29.5 C
Jakarta
25 April 2024, 21:24 PM WIB

Pariwisata Bali, Antara “Kue Hibah, Bupati Bares, dan Lautan Sampah”

PERSOALAN “sampah” tidak dapat dibiarkan dan tidak berdiri sendiri, karena bagaimanapun problem sampah akan berimbas kepada kebersihan dan keindahan.

 

Bali sebagai destinasi pariwisata andalan Indonesia di mata wisatawan nasional maupun dunia pariwisata  telah memberikan tingkat kesejahteraan bagi Bali.

 

Walaupun kita tahu, tidak semua kue hasil pariwisata dinikmati oleh masyarakat Bali.

 

Selain itu, baik disadari atau tidak, pariwisata juga akan meninggalkan residu, ampas buruk yang pelan-pelan merusak aspek kehidupan masyarakat Bali dan akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang.

 

Dari hasil pajak yang diperoleh pemerintah, terutama pemerintah kabupaten kota, khususnya Kabupaten Badung hampir mencapai 10 T.

 

Terlihat dari APBD nya, yang karena penurunan iklim usaha/ekonomi kemudian dikoreksi menjadi 7,7 T dan kembali dikoreksi menjadi 5,6 T.

 

Perolehan dan besaran penghasilan kue pariwisata ini dikembalikan kepada masyarakat Badung melaui pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur, pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan sebagian  di hibahkan kepada kabupaten lain yang menjadi tujuan atau obyek pariwisata selain Denpasar dan Kabupaten Gianyar. 

 

Persentase besaran hibah ini mencapai 30 persen dari pajak hotel dan restorant (PHR) yang diperoleh kabupaten Badung (sesuai kesepakatan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika dengan Bupati Badung AA Gede Agung dan para Bupati se-Bali pada tahun 2008).

 

Pemberian hibah tersebut merupakan komitmen bersama agar dapat merawat, menjaga, memelihara kebersihan alam, menjaga kesucian pura yang menjadi obyek wisatawan.

 

Tata cara pemberian hibah diatur dengan surat keputusan (SK) bersama antara Bupati Badung dengan Gubernur Bali yang mengelola dan mendistribusikan dana hibah Kabupaten Badung dan didistribusikan ke kabupaten seluruh Bali di luar Denpasar dan Kabupaten Gianyar secara proporsional.

 

Hal ini dimaksudkan bahwa seluruh kabupaten lain di luar Badung, Denpasar, dan Gianyar turut menikmati kue pariwisata walaupun tidak banyak.

 

Termasuk yang tak kalah penting, bahwa pembagian kue itu juga untuk tujuan agar jangan sampai terjadi kesenjangan kesejahteraan yang begitu tinggi dialami oleh masyarakat di Bali.

 

Kemudian terjadi perubahan dan pembatalan kesepakatan penyampaian dana hibah yang diperoleh Kabupaten Badung dari PHR.

 

Jika awal kesepakatan dana hibah diserahkan oleh Gubernur Bali, kini dana hibah diserahkan langsung oleh Bupati Badung.

 

Alasan perubahan dan pembatalan kesepakatan penyampaian dana hibah karena Badung menilai

tidak ada yang mengharuskan demikian.

 

Sejak perubahan itu berjuta- juta dan bahkan bermiliar-miliar dana hibah diserahkan langsung oleh Bupati Badung.

 

Bahkan dana hibah dan bansos dengan nilai fantastis itu diserahkan langsung oleh Bupati Badung dalam bentuk uang cash bertumpuk-tumpuk untuk  kepentingan sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

 

Pemberian dana cash itu juga dipublikasikan secara tidak henti-henti hingga tak sedikit membuat masyarakat terkagum-kagum.

 

Bahkan saking kagumnya, tidak sedikit pula yang mengelu-elukan Bupati Badung sebagai bupati yang luar biasa bares (royal).

 

Pertanyaannya, apakah pemberian yang dilakukan Bupati Badung sudah tepat dan benar? Apakah pemberian (hibah dan bansos) itu benar-benar tulus untuk tujuan awal mewujudkan kesehateraan dan menghindari terjadinya kesenjangan? Ataukah pemberian itu bagian dari pencitraan belaka untuk kepentingan politik yang lebih besar berikutnya?

 

Tentu butuh banyak waktu maupun parameter dari segala aspek untuk menganalisa, menilai, maupun mencermati hal ini.

 

Seperti banyak publik ketahui, dalam ranah politik, praktik transaksional dan pencintraan  memang sulit untuk dihindari. Terlebih menjelang perhelatan Pilkada 2020

 

Pemberian hibah atau bansos dalam bentuk uang maupun barang masih menjadi “trik jitu” untuk pencitraan politik. Terpenting semua jadi senang dan bersama-sama membulatkan tekat untuk memilih kembali.

 

Namun lepas dari hal itu, ada satu hal paling  penting dipertanyakan soal bagimana seorang pemimpin mampu mengelola keuangan daerahnya dan mengelola anggarannya?

 

Apakah tata kelola pemerintahan sudah berjalan baik? Jika kurang baik, pertanyaannya kenapa masyarakatnya diam? Apakah karena sudah menerima dana bansos yang begitu banyak sehingga sungkan untuk mengingatkan? Seharusnya sebagai lembaga Legislatif tugas  pengawasan ada di tangan anggota DPRD.

 

Akan tetapi tidak ada menyampaikan sesuatu atau mengingatkan.

Apakah ini karena anggota Dewan turut sungkan? 

 

Beberapa dekade Pulau Dewata yang kita cintai ini merupakan destinasi wisata pantai  yang sangat indah dimana jutaan wisatawan mancanegara sangat tertarik untuk berbondong-bondong ke Pulau Bali.

 

Mereka (wisatawan) datang untuk berselancar, snorkeling, dan berjemur di pantai-pantainya yang begitu indah.

 

Sebagai warga Bali, secara pribadi penulis merasa sedih sekaligus prihatin melihat kondisi lingkungan pantai , kota , gunung, hutan bakau di Provinsi Bali yang ada.

 

Bagaimana tidak, sekarang ini destinasi wisata yang begitu kita banggakan dan dicintai banyak orang di berbagai penjuru dunia itu telah terancam, karena pulau yang kita banggakan ini dinyatakan sebagai “darurat sampah”.

 

Dan sungguh menyedihkan lagi, tempat wisata paling populer di dunia ini, kini dibanjiri dengan gunungan sampah plastik.

 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, jumlah kunjungan wisman ke Bali pada semester I/2019 hanya 2,84 juta atau turun 1,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

 

Padahal jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah kunjungan wisman selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.

 

Bicara “Sampah”, secara tradisional sampah seringkali dipandang sebagai sumber polusi bahkan bisa juga sumber bibit penyakit.

 

Tetapi pengelolaan limbah yang baik sebenarnya dapat menghasilkan bahan-bahan berharga, terutama sekarang karena banyak dari mereka menjadi langka.

 

Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa setiap harinya Pulau Dewata Bali menghasilkan sampah mencapai 4.281 ton atau 1,5 juta ton tiap tahun.

 

Dari jumlah tersebut, lebih banyak sampah yang tidak dikelola (52 persen), daripada yang dikelola (48 persen).

 

Sementara 50 persen sampah di Bali berasal dari tiga daerah di Bali yaitu Kota Denpasar, Badung, dan Gianyar.

 

Dari sampah yang dibuang ke tempat sampah, 70 persen di antaranya berakhir di TPA Suwung.

 

Kondisi tersebut tentunya akan menjadikan masalah jika tidak segera di tanggulangi oleh Pemerintah Provinsi Bali.

 

Sampah plastik dalam hal ini menjadi momok dan musuh bersama, hingga Pemprov dan menunjukkan komitmennya melalui Pergub untuk mengurangi timbunan plastik sekali pakai.

 

Bali Partnership menjadikan kolaborasi antar pihak, seperti akademisi, lembaga penelitian, pemerintah, dan swasta sebagai metode pengurangan sampah. 

 

Seyogyanya pada TPA seperti di beberapa negara maju pengelolaan limbah sebagai cara terpenting untuk menangani limbah, namun begitu itu tidak bisa bertahan lama.

 

Alasan mendasarnya karena TPA dapat menyebabkan polusi tanah, air, dan udara.

 

Jika terjadi pembuangan yang tidak terkendali, bahan kimia berbahaya dapat dilepaskan yang membahayakan kesehatan masyarakat.

 

Tapi di atas semua itu, bahan berharga hilang.

 

Salah satu solusi terbaik adalah mengurangi atau tidak ada hasil limbah.

 

Jika itu tidak memungkinkan, penggunaan kembali atau daur ulang, dan pemulihan adalah alternatif yang baik.

 

Pengelolaan limbah yang baik dapat memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.

 

Dengan menghemat sumber daya dan mencegah remediasi dan masalah kesehatan yang mahal.

 

sekarang muncul masalah “sampah” di Kabupaten Badung, mungkin juga di kabupaten  lain di Bali.

 

Lalu kenapa hanya kabupaten Badung saja di sorot? Bermula tapi sepertinya sudah lama menjadi masalah dengan TPA Suwung.

 

Tempat pembuangan “sampah” Sarbagita yang sudah tidak dapat lagi menampung pembuangan sampah. Akibatnya sampah plastic berserakan dimana-mana di jalan, hutan manrove (bakau) bahkan ada juga yang lolos ke laut

 

Selain itu, karena sampah juga, sudah beberapa kali terjadi kebakaran di TPA Suwung.

 

Kemudian menjadi perhatian pemerintah pusat melalui kementerian Maritim dan dijadikan salah satu pembenahan dalam pelaksanaan APEC di Bali tahun 2017.

 

Agar TPA Suwung tidak merusak pemandangan delegasi yang hadir ke Bali.

 

Apalagi dilalui penerbangan  dari bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.

 

 Namun pembenahan TPA Suwung belum rampung.

 

Sekarang muncul masalah, kita semua tidak mau belajar bagaimana mengelola sampah dengan baik, tidak mau belajar dari mana saja yang telah mampu mengelola sampah menjadi energi listrik dan kompos.

 

Sekarang telah menjadi barita yang tak dapat dibiarkan, padahal dana PHR yang diperoleh dan diberikan kepada masyarakat begitu besar. Tetapi tidak ada perencanaan kue pariwisata yang baik tapi hanya ada  sisa, ampas dari pariwisata.

 

Hibah uang diterima tapi berkenaan dengan “sampah” yang menjadi bagian dari “hibah” ditolak serta di demo masyarakat, ini suatu yang paradok. 

 

Seluruh stakholder , Gubernur, Bupati/Walikota  se-Bali mesti mencari solusi yang cepat dan tepat, “sampah” .

 

One Island one management akan dinanti untuk diwujudkan.

 

Jauhkan  ego sektoral, hilangkan ego politik yang dapat menghancurkan kita semua.

Hanya perihal “sampah” tidak dapat dibiarkan  berlarut-larut.

 

Belum lagi soal yang lebih besar bagaimana membangun Bali agar lebih sejahtera. Jangan biarkan  “Sampah” berserakan dijalan-jalan akan memberikan dampak buruk bagi Bali. ( i made pria dharsana)

PERSOALAN “sampah” tidak dapat dibiarkan dan tidak berdiri sendiri, karena bagaimanapun problem sampah akan berimbas kepada kebersihan dan keindahan.

 

Bali sebagai destinasi pariwisata andalan Indonesia di mata wisatawan nasional maupun dunia pariwisata  telah memberikan tingkat kesejahteraan bagi Bali.

 

Walaupun kita tahu, tidak semua kue hasil pariwisata dinikmati oleh masyarakat Bali.

 

Selain itu, baik disadari atau tidak, pariwisata juga akan meninggalkan residu, ampas buruk yang pelan-pelan merusak aspek kehidupan masyarakat Bali dan akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang.

 

Dari hasil pajak yang diperoleh pemerintah, terutama pemerintah kabupaten kota, khususnya Kabupaten Badung hampir mencapai 10 T.

 

Terlihat dari APBD nya, yang karena penurunan iklim usaha/ekonomi kemudian dikoreksi menjadi 7,7 T dan kembali dikoreksi menjadi 5,6 T.

 

Perolehan dan besaran penghasilan kue pariwisata ini dikembalikan kepada masyarakat Badung melaui pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur, pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan sebagian  di hibahkan kepada kabupaten lain yang menjadi tujuan atau obyek pariwisata selain Denpasar dan Kabupaten Gianyar. 

 

Persentase besaran hibah ini mencapai 30 persen dari pajak hotel dan restorant (PHR) yang diperoleh kabupaten Badung (sesuai kesepakatan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika dengan Bupati Badung AA Gede Agung dan para Bupati se-Bali pada tahun 2008).

 

Pemberian hibah tersebut merupakan komitmen bersama agar dapat merawat, menjaga, memelihara kebersihan alam, menjaga kesucian pura yang menjadi obyek wisatawan.

 

Tata cara pemberian hibah diatur dengan surat keputusan (SK) bersama antara Bupati Badung dengan Gubernur Bali yang mengelola dan mendistribusikan dana hibah Kabupaten Badung dan didistribusikan ke kabupaten seluruh Bali di luar Denpasar dan Kabupaten Gianyar secara proporsional.

 

Hal ini dimaksudkan bahwa seluruh kabupaten lain di luar Badung, Denpasar, dan Gianyar turut menikmati kue pariwisata walaupun tidak banyak.

 

Termasuk yang tak kalah penting, bahwa pembagian kue itu juga untuk tujuan agar jangan sampai terjadi kesenjangan kesejahteraan yang begitu tinggi dialami oleh masyarakat di Bali.

 

Kemudian terjadi perubahan dan pembatalan kesepakatan penyampaian dana hibah yang diperoleh Kabupaten Badung dari PHR.

 

Jika awal kesepakatan dana hibah diserahkan oleh Gubernur Bali, kini dana hibah diserahkan langsung oleh Bupati Badung.

 

Alasan perubahan dan pembatalan kesepakatan penyampaian dana hibah karena Badung menilai

tidak ada yang mengharuskan demikian.

 

Sejak perubahan itu berjuta- juta dan bahkan bermiliar-miliar dana hibah diserahkan langsung oleh Bupati Badung.

 

Bahkan dana hibah dan bansos dengan nilai fantastis itu diserahkan langsung oleh Bupati Badung dalam bentuk uang cash bertumpuk-tumpuk untuk  kepentingan sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

 

Pemberian dana cash itu juga dipublikasikan secara tidak henti-henti hingga tak sedikit membuat masyarakat terkagum-kagum.

 

Bahkan saking kagumnya, tidak sedikit pula yang mengelu-elukan Bupati Badung sebagai bupati yang luar biasa bares (royal).

 

Pertanyaannya, apakah pemberian yang dilakukan Bupati Badung sudah tepat dan benar? Apakah pemberian (hibah dan bansos) itu benar-benar tulus untuk tujuan awal mewujudkan kesehateraan dan menghindari terjadinya kesenjangan? Ataukah pemberian itu bagian dari pencitraan belaka untuk kepentingan politik yang lebih besar berikutnya?

 

Tentu butuh banyak waktu maupun parameter dari segala aspek untuk menganalisa, menilai, maupun mencermati hal ini.

 

Seperti banyak publik ketahui, dalam ranah politik, praktik transaksional dan pencintraan  memang sulit untuk dihindari. Terlebih menjelang perhelatan Pilkada 2020

 

Pemberian hibah atau bansos dalam bentuk uang maupun barang masih menjadi “trik jitu” untuk pencitraan politik. Terpenting semua jadi senang dan bersama-sama membulatkan tekat untuk memilih kembali.

 

Namun lepas dari hal itu, ada satu hal paling  penting dipertanyakan soal bagimana seorang pemimpin mampu mengelola keuangan daerahnya dan mengelola anggarannya?

 

Apakah tata kelola pemerintahan sudah berjalan baik? Jika kurang baik, pertanyaannya kenapa masyarakatnya diam? Apakah karena sudah menerima dana bansos yang begitu banyak sehingga sungkan untuk mengingatkan? Seharusnya sebagai lembaga Legislatif tugas  pengawasan ada di tangan anggota DPRD.

 

Akan tetapi tidak ada menyampaikan sesuatu atau mengingatkan.

Apakah ini karena anggota Dewan turut sungkan? 

 

Beberapa dekade Pulau Dewata yang kita cintai ini merupakan destinasi wisata pantai  yang sangat indah dimana jutaan wisatawan mancanegara sangat tertarik untuk berbondong-bondong ke Pulau Bali.

 

Mereka (wisatawan) datang untuk berselancar, snorkeling, dan berjemur di pantai-pantainya yang begitu indah.

 

Sebagai warga Bali, secara pribadi penulis merasa sedih sekaligus prihatin melihat kondisi lingkungan pantai , kota , gunung, hutan bakau di Provinsi Bali yang ada.

 

Bagaimana tidak, sekarang ini destinasi wisata yang begitu kita banggakan dan dicintai banyak orang di berbagai penjuru dunia itu telah terancam, karena pulau yang kita banggakan ini dinyatakan sebagai “darurat sampah”.

 

Dan sungguh menyedihkan lagi, tempat wisata paling populer di dunia ini, kini dibanjiri dengan gunungan sampah plastik.

 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, jumlah kunjungan wisman ke Bali pada semester I/2019 hanya 2,84 juta atau turun 1,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

 

Padahal jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah kunjungan wisman selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.

 

Bicara “Sampah”, secara tradisional sampah seringkali dipandang sebagai sumber polusi bahkan bisa juga sumber bibit penyakit.

 

Tetapi pengelolaan limbah yang baik sebenarnya dapat menghasilkan bahan-bahan berharga, terutama sekarang karena banyak dari mereka menjadi langka.

 

Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa setiap harinya Pulau Dewata Bali menghasilkan sampah mencapai 4.281 ton atau 1,5 juta ton tiap tahun.

 

Dari jumlah tersebut, lebih banyak sampah yang tidak dikelola (52 persen), daripada yang dikelola (48 persen).

 

Sementara 50 persen sampah di Bali berasal dari tiga daerah di Bali yaitu Kota Denpasar, Badung, dan Gianyar.

 

Dari sampah yang dibuang ke tempat sampah, 70 persen di antaranya berakhir di TPA Suwung.

 

Kondisi tersebut tentunya akan menjadikan masalah jika tidak segera di tanggulangi oleh Pemerintah Provinsi Bali.

 

Sampah plastik dalam hal ini menjadi momok dan musuh bersama, hingga Pemprov dan menunjukkan komitmennya melalui Pergub untuk mengurangi timbunan plastik sekali pakai.

 

Bali Partnership menjadikan kolaborasi antar pihak, seperti akademisi, lembaga penelitian, pemerintah, dan swasta sebagai metode pengurangan sampah. 

 

Seyogyanya pada TPA seperti di beberapa negara maju pengelolaan limbah sebagai cara terpenting untuk menangani limbah, namun begitu itu tidak bisa bertahan lama.

 

Alasan mendasarnya karena TPA dapat menyebabkan polusi tanah, air, dan udara.

 

Jika terjadi pembuangan yang tidak terkendali, bahan kimia berbahaya dapat dilepaskan yang membahayakan kesehatan masyarakat.

 

Tapi di atas semua itu, bahan berharga hilang.

 

Salah satu solusi terbaik adalah mengurangi atau tidak ada hasil limbah.

 

Jika itu tidak memungkinkan, penggunaan kembali atau daur ulang, dan pemulihan adalah alternatif yang baik.

 

Pengelolaan limbah yang baik dapat memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.

 

Dengan menghemat sumber daya dan mencegah remediasi dan masalah kesehatan yang mahal.

 

sekarang muncul masalah “sampah” di Kabupaten Badung, mungkin juga di kabupaten  lain di Bali.

 

Lalu kenapa hanya kabupaten Badung saja di sorot? Bermula tapi sepertinya sudah lama menjadi masalah dengan TPA Suwung.

 

Tempat pembuangan “sampah” Sarbagita yang sudah tidak dapat lagi menampung pembuangan sampah. Akibatnya sampah plastic berserakan dimana-mana di jalan, hutan manrove (bakau) bahkan ada juga yang lolos ke laut

 

Selain itu, karena sampah juga, sudah beberapa kali terjadi kebakaran di TPA Suwung.

 

Kemudian menjadi perhatian pemerintah pusat melalui kementerian Maritim dan dijadikan salah satu pembenahan dalam pelaksanaan APEC di Bali tahun 2017.

 

Agar TPA Suwung tidak merusak pemandangan delegasi yang hadir ke Bali.

 

Apalagi dilalui penerbangan  dari bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.

 

 Namun pembenahan TPA Suwung belum rampung.

 

Sekarang muncul masalah, kita semua tidak mau belajar bagaimana mengelola sampah dengan baik, tidak mau belajar dari mana saja yang telah mampu mengelola sampah menjadi energi listrik dan kompos.

 

Sekarang telah menjadi barita yang tak dapat dibiarkan, padahal dana PHR yang diperoleh dan diberikan kepada masyarakat begitu besar. Tetapi tidak ada perencanaan kue pariwisata yang baik tapi hanya ada  sisa, ampas dari pariwisata.

 

Hibah uang diterima tapi berkenaan dengan “sampah” yang menjadi bagian dari “hibah” ditolak serta di demo masyarakat, ini suatu yang paradok. 

 

Seluruh stakholder , Gubernur, Bupati/Walikota  se-Bali mesti mencari solusi yang cepat dan tepat, “sampah” .

 

One Island one management akan dinanti untuk diwujudkan.

 

Jauhkan  ego sektoral, hilangkan ego politik yang dapat menghancurkan kita semua.

Hanya perihal “sampah” tidak dapat dibiarkan  berlarut-larut.

 

Belum lagi soal yang lebih besar bagaimana membangun Bali agar lebih sejahtera. Jangan biarkan  “Sampah” berserakan dijalan-jalan akan memberikan dampak buruk bagi Bali. ( i made pria dharsana)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/