JEMBRANA – Sesekali bukalah channel YouTube atau Google dan ketik kata kunci “orang sederhana yang sukses”.
Di sana terselip kisah perjuangan hidup I Wayan Dendra. Setamat SMP, dengan tekad bulat untuk belajar hidup mandiri,
putra pertama dari tiga bersaudara pasangan almarhum I Nengah Sateng dan Ni Nyoman Teke ini merantau ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di bangku SMA.
Bukan menumpang hidup pada keluarga jauh, melainkan memilih hidup sebatang kara. Dari sinilah, kisah pria kelahiran Desa Asahduren, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana ini dimulai.
Ragam pengalaman hidup dan solusi ditimbanya untuk meraih sukses. Banyak profesi yang digelutinya demi biaya sekolah.
Sopir truk cadangan hingga kernet dilakoni sepulang sekolah. Selain untuk makan sehari-hari, gaji harian yang diterima sebagian ditabung.
Selepas SMA tahun 1979, Dendra hijrah ke Jogjakarta. Sambil mengadu nasib dia melanjutkan pendidikan di Universitas Atmajaya, Jogjakarta.
Lulus dan menyandang gelar sarjana muda tahun 1983, Dendra memilih ke Jakarta. Tantangan demi tantangan kembali membelitnya di ibu kota.
Tuntutan hidup memaksanya jadi calo penumpang di terminal, sopir angkutan kota, juga sopir pribadi. Semua dilakoni asalkan halal dan tak melanggar hukum.
Gemblengan hidup dijalani di Jakarta hingga 1989. Kembali ke Surabaya, hidup Dendra beranjak lebih baik. Pria berpenampilan sederhana kelahiran 15 Maret 1960 ini bekerja di beberapa perusahaan.
Posisi manajer personalia di sebuah perusahaan farmasi pernah dia emban. Berbekal kedudukan struktural inilah akhirnya Dendra “bersentuhan” dengan karyawan.
Seluk beluk dunia perburuhan dia pelajari. Mendapat kesempatan menyalurkan hobi berorganisasi yang disukainya sejak kanak-kanak, Dendra pun dipercaya sebagai Ketua Forum Manajer Personalia.
Selain itu, dia juga sempat aktif di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) – SPTI (Serikat Pekerja Transport Indonesia).
Menjadi “penyambung lidah” para pekerja ternyata membuatnya batinnya bergejolak. Ketidakadilan yang dialami buruh (pekerja) membuatnya tak nyaman.
Tahun 2000 Wayan Dendra memutuskan menanggalkan jabatan sekaligus berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia memilih berwirausaha.
“Di Jakarta saya pernah jadi administrasi di sebuah perguruan tinggi sebelum akhirnya hijrah ke Surabaya. Sekitar tahun 2000 kembali keluar dari pekerjaan.
Kalau pulang (ke Bali, red) mau jadi apa saya? Karena modal tidak punya akhirnya jadilah saya pemulung,” ungkap I Wayan Dendra, Kamis (13/12) kemarin.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, Dendra yang kini berstatus Caleg DPRD Bali nomor urut 1 dari Partai NasDem mengaku memulung dengan cara berbeda.
Bukan dari sudut jalan ke jalan lainnya, melainkan dari perusahaan ke perusahaan. “Pertama dapat untung 40 ribu. Suka sekali saya. Senang sekali saya sampai nangis. Inilah profesi saya yang sebenarnya hingga saat ini,” terangnya.
Menariknya, profesi memulung sampah plastik dan kardus inilah yang akhirnya mengantarkan pria bernama lengkap I Wayan Dendra, S.H.,M.H. menjadi wakil rakyat di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur tahun 2009-2014.
Dendra mengemban tugas sebagai Wakil Ketua Komisi C, yakni Bidang Pembangunan. Mengurusi perencanaan dan tata ruang, penelitian dan pengembangan, pembangunan,
pekerjaan umum, pertamanan dan kebersihan, lingkungan hidup pemukiman dan prasarana wilayah, pariwisata, pos dan telekomunikasi, perhubungan dan transportasi, serta pertambangan dan energi.
“Saya seorang pemulung. Profesi anggota dewan adalah sebuah amanah yang diberikan oleh saudara-saudara saya dan rakyat Sidoarjo yang percaya pada komitmen saya
untuk memperjuangkan hak-hak mereka,” tandas Dendra yang mengaku “kaget” lantaran DPW NasDem Bali tak meminta mahar sepeser pun terkait langkahnya bertarung memperebutkan kursi DPRD Bali.
Mengemban tugas sebagai wakil rakyat, Wayan Dendra tetap melakoni profesi sebagai pemulung.
Politisi yang dikenal paling nakal sewaktu duduk di bangku sekolah dasar ini sama sekali tak risih atau malu bergelut dengan sampah.
Di sela-sela kegiatannya sebagai wakil rakyat, Dendra masih sering berkeliling Sidoarjo dengan sepeda motor untuk mencari sampah dan rongsokan, tepatnya di perusahaan-perusahaan besar di Surabaya.
Dendra mengaku tak pernah menunjukkan posisinya sebagai wakil rakyat. Karena itulah dibentak satpam menjadi hal biasa baginya.
“Saya dicurigai dan diusir. Sering. Dan tidak masalah karena risiko dari pekerjaan,” tandasnya sembari berkata tak ingin posisi sebagai wakil rakyat menjadi alat untuk menakut-nakuti rakyat kecil.
Kini, di usia ke-58, Dendra masih sibuk ngurus sampah. Namun, hanya bermodal handphone. Saat ditemui, pria yang tak pernah lepas dari udeng batik itu memonitor laporan hasil penjualan sampah beberapa tempat usahanya di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Tak ingin jadi pemulung biasa, Dendra membentuk rantai jaringan dengan para relasinya di Sidoarjo, Surabaya, Pasuruan, dan Bandung.
Jumlah yang relatif besar membuatnya bisa langsung nyetor ke pabrik sesuai dengan standarisasi sampah yang ditetapkan.
Modal ulet dan semangat tentu saja membuat penghasilan Dendra tak lagi sebesar Rp 40 ribu per hari.
Dengan nada merendah, Dendra berkata omzet yang dia peroleh setiap hari cukup untuk mencukupi kebutuhan istri dan lima orang anaknya.
“Orang tua saya hanya tamatan sekolah rakyat kelas tiga. Tak bisa berbuat banyak untuk mencukupi pendidikan anak-anaknya.
Mereka ingin kami sekolah agar tidak bernasib sama. Karena itu, saya serius dan fokus belajar mengajar,” kenang pria yang berperan dalam pendirian sejumlah pura di Provinsi Jawa Timur itu.
Menariknya, ditanyai seputar sepak terjang sebagai legislator di Sidoarjo, Dendra mengaku takut membawa nama I Wayan. “Selama jadi anggota dewan di Sidoarjo, saya lurus-lurus saja,” bebernya. (rba)