MELIHAT kondisi lingkungan alam Bali yang banyak rusak dan kotor membuat hati Gus Topeng mendadak terpanggil.
Bahkan, di tengah kesibukannya berdinas sebagai polisi hutan (Polhut) di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Dinas Kehutanan Provinsi Bali, ia rela meluangkan waktunya berkeliling Bali untuk mengkampanyekan dan mengajak warga menjaga alam Bali.
DIDIK D.PRAPTONO, Denpasar
Keterpanggilan Ida Bagus Made Widiantara atau Gus Topeng, 40, untuk terus mengkampanyekan pentingnya menjaga alam Bali layak untuk ditiru.
Murni karena rasa ihklas dan keterpanggilan hati, Gus Topeng terus mengkampanyekan dan mengajak warga di banjar (dusun) agar tetap menjaga alam Bali.
Uniknya lagi, ajakan pria asal Griya Grogak, Keramas, Sukawati , Gianyar ini disampaikan melalui kegiatan atau pagelaran seni dan budaya.
“Biasanya saya selalu selipkan pesan melalui pementasan seni tari sakral topeng Sidakarya, bondres, dan lain-lain di banjar atau pura desa. Kalau langsung melalui pidato biasanya warga cuek dan tidak efektif,”terang suami dari Ida Ayu Made Suaridewi ini.
Bahkan untuk mengkampanyekan lingkungan, bapak dua anak yang kini tinggal di Jalan Palapa III No.6 Denpasar Selatan ini sudah rutin ia lakukan sejak 9 tahun lalu.
“Biasanya itu saya lakukan selepas dinas sekitar pukul 19.00. Saya pribadi sebenarnya tidak punya darah seni, bapak saya (Alm Ida Bagus Ketut Puspa) dulu dinas sebagai polisi militer. Sedangkan ibu saya (Alm Jro Griya) seorang pedagang,” ujar Gus Topeng saat ditemui di area Taman Mangrove, Jalan By Pass Pemogan Densel, Sabtu sore (13/7)
Lalu dari mana kemampuan menari topeng sakral itu bisa dia dapat? Ditanya begitu, Gus Topeng mengaku dari otodidak. “Saya tidak pernah belajar menari secara formal. Lebih tepatnya kemampuan itu karena Nyungsung (terpilih dari leluhur) sejak saya duduk di bangku sekolah SMA,”imbuhnya.
Padahal kata Gus Topeng, sebelum Nyungsung, ia sempat menolak. “Sejak SMA saya sempat gila dua tahun karena menolak atau tidak mengikuti Nyungsung. Beberapa kali berobat ke orang pintar tidak ada yang berani. Namun setelah saya mengikuti akhirnya sembuh. Mungkin itu sudah karma saya,”jelas Gus Topeng.
Sejak itulah, Gus Topeng tak hanya bisa menari tarian sakral Topeng Sidakarya. Tetapi, ia juga banyak diminta bantuan banyak orang untuk mengobati oran sakit dan meramal atau membaca primbon. “Walaupun ribuan orang datang ke rumah, tapi saya tidak mau dibilang tabib atau orang pintar. Mungkin mereka yang datang karena yakin,”aku Gus Topeng merendah.
Bahkan imbuh Gus Topeng, para pasien yang sakit medis atau non medis itu bukan hanya datang dari beberapa daerah di Bali, tapi juga dari luar Bali. “Tapi saya tidak mau memperjualbelikan atau mengkomersilkan. Termasuk tari sakral “Topeng Sidakarya”. Bagi saya taksu tidak boleh diperjualbelikan. Mungkin lebih tepatnya untuk menolong dan biar banyak teman saja,”imbuhnya.
Meski tak mau mengkomersilkan Taksu, namun dengan kemampuannya itu, ia sering kali diminta pentas baik di seluruh daerah di Bali, Lombok NTB, Jawa, dan bahkan Jepang. “Di setiap pagelaran itulah saya selalu sampaikan pesan untuk menjaga lingkungan. Tapi sekali lagi itu bukan komersil. Walapun ada yang bilang juga saya orang Bali yang bodoh karena tidak mau dikomersilkan,”imbuh Gus Topeng.
Baginya, meski tampa memperjualbelikan taksu dan kemampuannya, namun dengan cara dirinya mengkampanyekan lingkungan lewat seni, ia berharap agar wilayah hutan bersih, lestari, tanpa sampah dan nantinya bisa diwariskan ke anak cucu. “Tentunya masyarakat tumbuh kesadaran untuk hidup bersih, menjaga hutan dan membuang sampah tidak ke sungai atau laut,”tukasnya.