28.1 C
Jakarta
22 November 2024, 19:31 PM WIB

Stop Mei, Meramal Akhir Kisah Covid-19

Agama pun terguncang. Islam, Kristen kurang lebih sama. Khususnya di kalangan ulama-ulamanya.

Di kalangan Islam soal ahli sunah dan jabbariyah ramai disoal. Juga jadwal kapan Covid-19 akan lenyap menurut agama.

Di kalangan Kristen ramai soal copy meng-copy Tuhan Yesus. Termasuk soal dahi yang bertanda.

Semua itu berseliweran di media sosial. Yang Islam bisa mengikuti gejolak yang di Kristen. Yang Kristen tahu apa yang terjadi di kalangan Islam.

YouTube telah membuang sekat antara masjid dan gereja.

Rasanya sulit mencari kesepakatan mana yang benar. Masyarakatlah yang jadi juri terbaik. Dengan kesimpulan mereka sendiri-sendiri.

Ternyata di semua agama ulamanya terbelah.

Dan itu masih lebih baik. Daripada tercabik-cabik. Atau dicabik-cabik.

Ulama sekelas Aa Gym dan Ustaz Abdus Somad ikut berseliweran. Mereka bicara seputar boleh tidaknya tidak salat Jumat – -di masa Covid-19 seperti ini.

Aa Gym yang lembut jadi seperti pembawa acara. Narasumbernya Ustaz Abdus Somad yang keras –setidaknya nada suaranya.

Persoalannya mengapa masjid yang selama ini dikenal ahli sunah –yang moderat– lebih banyak tetap melaksanakan salat Jumat.
Apa kata Ustaz Somad?

“Mereka itu mengaku saja ahli sunah. Tapi sebenarnya Jabariyah,” begitu kurang lebih penjelasannya.

Alasannya? Ikuti sendiri di video yang beredar luas itu.

Silakan.

Ada juga yang seperti ahli hadis –ahli tentang apa saja yang pernah diucapkan dan dilakukan Nabi Muhammad. Videonya juga beredar luas. Tapi saya tidak kenal siapa ia.

Penampilan fisiknya mirip ulama ahli hadis. Pakai jubah dan tutup kepala –mirip salah satu aliran sufi. Latar belakangnya deretan buku dalam bahasa Arab. Dari kiri luar sampai kanan luar. Dari rak atas sampai rak bawah.

Ia bilang Covid-19 ini akan lenyap sebentar lagi. Hilang dari muka bumi. Kapan?

“Bulan Mei,” katanya tegas.

Itu, katanya, sesuai dengan hadis –ucapan Nabi Muhammad.

Ia pun mengutip hadisnya –termasuk literatur kitab-kitab dan endorsernya: ulama besar kelas dunia di masa lalu.

Melihat video itu saya benar-benar horeeeee! Mei sudah di depan mata. Covid-19 segera lenyap dari bumi.

Horeeeee saya itu ternyata tidak lama. Terbacalah oleh saya tulisan Prof. DR. Moch Nur Ichwan. “Itu memanipulasi hadis,” tulisnya. (Tulisan lengkapnya di sini: Meramal Akhir Covid-19 dengan (Memanipulasi) Hadis Nabi)

Nur Ichwan terlalu cepat menerbitkan tulisannya. Padahal saya ingin agak lama sedikit memimpikan datangnya bulan Mei.

Dr. Nur Ichwan adalah dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Masternya dari Leiden University, Belanda. Gelar doktornya dari Tilburg University –antara Leiden dan Eindhoven. Ia pernah mondok di nJorsan, Ponorogo.

Penjelasannya detail sekali. Kok saya jadi setuju dengan Nur Ichwan. Meski harus kehilangan harapan pada Mei. Tentu, bisa saja saya balik menyenangi bulan Mei. Kalau ada penjelasan tandingan dari yang seperti ahli hadis tadi.

Di samping dua masalah itu masih banyak perdebatan lain tentang Covid-19 dari sudut Islam.

Tapi ya sudahlah.

Kan perlu tahu juga yang terjadi di kalangan Kristen. Yang lalu-lintas medsosnya didominasi oleh pendeta Niko Njotorahardjo dan pendeta Stephen Tong.

Dua-duanya hebat. Keduanya sudah tua. Niko 71 tahun. Tong 79 tahun. Dua-duanya punya pengikut yang sangat besar.

Seimbang. Dari segi itu.

Pendeta Niko lahir di Bondowoso. Ia jadi pendeta atas bimbingan Pendeta Dr. Abraham Alex Tanuseputra.

Di Surabaya Pendeta Alex ini amat terkenal. Ia-lah pendiri gereja Bethany di Semolowaru, Surabaya. Yang gerejanya sangat besar dengan arsitektur dom –seperti sebuah convention center.

Bethany lantas dikenal sebagai gereja yang kaya raya. Dengan jemaat yang kaya-kaya.

Ketika Bethany mengembangkan diri ke Jakarta, Niko-lah yang dipercaya sebagai pimpinan Bethany wilayah barat.

Niko menjadi terkenal di Jakarta. Jemaatnya terus bertambah. Lalu mendirikan gereja sendiri di luar Bethany –Gereja Bethel Indonesia.

Gereja baru itu menempati Geraja Bethany yang di Jakarta itu –entah bagaimana hitungannya.

Di pusatnya sendiri, di Surabaya, Bethany juga pecah. Bahkan sangat serius. Saling pecat. Pun antara anak kandung dan bapak biologis.

Saling gugat pula ke pengadilan.

Bethany punya ratusan cabang. Termasuk beberapa di Amerika Serikat. Saya pernah ke salah satu cabang gerejanya. Yang di Philladelphia.

Perkembangan gereja Niko juga pesat. Kini sudah punya 700 cabang di seluruh Indonesia. Juga di luar negeri.

Akan hal Stephen Tong, untuk apa diperkenalkan? Ia sudah lebih dari terkenal. Ia-lah salah satu pendiri Institut Injil Indonesia di Batu, Malang.

Dua-duanya jago khotbah. Apalagi ketika belum tua. Sama-sama pandai bicara Mandarin dan Inggris. Dua-duanya pandai menyanyi. Dua-duanya pencipta lagu-lagu rohani. Mereka juga sering khotbah di mancanegara.

Dua-duanya banyak tampil di YouTube.

Tapi keduanya saling berseberangan. Terutama setelah ada pandemi Covid-19.

“Jangan seperti pendeta yang besaaar itu, yang sampai berani mengatakan akan menghentikan Covid-19,” ujar Stephen Tong. “Itu pengkhianatan. Itu meng-copy Tuhan Yesus. Itu tidak boleh,” tambahnya.

Selebihnya tonton sendiri videonya.

Yang dimaksud ‘pendeta yang besaaar itu’, ya, Niko itu.

Niko –dalam khotbahnya yang diunggah di YouTube– mengaku telah dibisiki Tuhan Yesus untuk menghentikan Covid-19.

Caranya?

Seperti Yesus menghentikan topan dan gelombang yang mengguncang perahuNya. “Angin, diamlah! Gelombang, berhentilah!” ujar Niko menirukan hardikan Yesus kala itu. Lengkap dengan ekspresi ketegasan dan suara bentakannya.

Saat itu juga, kata Niko, topan dan gelombang berhenti.

Maka di tengah pandemi Covid-19 yang menggila ini pun Niko mengaku dibisiki Yesus. Untuk menghentikannya.

“Maka saya berkata kepada Covid-19. Diamlah! Berhenti!,” teriaknya seperti menghardik Covid-19.

Khotbah itulah yang dikritik Pendeta Stephen Tong.

“Kalau ia memang bisa menghentikan Covid-19, coba kumpulkan ribuan penderita Covid-19 di Gelora Bung Karno. Sembuhkan!,” tantang Pendeta Tong.

Pokoknya serulah. Lihat sendiri videonya di YouTube.

Ramai.

Belum lagi pendeta-pendeta lain yang ikut nimbrung. Ada yang membela Niko ada yang di belakang Tong. Ada juga yang mencari jalan tengah –tapi jatuhnya di seberang semuanya.

Salah satu di antara pendeta itu ada yang menghubungkan Covid-19 dengan gerakan anti-Kristus. Katanya: dengan Covid ini akan ada alasan dari pihak yang anti-Kristus untuk memasang chip di dahi dan di lengan manusia.

Itu, katanya, persis seperti yang digambarkan dalam Injil –Wahyu 6, ayat 16-18.

Apa kesimpulan pendeta itu? “Turunnya Tuhan Yesus yang kedua sudah dekat,” tegasnya.

Artinya, kiamat sudah dekat.

Siapa golongan anti-Kristus yang dimaksud?

Tak lain persis seperti yang digambarkan dalam novel DaVinci Code: Golongan Primasoni!

Dari episode ini Islam ternyata tidak memusuhi Kristen. Dan Kristen tidak memusuhi Islam.

Mereka lagi punya musuh bersama: musuh yang tidak tampak di mata.(Dahlan Iskan)

Agama pun terguncang. Islam, Kristen kurang lebih sama. Khususnya di kalangan ulama-ulamanya.

Di kalangan Islam soal ahli sunah dan jabbariyah ramai disoal. Juga jadwal kapan Covid-19 akan lenyap menurut agama.

Di kalangan Kristen ramai soal copy meng-copy Tuhan Yesus. Termasuk soal dahi yang bertanda.

Semua itu berseliweran di media sosial. Yang Islam bisa mengikuti gejolak yang di Kristen. Yang Kristen tahu apa yang terjadi di kalangan Islam.

YouTube telah membuang sekat antara masjid dan gereja.

Rasanya sulit mencari kesepakatan mana yang benar. Masyarakatlah yang jadi juri terbaik. Dengan kesimpulan mereka sendiri-sendiri.

Ternyata di semua agama ulamanya terbelah.

Dan itu masih lebih baik. Daripada tercabik-cabik. Atau dicabik-cabik.

Ulama sekelas Aa Gym dan Ustaz Abdus Somad ikut berseliweran. Mereka bicara seputar boleh tidaknya tidak salat Jumat – -di masa Covid-19 seperti ini.

Aa Gym yang lembut jadi seperti pembawa acara. Narasumbernya Ustaz Abdus Somad yang keras –setidaknya nada suaranya.

Persoalannya mengapa masjid yang selama ini dikenal ahli sunah –yang moderat– lebih banyak tetap melaksanakan salat Jumat.
Apa kata Ustaz Somad?

“Mereka itu mengaku saja ahli sunah. Tapi sebenarnya Jabariyah,” begitu kurang lebih penjelasannya.

Alasannya? Ikuti sendiri di video yang beredar luas itu.

Silakan.

Ada juga yang seperti ahli hadis –ahli tentang apa saja yang pernah diucapkan dan dilakukan Nabi Muhammad. Videonya juga beredar luas. Tapi saya tidak kenal siapa ia.

Penampilan fisiknya mirip ulama ahli hadis. Pakai jubah dan tutup kepala –mirip salah satu aliran sufi. Latar belakangnya deretan buku dalam bahasa Arab. Dari kiri luar sampai kanan luar. Dari rak atas sampai rak bawah.

Ia bilang Covid-19 ini akan lenyap sebentar lagi. Hilang dari muka bumi. Kapan?

“Bulan Mei,” katanya tegas.

Itu, katanya, sesuai dengan hadis –ucapan Nabi Muhammad.

Ia pun mengutip hadisnya –termasuk literatur kitab-kitab dan endorsernya: ulama besar kelas dunia di masa lalu.

Melihat video itu saya benar-benar horeeeee! Mei sudah di depan mata. Covid-19 segera lenyap dari bumi.

Horeeeee saya itu ternyata tidak lama. Terbacalah oleh saya tulisan Prof. DR. Moch Nur Ichwan. “Itu memanipulasi hadis,” tulisnya. (Tulisan lengkapnya di sini: Meramal Akhir Covid-19 dengan (Memanipulasi) Hadis Nabi)

Nur Ichwan terlalu cepat menerbitkan tulisannya. Padahal saya ingin agak lama sedikit memimpikan datangnya bulan Mei.

Dr. Nur Ichwan adalah dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Masternya dari Leiden University, Belanda. Gelar doktornya dari Tilburg University –antara Leiden dan Eindhoven. Ia pernah mondok di nJorsan, Ponorogo.

Penjelasannya detail sekali. Kok saya jadi setuju dengan Nur Ichwan. Meski harus kehilangan harapan pada Mei. Tentu, bisa saja saya balik menyenangi bulan Mei. Kalau ada penjelasan tandingan dari yang seperti ahli hadis tadi.

Di samping dua masalah itu masih banyak perdebatan lain tentang Covid-19 dari sudut Islam.

Tapi ya sudahlah.

Kan perlu tahu juga yang terjadi di kalangan Kristen. Yang lalu-lintas medsosnya didominasi oleh pendeta Niko Njotorahardjo dan pendeta Stephen Tong.

Dua-duanya hebat. Keduanya sudah tua. Niko 71 tahun. Tong 79 tahun. Dua-duanya punya pengikut yang sangat besar.

Seimbang. Dari segi itu.

Pendeta Niko lahir di Bondowoso. Ia jadi pendeta atas bimbingan Pendeta Dr. Abraham Alex Tanuseputra.

Di Surabaya Pendeta Alex ini amat terkenal. Ia-lah pendiri gereja Bethany di Semolowaru, Surabaya. Yang gerejanya sangat besar dengan arsitektur dom –seperti sebuah convention center.

Bethany lantas dikenal sebagai gereja yang kaya raya. Dengan jemaat yang kaya-kaya.

Ketika Bethany mengembangkan diri ke Jakarta, Niko-lah yang dipercaya sebagai pimpinan Bethany wilayah barat.

Niko menjadi terkenal di Jakarta. Jemaatnya terus bertambah. Lalu mendirikan gereja sendiri di luar Bethany –Gereja Bethel Indonesia.

Gereja baru itu menempati Geraja Bethany yang di Jakarta itu –entah bagaimana hitungannya.

Di pusatnya sendiri, di Surabaya, Bethany juga pecah. Bahkan sangat serius. Saling pecat. Pun antara anak kandung dan bapak biologis.

Saling gugat pula ke pengadilan.

Bethany punya ratusan cabang. Termasuk beberapa di Amerika Serikat. Saya pernah ke salah satu cabang gerejanya. Yang di Philladelphia.

Perkembangan gereja Niko juga pesat. Kini sudah punya 700 cabang di seluruh Indonesia. Juga di luar negeri.

Akan hal Stephen Tong, untuk apa diperkenalkan? Ia sudah lebih dari terkenal. Ia-lah salah satu pendiri Institut Injil Indonesia di Batu, Malang.

Dua-duanya jago khotbah. Apalagi ketika belum tua. Sama-sama pandai bicara Mandarin dan Inggris. Dua-duanya pandai menyanyi. Dua-duanya pencipta lagu-lagu rohani. Mereka juga sering khotbah di mancanegara.

Dua-duanya banyak tampil di YouTube.

Tapi keduanya saling berseberangan. Terutama setelah ada pandemi Covid-19.

“Jangan seperti pendeta yang besaaar itu, yang sampai berani mengatakan akan menghentikan Covid-19,” ujar Stephen Tong. “Itu pengkhianatan. Itu meng-copy Tuhan Yesus. Itu tidak boleh,” tambahnya.

Selebihnya tonton sendiri videonya.

Yang dimaksud ‘pendeta yang besaaar itu’, ya, Niko itu.

Niko –dalam khotbahnya yang diunggah di YouTube– mengaku telah dibisiki Tuhan Yesus untuk menghentikan Covid-19.

Caranya?

Seperti Yesus menghentikan topan dan gelombang yang mengguncang perahuNya. “Angin, diamlah! Gelombang, berhentilah!” ujar Niko menirukan hardikan Yesus kala itu. Lengkap dengan ekspresi ketegasan dan suara bentakannya.

Saat itu juga, kata Niko, topan dan gelombang berhenti.

Maka di tengah pandemi Covid-19 yang menggila ini pun Niko mengaku dibisiki Yesus. Untuk menghentikannya.

“Maka saya berkata kepada Covid-19. Diamlah! Berhenti!,” teriaknya seperti menghardik Covid-19.

Khotbah itulah yang dikritik Pendeta Stephen Tong.

“Kalau ia memang bisa menghentikan Covid-19, coba kumpulkan ribuan penderita Covid-19 di Gelora Bung Karno. Sembuhkan!,” tantang Pendeta Tong.

Pokoknya serulah. Lihat sendiri videonya di YouTube.

Ramai.

Belum lagi pendeta-pendeta lain yang ikut nimbrung. Ada yang membela Niko ada yang di belakang Tong. Ada juga yang mencari jalan tengah –tapi jatuhnya di seberang semuanya.

Salah satu di antara pendeta itu ada yang menghubungkan Covid-19 dengan gerakan anti-Kristus. Katanya: dengan Covid ini akan ada alasan dari pihak yang anti-Kristus untuk memasang chip di dahi dan di lengan manusia.

Itu, katanya, persis seperti yang digambarkan dalam Injil –Wahyu 6, ayat 16-18.

Apa kesimpulan pendeta itu? “Turunnya Tuhan Yesus yang kedua sudah dekat,” tegasnya.

Artinya, kiamat sudah dekat.

Siapa golongan anti-Kristus yang dimaksud?

Tak lain persis seperti yang digambarkan dalam novel DaVinci Code: Golongan Primasoni!

Dari episode ini Islam ternyata tidak memusuhi Kristen. Dan Kristen tidak memusuhi Islam.

Mereka lagi punya musuh bersama: musuh yang tidak tampak di mata.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/