26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:35 AM WIB

Kita Perlu Hidup Normal Lagi

Saya tidak mengalami kesulitan hidup dengan protokol Covid-19. Alhamdulillah. Tukang kebun tinggal di rumah. Sudah lebih 20 tahun. Sopir pun tinggal di rumah –yang sebenarnya sudah lebih mirip sekretaris keluarga. 

Saya membayangkan sulitnya teman yang sopirnya tiap hari pulang. Yang di rumahnya tidak tahu ketemu siapa saja. Atau pergi ke mana saja.

Di rumah saya hampir sepenuhnya terkontrol. Hanya ada empat orang itu: saya, istri, Pak Man, dan Kang Sahidin itu.

Kami memang sesekali keluar rumah. Tapi dengan mobil yang sama. Yang tidak ada orang lain pernah ikut naik di mobil itu.

Ups… Pernah. Staf keuangan di perusahaan putri saya pernah ikut di mobil itu. Seminggu kemudian saya dengar ibunyi terkena Covid-19. Demikian juga ayahnyi.

Kami pun heboh –diam-diam.

Kami putuskan: mengarantina diri selama 10 hari –karena kejadiannya sudah seminggu sebelumnya. Karantina ketat. Sambil tiap hari merasakan apakah ada gejala Covid di antara kami. Demikian juga keluarga putri saya. Dan keluarga putra saya. Semua melakukan karantina dengan waswas yang tidak diperlihatkan.

Sambil menunggu nasib itu kami memperbaiki menu. Tiap pagi makan telur. Dua butir. Waktu itu belum puasa. Minum madu. Minum vitamin. Minum VCO –Virgin Coconut Oil. Makan pisang pagi sore. Makan manggis. Pepaya. Brokoli. Sayur-sayuran. Tidur dan tidur.

Tentu tetap menulis untuk DI’s Way.

Saya pun bertanya pada staf keuangan itu. Bapaknyi kerja di mana? Ibunyi kerja apa? Dia sendiri tinggal di mana. 

Benar. Dia tinggal bersama bapak ibunyi. Gawat. 

Ibunyi ibu rumah tangga. Ok.

Ayahnyi kerja di Jakarta. Gawat.

Tiap Jumat sore pulang ke Surabaya. Gawat.

Naik kereta api. Gawat.

Tahulah sudah kami, kira-kira apa yang terjadi.

Ayah ibunyi masuk di rumah sakit yang sama: Husada Utama. Dengan keluhan yang sama –khas Covid.

Dia sendiri karantina di rumah –di lantai atas. Adiknyi karantina di rumah yang sama –di lantai bawah. Mereka tidak menengok ayah-ibu. Tidak boleh.

Setelah lebih 10 hari di rumah sakit sang ayah sembuh. Sudah dinyatakan negatif. Sang ibu masih positif. Beberapa hari kemudian sang ibu juga sembuh. Negatif.

Seisi rumahnyi pun negatif. Kami tetap sehat sampai masa karantina selesai.

Kami ikut menarik nafas lega. Sampai 20 hari kemudian tetap juga sehat. Alhamdulillah.

Memang anak-anak saya berbeda pendapat. Setelah menerima info Covid di keluarga staf keuangan itu. Yang satu mengusulkan agar kami ramai-ramai tes. Yang satu berpendapat tidak usah –karantina saja. Kami diskusi panjang lewat WA. Putusan akhirnya bulat: karantina saja.

Waktu itu tes juga belum semudah sekarang.

Setelah masa karantina selesai cucu-cucu pun menjadi boleh ke rumah.

Khususnya tiap Sabtu sampai Minggu.

Ketika memasuki bulan Ramadan, kebiasaan berprotokol Covid sudah melekat. Kami merasa hidup normal –normal baru.

Tiap pagi tetap olahraga –olahraga Covid: pakai masker, cari yang bersinar matahari, dan jaga jarak. Termasuk di bulan puasa.

”Kok puasa-puasa olahraga satu jam?” tanya beberapa teman.

Jawab saya sama: saya ingat ayah saya. Yang di bulan puasa pun tetap ke sawah. Mencangkul. Sejak jam 6 sampai jam 10 pagi. Di bawah terik matahari. Dengan punggung telanjang.

Saya juga ingat waktu ayah pulang. Sambil memanggul cangkul di pundaknya. Betapa ayah saya itu terlihat lelah, haus, dan lapar. Lalu menggelar tikar di atas lantai –lantai rumah kami terbuat dari tanah.

Ayah pun tidur telentang di atas tikar itu. Tetap dengan celana ke sawah sampai di bawah lutut. Tanpa baju. 

Saya lihat perutnya begitu kempes. Kulit perutnya seperti menempel di bagian dalam punggungnya. Begitu lelap tidurnya. Dengan kaki dan celana yang masih belepotan lumpur kering.

Ayah bangun ketika waktu zuhur tiba. Saat itulah baru cuci kaki. Lalu ganti celana dengan sarung. Ambil air wudu. Untuk salat zuhur.

Ayah lantas mengaji sampai asar tiba. Setelah salat asar ayah bersih-bersih pekarangan. Atau memperdalam parit dengan cangkul.

Olahraga saya di bulan puasa ini tidak ada artinya dibanding kerja keras ayah saya itu.

Setelah cucu-cucu boleh ke rumah, saya pun berpikir. Apa yang bisa saya lakukan dengan cucu-cucu itu.

Saya tawarkan untuk mengajari mereka Bahasa Mandarin. Mereka mau. Tentu kemampuan Bahasa Mandarin saya belum level untuk boleh mengajar. Tapi ini kan darurat.

Maka setiap jam 14.00 saya menjadi guru Mandarin untuk cucu-cucu saya. Selama 1,5 jam. Kurikulumnya saya sendiri yang menentukan. Bisa lebih tepat guna.

Ternyata yang tiga orang sudah mendapat pelajaran Bahasa Mandarin di Sekolah Ciputra. Saya tes asal-asalan, sudah tahu bahasa itu untuk tingkat dasar. Maka yang tiga orang lagi saja yang ikut pelajaran saya. Yakni mereka yang sekolahnya di Al Azhar International Surabaya.

Rumah saya menjadi seperti tempat kursus.

Di rumah kami tidak ada pembantu. Istri saya yang jadi pembantu. Mungkin pembantu termahal gajinya. Cuci pakaian, masak, belanja, dan menata rumah dia semua yang melakukan.

Itu sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Sudah biasa sibuk. Mungkin karena kami kawin dulu masih belum bisa membayar pembantu. Mungkin juga karena dia anak sulung dengan adik 11 orang.

Hanya sesekali Kang Sahidin masak sendiri –kalau ia lagi kangen masakan Sunda.

Salat tarawih pun kami berempat. Kang Sahidin yang jadi imam. Sabtu malam makmumnya lebih banyak: ke tambahan cucu saya, 6 orang.

Lebaran nanti kami sudah memutuskan: salat Idul Fitri di halaman rumah. Anak-cucu-menantu ikut serta. Kang Sahidin imamnya –saya yang akan khotbah.

Rasanya kami mulai merasa hidup normal. Istri saya tetap ke pasar tradisional. Dengan prosedur Covid. Pakai masker. Belanjanyi pakai uang pas. Tidak perlu berisiko menerima uang kembalian. Kalau uangnya lebih dia minta barangnya saja yang ditambah. Atau untuk deposito belanja berikutnya.

Awalnya memang kagok, kata istri saya. ”Ke pasar kok seperti musuhan dengan pedagang,” katanyi. Tapi sekarang sudah biasa.

Rasanya, setelah lebaran, kami siap untuk mulai hidup normal –normal baru itu.

Di Tiongkok hidup-normal-baru sudah berjalan normal. Saya hubungi teman-teman saya di sana. Kota-kota besar sudah benar-benar nyaris normal-baru. Semua sudah hidup lagi –kecuali bioskop, panti pijat, dan night club.

Memang tiba-tiba ditemukan penderita baru di Kota Wuhan. Lima orang. Umur di atas 70 tahun. Salah satunya 84 tahun.

Mereka itu saling bertetangga di sebuah perumahan kelas bawah. Salah satunya sering keluar rumah tanpa masker. Tertular oleh orang yang positif tapi seperti tidak sakit.

Camat dan seluruh pejabat di kecamatan itu dipecat. Karena ada warganya yang keluar rumah tanpa masker.

Sejak peristiwa minggu lalu itu tidak ada lagi ditemukan penderita baru di Wuhan. Yang ada di kota dekat perbatasan Rusia. Kota Jilin itu langsung di-lockdown. Yang boleh keluar kota adalah yang sudah dites negatif. 

Trend dunia sepertinya memang itu: siap untuk hidup normal lagi –normal baru.

Saya juga mau kembali makan di restoran. Kalau restoran itu menerapkan normal-baru. Misalnya, meja lebih jarang. Mungkin perlu ada meja yang disekat kaca bening dan tipis. Agar kita bisa makan bersama dengan kaca pemisah. Lalu ada sistem suara, yang kalau saya bicara, teman di seberang kaca bisa mendengar. Dan sebaliknya. Kalau yang makan empat orang, ditambah kaca satu lagi melintang. 

Empat orang itu bisa makan bersama, saling melihat, saling bicara, tapi terpisah oleh kaca bening nan tipis.

Teknologi bisa mengatasi itu.

Makan bersama secara normal-baru. (Dahlan Iskan)

Saya tidak mengalami kesulitan hidup dengan protokol Covid-19. Alhamdulillah. Tukang kebun tinggal di rumah. Sudah lebih 20 tahun. Sopir pun tinggal di rumah –yang sebenarnya sudah lebih mirip sekretaris keluarga. 

Saya membayangkan sulitnya teman yang sopirnya tiap hari pulang. Yang di rumahnya tidak tahu ketemu siapa saja. Atau pergi ke mana saja.

Di rumah saya hampir sepenuhnya terkontrol. Hanya ada empat orang itu: saya, istri, Pak Man, dan Kang Sahidin itu.

Kami memang sesekali keluar rumah. Tapi dengan mobil yang sama. Yang tidak ada orang lain pernah ikut naik di mobil itu.

Ups… Pernah. Staf keuangan di perusahaan putri saya pernah ikut di mobil itu. Seminggu kemudian saya dengar ibunyi terkena Covid-19. Demikian juga ayahnyi.

Kami pun heboh –diam-diam.

Kami putuskan: mengarantina diri selama 10 hari –karena kejadiannya sudah seminggu sebelumnya. Karantina ketat. Sambil tiap hari merasakan apakah ada gejala Covid di antara kami. Demikian juga keluarga putri saya. Dan keluarga putra saya. Semua melakukan karantina dengan waswas yang tidak diperlihatkan.

Sambil menunggu nasib itu kami memperbaiki menu. Tiap pagi makan telur. Dua butir. Waktu itu belum puasa. Minum madu. Minum vitamin. Minum VCO –Virgin Coconut Oil. Makan pisang pagi sore. Makan manggis. Pepaya. Brokoli. Sayur-sayuran. Tidur dan tidur.

Tentu tetap menulis untuk DI’s Way.

Saya pun bertanya pada staf keuangan itu. Bapaknyi kerja di mana? Ibunyi kerja apa? Dia sendiri tinggal di mana. 

Benar. Dia tinggal bersama bapak ibunyi. Gawat. 

Ibunyi ibu rumah tangga. Ok.

Ayahnyi kerja di Jakarta. Gawat.

Tiap Jumat sore pulang ke Surabaya. Gawat.

Naik kereta api. Gawat.

Tahulah sudah kami, kira-kira apa yang terjadi.

Ayah ibunyi masuk di rumah sakit yang sama: Husada Utama. Dengan keluhan yang sama –khas Covid.

Dia sendiri karantina di rumah –di lantai atas. Adiknyi karantina di rumah yang sama –di lantai bawah. Mereka tidak menengok ayah-ibu. Tidak boleh.

Setelah lebih 10 hari di rumah sakit sang ayah sembuh. Sudah dinyatakan negatif. Sang ibu masih positif. Beberapa hari kemudian sang ibu juga sembuh. Negatif.

Seisi rumahnyi pun negatif. Kami tetap sehat sampai masa karantina selesai.

Kami ikut menarik nafas lega. Sampai 20 hari kemudian tetap juga sehat. Alhamdulillah.

Memang anak-anak saya berbeda pendapat. Setelah menerima info Covid di keluarga staf keuangan itu. Yang satu mengusulkan agar kami ramai-ramai tes. Yang satu berpendapat tidak usah –karantina saja. Kami diskusi panjang lewat WA. Putusan akhirnya bulat: karantina saja.

Waktu itu tes juga belum semudah sekarang.

Setelah masa karantina selesai cucu-cucu pun menjadi boleh ke rumah.

Khususnya tiap Sabtu sampai Minggu.

Ketika memasuki bulan Ramadan, kebiasaan berprotokol Covid sudah melekat. Kami merasa hidup normal –normal baru.

Tiap pagi tetap olahraga –olahraga Covid: pakai masker, cari yang bersinar matahari, dan jaga jarak. Termasuk di bulan puasa.

”Kok puasa-puasa olahraga satu jam?” tanya beberapa teman.

Jawab saya sama: saya ingat ayah saya. Yang di bulan puasa pun tetap ke sawah. Mencangkul. Sejak jam 6 sampai jam 10 pagi. Di bawah terik matahari. Dengan punggung telanjang.

Saya juga ingat waktu ayah pulang. Sambil memanggul cangkul di pundaknya. Betapa ayah saya itu terlihat lelah, haus, dan lapar. Lalu menggelar tikar di atas lantai –lantai rumah kami terbuat dari tanah.

Ayah pun tidur telentang di atas tikar itu. Tetap dengan celana ke sawah sampai di bawah lutut. Tanpa baju. 

Saya lihat perutnya begitu kempes. Kulit perutnya seperti menempel di bagian dalam punggungnya. Begitu lelap tidurnya. Dengan kaki dan celana yang masih belepotan lumpur kering.

Ayah bangun ketika waktu zuhur tiba. Saat itulah baru cuci kaki. Lalu ganti celana dengan sarung. Ambil air wudu. Untuk salat zuhur.

Ayah lantas mengaji sampai asar tiba. Setelah salat asar ayah bersih-bersih pekarangan. Atau memperdalam parit dengan cangkul.

Olahraga saya di bulan puasa ini tidak ada artinya dibanding kerja keras ayah saya itu.

Setelah cucu-cucu boleh ke rumah, saya pun berpikir. Apa yang bisa saya lakukan dengan cucu-cucu itu.

Saya tawarkan untuk mengajari mereka Bahasa Mandarin. Mereka mau. Tentu kemampuan Bahasa Mandarin saya belum level untuk boleh mengajar. Tapi ini kan darurat.

Maka setiap jam 14.00 saya menjadi guru Mandarin untuk cucu-cucu saya. Selama 1,5 jam. Kurikulumnya saya sendiri yang menentukan. Bisa lebih tepat guna.

Ternyata yang tiga orang sudah mendapat pelajaran Bahasa Mandarin di Sekolah Ciputra. Saya tes asal-asalan, sudah tahu bahasa itu untuk tingkat dasar. Maka yang tiga orang lagi saja yang ikut pelajaran saya. Yakni mereka yang sekolahnya di Al Azhar International Surabaya.

Rumah saya menjadi seperti tempat kursus.

Di rumah kami tidak ada pembantu. Istri saya yang jadi pembantu. Mungkin pembantu termahal gajinya. Cuci pakaian, masak, belanja, dan menata rumah dia semua yang melakukan.

Itu sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Sudah biasa sibuk. Mungkin karena kami kawin dulu masih belum bisa membayar pembantu. Mungkin juga karena dia anak sulung dengan adik 11 orang.

Hanya sesekali Kang Sahidin masak sendiri –kalau ia lagi kangen masakan Sunda.

Salat tarawih pun kami berempat. Kang Sahidin yang jadi imam. Sabtu malam makmumnya lebih banyak: ke tambahan cucu saya, 6 orang.

Lebaran nanti kami sudah memutuskan: salat Idul Fitri di halaman rumah. Anak-cucu-menantu ikut serta. Kang Sahidin imamnya –saya yang akan khotbah.

Rasanya kami mulai merasa hidup normal. Istri saya tetap ke pasar tradisional. Dengan prosedur Covid. Pakai masker. Belanjanyi pakai uang pas. Tidak perlu berisiko menerima uang kembalian. Kalau uangnya lebih dia minta barangnya saja yang ditambah. Atau untuk deposito belanja berikutnya.

Awalnya memang kagok, kata istri saya. ”Ke pasar kok seperti musuhan dengan pedagang,” katanyi. Tapi sekarang sudah biasa.

Rasanya, setelah lebaran, kami siap untuk mulai hidup normal –normal baru itu.

Di Tiongkok hidup-normal-baru sudah berjalan normal. Saya hubungi teman-teman saya di sana. Kota-kota besar sudah benar-benar nyaris normal-baru. Semua sudah hidup lagi –kecuali bioskop, panti pijat, dan night club.

Memang tiba-tiba ditemukan penderita baru di Kota Wuhan. Lima orang. Umur di atas 70 tahun. Salah satunya 84 tahun.

Mereka itu saling bertetangga di sebuah perumahan kelas bawah. Salah satunya sering keluar rumah tanpa masker. Tertular oleh orang yang positif tapi seperti tidak sakit.

Camat dan seluruh pejabat di kecamatan itu dipecat. Karena ada warganya yang keluar rumah tanpa masker.

Sejak peristiwa minggu lalu itu tidak ada lagi ditemukan penderita baru di Wuhan. Yang ada di kota dekat perbatasan Rusia. Kota Jilin itu langsung di-lockdown. Yang boleh keluar kota adalah yang sudah dites negatif. 

Trend dunia sepertinya memang itu: siap untuk hidup normal lagi –normal baru.

Saya juga mau kembali makan di restoran. Kalau restoran itu menerapkan normal-baru. Misalnya, meja lebih jarang. Mungkin perlu ada meja yang disekat kaca bening dan tipis. Agar kita bisa makan bersama dengan kaca pemisah. Lalu ada sistem suara, yang kalau saya bicara, teman di seberang kaca bisa mendengar. Dan sebaliknya. Kalau yang makan empat orang, ditambah kaca satu lagi melintang. 

Empat orang itu bisa makan bersama, saling melihat, saling bicara, tapi terpisah oleh kaca bening nan tipis.

Teknologi bisa mengatasi itu.

Makan bersama secara normal-baru. (Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/