah pukul 14.13 pada Kamis kemarin (10/5).
Pekak Jegog, begitu dia dikenal telah mengakhiri perjuangannya melawan kanker paru-paru stadium 4 yang dideritanya selama ini.
WAYAN WIDYANTARA-MARSELLO PAMPUR
I KETUT SUWENTRA lahir dan besar di tengah suara gamelan Jegog di Desa Sangkar Agung, Jembrana. Kecintaannya pada Jegog mengalahkan apapun yang dia cintai selama ini.
Namun, takdir berkata lain. Setelah berjuang melawan kanker paru-paru stadium 4 yang dideritanya selama ini, sang maestro mengakhiri hidupnya di RS Sanglah.
Selama hidup, beragam karya pun telah ditorehkan. Yang paling fenomenal garapan dedengkot Jegog ini adalah tari Makepung.
Tarian kreasi Makepung merupakan sebuah garapan baru yang menggambarkan jalannya persiapan dan lomba kerbau makepung.
Tarian yang diciptakan pada tahun 1984 oleh Suwentra ini menjadi trade mark pementasan seni pertunjukan Jegog.
Bahkan, karya-karya lainnya, seperti Tari Suar Agung, Satyajagaditha, Tiying Gading, Putri Bambu dan sebagainya dari sang maestro ini juga telah dipentaskan hampir diseluruh kota-kota besar di Jepang.
Bahkan, kini berkembang sampai di negeri Paman Sam oleh anak sulungnya, I Gede Oka Negara ke markas Sekar Jaya di San Fransisco, California.
“Sebelum meninggal, ia berpesan pada anak-anaknya untuk terus melestarikan kesenian Jegog,” ujar anak ketiganya, Komang Wisnu Wardana di Ruang Jenasah RS Sanglah kemarin.
Kini duka pun menyelimuti keluarga pekak Jegog. Setelah jenasah di mandikan di ruang jenasah kemarin, terlihat kedua istri Pekak Jegog, Anak Agung Sri Tirtawati dan Nyoman Yuliastuti Kazuko bersama kelima anaknya berwajah sedih.
Mereka pun mencoba tegar untuk melepas orang yang mereka sayangi. Anak keempat dari Pekak Jegog, Ketut Ayu Mahadewi,39 sejatinya sudah memiliki firasat kurang baik melihat kondisi ayahnya yang terus menurun sejak tiga hari yang lalu.
“Pagi tadi (kemarin) saya sempat mandikan beliau sebelum masuk kerja. Terus mau berangkat kerja, namun dilarang sama beliau. Tapi saya tetap kerja, meski perasaan nggak karuan,” ungkapnya.
Sekitar jam 11 siang, Ayu pun mendapatkan telepon dari keluarga lainnya yang menjaga Pekak Jegog.
“Dapat telepon kalau kondisi bapak kritis. Dan ternyata bapak udah nggak kuat lagi,” ujarnya dengan nada sedih kemarin.
Terkait dengan sakitnya, Pekak Jegog memang orang yang agak tertutup dengan keluarganya. Sekitar dua bulan yang lalu, Pekak Jegog membawa seni Gamelan Jegog di suatu acara festival musik di Ambon.
Pasca pulang dari Ambon, kondisnya pun mulai drop. Pekak Jegog sempat bolak-balik rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Opnama pertama di RS Wangaya, Denpasar.
Namun akhirnya di rujuk di RS Sanglah sekitar sebulan yang lalu. Setelah diobservasi oleh pihak tim dokter, Pekak Jegog pun divonis kanker paru-paru stadium 4.
Bahkan, penyebaran kanker paru-paru yang dialaminya sudah sampai ke seluruh badan. “Keluhan sakit selama ini ada. Ya seperti sakit kepala. Hanya saja, bapak selama ini jarang mau menunjukkan rasa sakitnya,” terang Ayu.
Meski begitu, Pekak Jegog bagi keluarga adalah sosok ayah yang baik dan rela berkorban. “Bapak sering berpesan kepada anak-anaknya untuk selalu akur. Bapak juga orang yang memiliki semangat yang tinggi. Terlebih kalau soal jegog,’ terangnya.
Kini pekak Jegog pun telah berpulang untuk selama-lamanya. Meski begitu, beragam karya-karyanya pun dikenang sebagai salah satu mahakarya dalam bidang seni dan budaya.
Sementara, jenazah pekak jegog dititipkan di RS Sanglah dan rencannya akan di aben pada Rabu mendatang (16/5) di Jembrana.
Yang jelas, meninggalnya maestro Jegog mengejutkan banyak pihak. Tidak terkecuali di kalangan para seniman yang salah satunya adalah mantan dosennya semasa menempuh pendidikan di STSI Denpasar di tahun 80-an, Prof I Made Bandem.
Dihubungi lewat sambungan telepon, Kamis (10/4) malam, Prof Bandem juga mengaku sangat terkejut saat dirinya pertamakali mendengar kabar meninggalnya maestro jegog asal bumi Makepung tersebut.
“Tentunya saya sangat terkejut mendengar kabar itu tadi dari anak saya yang bilang bahwa Suwentra sudah wafat,” katanya.
Di mata Bandem, Pekak Jegog adalah sosok seniman hebat. Bahkan Bandem menyebut pria bernama asli Ketut Suwentra tersebut adalah seorang penari dan pemain jegog berbakat tinggi.
Kata Bandem, Pekak Jegog merupakan sosok yang sukses membuat kesenian jegog berkembang sangat baik di Negara sebagai tempat asalnya.
Kesenian jegog pun kian populer dengan kemunculan tari makepung yang menjadi tari iringan yang kini sering ditampilkan di berbagai acara.
“Dulu, dia bersama beberapa rekannya hampil dalam satu tahun selalu berangkat ke Jepang dan tampil berbagai kota di sana dengan membawa kesenian Jegog,” tambah Bandem.
Jegog yang merupakan alat musik dari bambu ini pun kian mendunia. Dimana sekitar tahun 1998 silam, Jegog Suar Agung yang merupakan yayasan yang melibatkan Pekak Jegog tampil di pembukaan piala dunia yang digelar di Perancis.
Kehebatan dari Pekak Jegog ini pun menurut Bandem sudah terlihat sejak lama. “Dia dulunya mahasiswa saya dan bahkan mahasiswa bimbingan saya. Sebagai seorang guru dia memiliki banyak murid,” terang Bandem.
Diceritakan Bandem, antara dirinya dan pekak Jegog memiliki hubungan yang sangat dekat, terutama dalam dunia seni.
Ketika Pekak Jegog akan tampil ke luar negeri dirinya selalu mengajak Bandem untuk ikut. “Dia selalu ajak saya kalau mau tampil ke luar negeri.
Tapi karena saya tidak punya waktu, akhirnya saya tidak ikut. Dia juga selalau mengajak saya untuk datang ke Negara kalau ada kegiatan seni. Kalau ke luar negeri pun, dia selalu mengabari saya,” terangnya.
Sekarang ini, kesenian Jegog ini pun diwariskan kepada anaknya. Dimana saat ini, anaknya yang bernama Gede Oka menjadi guru seni Jegog pertama di Amerika.