Saya batalkan naik ferry. Tanggal 14 sudah harus di Liverpool. Terlalu banyak acara di Edinburgh. Akhirnya saya harus naik pesawat ke Belfast, ibu kota Irlandia Utara.
Tapi –selama di Edinburgh– saya masih sempat ke St Andrews. Padang golf kebanggaan Robert Lai itu. Saya juga sempat ke Rosslyn Chapel. Yang digambarkan begitu misterius oleh novelis Dan Brown itu.
Lewat Da Vinci Code yang menghebohkan itu. Bahkan saya sempatkan ke enam jejak Harry Potter. Demi si cucu Icha Iskan. Dengan jalan kaki. Dikuat-kuatkan.
Meski jalannya naik-turun. Meski makan malamnya harus sambil berjalan: Pret A Manger –yang edisi tuna sandwich. Saya juga masih sempat ke Glasgow, kota terbesar di Skotlandia.
Kebetulan masih sempat. Hari itu tidak ada lagi pesawat sore. Dari Edinburgh ke Belfast. Yang ada dari Glasgow. Saya pun cari cara ke Glasgow.
Ternyata mudah. Bisa naik kereta. Bisa juga naik bus. Hanya satu jam perjalanan. Saya putuskan untuk ke stanplat bus. Jalan kaki. Hanya 15 menit dari hotel saya. Hanya seperti jalan-jalan di dalam Disneyland.
Kanan-kiri-muka-belakang seperti kastil semua. Tidak perlu pula takut kehabisan karcis. Juga tidak perlu khawatir kepancal bus –tiap 10 menit ada bus jurusan Glasgow.
Wow. Tiba di Glasgow masih ada waktu 1,5 jam. Saya masih bisa jalan-jalan di pusat kota Glasgow. Jalan cepat. Semua gedung hanya bisa saya lihat sesapuan.
Kebetulan pula stanplat busnya di pusat kota. Pun dari stanplat itu akan ada bus ekspres jurusan bandara Glasgow. Tidak usah buru-buru. Hanya 20 menit perjalanan.
Menit demi menit pun saya hitung. Lumayan. Di Glasgow saya masih sempat menyapu gedung konser, Georges Square dan beli tuna sandwich Pret A Manger.
Untuk makan malam berikutnya –di atas pesawat. Yang saya tidak sempat adalah xiao pian –pipis. Sebenarnya ada kakus di dekat pemberangkatan bus ke bandara itu.
Ternyata harus bayar: 30 pences. Sekitar Rp 50 ribu. Saya tidak protes mahalnya. Hanya lagi tidak punya koin. Ada sih mesin penukar koin. Yang dipepetkan di dekat kakus itu. Tapi waktu sudah lebih mepet.
Toh penerbangan nanti hanya bak Surabaya – Denpasar. Bisa pipis di Belfast saja –kalau pun jam boardingnya nanti sudah mepet. Tiba di Belfast hari sudah gelap –juga karena langit lagi mendung.
Hujan rinai pula. Saya putuskan untuk nyetir mobil sendiri saja –sewa Alamo di dekat bandara Belfast. Itu akan lebih praktis. Besoknya saya harus ke luar kota.
Ke perbatasan antara Irlandia Utara (Inggris) dan Republik Irlandia (Uni Eropa). Pengaturan perbatasan itulah persoalan utama sulitnya Brexit sekarang ini.
Dengan nyetir sendiri bisa lebih fleksibel. Toh –seperti juga di Amerika– SIM Indonesia laku di Inggris. Kebetulan sama-sama setir kanan –di lajur kiri.
Di antara empat anggota Inggris Raya (United Kingdom), Irlandia Utara paling unik. England (Inggris) adalah yang paling dominan. Punya bendera sendiri.
Wales (ibu kotanya Cardiff), punya bendera sendiri. Skotlandia (ibu kotanya Edinburgh) paling beda: punya bahasa, budaya, bendera, dan lagu nasional sendiri.
Irlandia Utara tidak punya bendera. Statusnya pun rancu: sebutannya macam-macam. Ada yang menyebut provinsi. Eh, bukan. Negara bagian, bukan.
Ada yang menulis wilayah. Siapa peduli. Ada pula yang bilang country. Belum ada standar penulisan Irlandia Utara itu disebut apa. Tokoh nasionalis setempat punya sebutan sendiri: The six counties.
Atau yang lebih asli: Ulster. Irlandia Utara memang yang paling muda di antara empat itu. Wilayah ini dulunya kosong. Ada suku asli tapi sedikit.
Suku Ulster itu. Yang beragama Katolik. Orang-orang Skotlandia-lah yang kemudian banyak datang ke Ulster. Pengaruh budaya Scotland pun sangat kuat.
Belakangan lebih banyak lagi orang Inggris bermigrasi ke Ulster. Beragama Kristen. Maksudnya: Protestan. Wilayah Irlandia Utara hanya sekitar 1/5 pulau Irlandia.
Yang 4/5 menjadi negara sendiri: Republik Irlandia. Hasil jajak pendapat bulan lalu masih sama: 55 persen orang Irlandia Utara memilih bergabung dengan Republik Irlandia.
Daripada Inggris keluar dari Uni Eropa. Tidak ada niat untuk merdeka sendiri. Tapi tidak ada juga rencana referendum. Ekonomi Irlandia Utara sudah berkembang.
Sejak perang sipil berakhir. Perang selama 40 tahun. Perang antara Katolik dan Protestan. Yang kecampuran politik dan lain-lain tadi. Brexit membuat Irlandia Utara waswas. Sensitivitas lama bisa muncul lagi. Di Belfast saya mendapat hotel di pusat kota. Di depan gereja tua. Hotel ini tidak punya tempat parkir.
“Ada gedung parkir. Tiga blok dari sini,” ujar petugas hotel. Saya pun parkir di situ. Ongkos parkirnya: 20 pound. Sekitar Rp 300.000. Ya sudah.
Masih lebih murah dari parkir di Washington DC tiga bulan lalu. Yang Rp 700.000 itu. Saya bisa tidur nyenyak malam itu. Malam yang hujan tidak ada tidurnya.
Mungkin hati saya tenang. Ada subway di depan hotel. Pagi-pagi –sambil berjalan ke gedung parkir– bisa beli tuna sandwich di situ. Bisa sarapan sambil nyetir ke perbatasan. Hemat segalanya.(Dahlan Iskan)