Ada jenis tepuk tangan yang lagi viral di Amerika. Belum ada namanya. Sebut saja TTN: ‘Tepuk Tangan Nancy’ (Lihat foto).
Nancy Pelosi adalah Ketua DPR. Sekaligus ketua fraksi mayoritas, Partai Demokrat.
Saat itu Nancy menepuki Presiden Donald Trump. Yang lagi di posisi di depannya. Setelah Trump berpidato. Yang podiumnya persis di depan kursi ketua DPR.
Entah apa maksud TTN itu. Mengejek atau memuji. Tafsir netizen: mengejek.
Di pidato itu Trump tetap bersikukuh dengan rencana temboknya.
Pidato itu sendiri sebenarnya menarik. Saya mengikuti siaran langsungnya. Penuh. Lebih dari 100 kali tepuk tangan bergemuruh. Praktis hampir di setiap akhir kalimat. Gaya pemimpin Amerika berpidato selalu menarik. Sesekali diselingi adegan human interest.
Ada anak kecil yang baru sembuh dari kanker darah. Ada polisi yang baru berhasil menangkap teroris. Ada mantan napi salah tangkap. Ada imigran legal yang sukses.
Satu setengah jam menjadi tidak terasa. Apalagi gaya retorikanya sangat intelektual.
Itulah yang disebut pidato SOTU (State of the Union). Setahun seki. Di depan pleno gabungan DPR-DPD (House dan Senat).
Pidato SOTU tertunda lama. Karena Nancy membatalkan jadwal aslinya. Akibat tidak ada tenaga keamanan. Yang terkena imbas tutupnya sebagian layanan pemerintah. Setelah DPR tidak menyetujui anggaran pembangunan tembok perbatasan.
Trump akhirnya membuka kembali pemerintahan. Buka sementara. Seperti hanya memberi peluang agar bisa ber-SOTU. Atau agar final sepak bola Amerika, tidak terganggu. Sambil terus nego soal anggaran tembok.
Sampai kemarin negonya belum selesai.
Tinggal tiga hari lagi. Pemerintah bisa tutup lagi. Kalau tidak ada kompromi.
Sampai Selasa lalu Trump masih menggebrak. Menggelar rapat akbar. Di dekat perbatasan. Menyerukan pentingnya tembok.
Bagaimana kalau DPR tetap menolak?
Kemungkinan besar Trump akan pakai jalan pintas: menyatakan keadaan darurat. Dengan alasan: terjadi krisis di perbatasan.
Atau pemerintah tutup lagi saja. Seperti Januari lalu. Yang membuat 800 ribu pegawai tidak gajian. Penyelidikan kecelakaan pesawat ditunda. Beberapa layanan umum tutup.
Dengan dekrit itu Trump boleh mengalihkan mata anggaran. Sebagian dana pertahanan bisa untuk bangun tembok. Tidak akan mengganggu operasional militer. Anggaran pertahanannya sebesar gajah bengkak lima kali.
Untuk itu Trump harus menunjukkan situasi krisis. Agar ada pembenaran dekrit keadaan darurat.
Salah satunya ia ungkap di twitter: 200 juta orang Latin akan membanjiri Amerika. Kalau perbatasan terbuka. Mengerikan.
Tapi rakyat Amerika tidak banyak yang bisa dibodohi. Twitter itu tidak salah: kalau perbatasan terbuka. Tapi kenyataannya perbatasan tidak terbuka. Penjagaan sudah ketat. Bahkan sudah ada tembok di beberapa lokasi penting.
Saya sudah ke beberapa titik perbatasan yang dimaksud. Bahkan melintasinya. Untuk merasakan situasinya. Sampai masuk ke wilayah Meksiko. Beberapa jam. Misalnya hanya untuk potong rambut. Lalu balik lagi ke wilayah Amerika.
Trump juga mengeluarkan ancaman. Kalau pembangunan tembok tidak disetujui, rakyatlah yang akan jadi tembok. Tembok manusia. Tembok hidup. Rakyat berjajar di sepanjang perbatasan.
Saya pun membayangkan: mana ada orang Amerika yang mau begitu. Berkeringat di bawah matahari perbatasan: yang sangat menyengat. Yang dekat wilayah berbatu. Berpasir. Bergurun. Yang panasnya beda dengan Amerika belahan Utara.
Ternyata saya salah. Rupanya ada juga yang mau menjadi pagar hidup. Tiga hari lalu. Sejumlah orang termotivasi twitter Trump. Datang ke perbatasan. Laki dan perempuan. Umumnya sudah agak tua. Berjajar. Bergandengan tangan. Seperti menghadang gelombang manusia. Yang akan menerobos perbatasan.
”Tembok manusia” itu lalu difoto. Difilmkan. Lantas di upload ke media digital.
Lalu bubar.
Publik juga tidak percaya begitu saja.
‘Tembok manusia’ itu tidak benar-benar di perbatasan. Hanya di satu taman. Di negara bagian New Mexico. Masih sekitar 10 Km dari perbatasan yang sesungguhnya.
Gubernur New Mexico sendiri kalem saja. “Tidak ada krisis perbatasan di sini. Wilayah ini termasuk yang paling aman di Amerika,” ujar Michelle Lujan Grisham. Sang gubernur.
Pun kalau Trump akan mengeluarkan dekrit bukan berarti tanpa resiko. Dalam enam bulan presiden harus mempertanggungjawabkannya. Di depan DPR. Bahkan bisa lebih parah. Dekrit itu bisa jadi gerbang untuk melengserkannya. Lewat impeachment.
Pilihan Trump menjadi tidak banyak. Dekrit atau pemerintah tutup lagi.
Kalau di Indonesia mungkin bisa ditemukan jalan kompromi. Misalnya biarlah tembok itu tetap dibangun. Beberapa meter saja. Yang penting janji kampanye sudah terpenuhi.
Atau gak usah dibangun sama sekali. Tinggal menyakinkan yang pernah berjanji: jangan risau pada janji. Lupakan janji. Rakyat itu gampang lupa. Dan sangat pemaaf.
Rupanya jalan tengah seperti itu juga terpikir di Amerika. Kemarin malam terjadi kompromi. Antara Partai Republik dan Demokrat. Untuk menyetujui sebagian dana yang diminta Trump. Sekitar Rp 20 triliun saja. Dari Rp 70 triliun yang diminta. Cukup untuk membangun tembok sepanjang 90 Km. Di sepanjang sungai Rio Grande. Di New Mexico. Sejauh Surabaya-Malang. Atau Jakarta-Puncak. Atau Medan-Toba.
Trump belum tahu jalan tengah itu. Saat kompromi tercapai ia masih di perbatasan.
Kini bola ada di Trump: apakah bisa menerima. Hanya diberi dana kurang sepertiga dari yang ia minta.
Atau Trump akan tetap pilih dekrit.
Atau biarkan pemerintah tutup lagi.
Langkah yang mana pun yang diambil Trump, jenis tepuk tangan Nancy itu cocok untuknya. (dahlan iskan)
About Author