Belakangan ini keberadaan kain endek produksi Jepara, Jawa Tengah, yang jadi ikon Kota Denpasar sempat jadi sorotan sejumlah kalangan.
Motif endek dikhawatirkan dijiplak, diproduksi masal dan dikembangkan di Jepara. Tapi, ternyata hubungan Buleleng dengan Jepara sudah terjalin ratusan tahun silam.
Berikut penelusuran Wartawan Jawa Pos Radar Bali HARI PUSPITA dari Jepara, Jawa Tengah.
SORE hari, Rabu lalu (17/12/2014), sekitar dua jam, menjelang waktu salat Magrib, Jawa Pos Radar Bali tiba di Desa Singorojo, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Suasana tampak lengang. Hanya ada tiga orang peziarah yang khusyuk berdoa di pemakaman tua itu. Sebuah pemakaman yang terkesan istimewa.
Karena di sebelahnya ada musala. Sedangkan di bagian depan ada sejumlah batu nisan ukuran biasa. Kecil-kecil.
Yang bagian depan itu adalah makam para sahabat atau pengikut Mbah Datuk. Begitu sebutan untuknya.
Mereka tak saling hirau antara satu dengan lainnya. Karena masing-masing membaca surat Yasin dengan Al-Quran di tangan.
Atau buku Surat Yasin kecil, ukuran buku saku. Jawa Pos Radar Bali ditemani warga setempat, Fathurahman,42, pun berdoa di situ. Di depan makam Mbah Datuk Singorojo.
Sesaat kemudian, setelah selesai berdoa, memotret pemakaman, Jawa Pos Radar Bali ini baru disapa pengurus makam. Dia biasa dipanggil Mbah Fauzan.
Usianya 74 tahun. Pria kurus dengan rambut memutih ini mengaku setiap hari selalu datang ke makam, berdoa dan bersih-bersih.
Bagi warga Singorojo ini, mendoakan mendiang dan membersihkan makam adalah merupakan dharma baktinya untuk tetua desa tersebut.
Apakah ini memang makam Mbah Datuk Singorojo dari Bali ? “Inggih, inggih. Niki makam Mbah Datuk Singorojo, saking mBali. (Iya, iya. Ini makam Mbah Datuk Singorojo, dari Bali ),” jawabnya, dalam Bahasa Jawa halus, mengiyakan.
Sosok yang diyakini sebagai cikal bakal desa dan diabadikan jadi nama desa di Mayong, Jepara, itu adalah Mbah Datuk Singorojo.
Nama desanya juga Singorojo (sesuai penyebutan ala lidah Jawa, Singorojo, bukan Singaraja). Sebuah desa yang cukup tua. Sudah ada sejak ratusan tahun silam.
Lelaki yang semula tampak kusyuk bertadarus (membaca Quran) ini ternyata asyik juga diajak ngobrol. Dia sudah mengaku berpuluh tahun mengurus makam tersebut.
“Sudah sejak kecil mengurus makam ini,” tuturnya. Tempat peristirahatan terakhir sebelum menghadap Sang Khalik itu dibangun menyerupai rumah.
Dari keterangan yang berziarah di situ mengatakan bahwa yang berziarah atau berdoa untuk mendiang setiap hari selalu ada saja. Tentunya juga bermacam-macam keperluannya.
Dari sekadar mendoakan hingga berharap dapat berkah. Makam itu sangat ramai dikunjungi peziarah di saat bulan Asyura atau bulan Muharram.
Orang Jawa biasa menyebutnya dengan bulan Suro. “Tepatnya pada Jumat Wage,” jelasnya. Yang datang ribuan, tumpah ruah berdoa.
Yang berdatangan untuk ritual mendoakan arwahnya terutama adalah warga dari Desa Singorojo, Kecamaatan Mayong, Desa Troso Pecangaan dan Desa Kerso, Desa Sukosono Kecamatan Kedung.
Ini karena di wilayah itu dia dikenal sebagai pemimpin umat. Maklum, dia adalah sosok yang sangat berpengaruh di tiga kecamatan di Jepara.
Yakni kecamatan Mayong, Kecamatan Pecangaan dan Kecamatan Kedung. Banyak pengikutnya dari ketiga kecamatan tersebut pada era ratusan tahun lampau.
Bahkan, pengaruhnya hingga ke luar Jepara. Seperti ke Kudus, yang berbatasan dengan Jepara. Jawa Pos Radar Bali masih belum percaya begitu saja dengan cerita tentang ulama dari pantai utara Bali itu.
Keterangan dari sumber-sumber lain yang terkait dengan tokoh kharismatis yang diyakini hidup setelah era kerajaan Islam Demak, sekitar akhir tahun 1500-an hingga tahun 1600-an Masehi itu terus berlanjut.
Dengan bertanya kepada sejumlah narasumber, jejak peninggalan, juga mengecek kepada sejumlah warga di Troso, Pecangaan.
Meski terus terang akurasi kejadiannya belum pasti, tapi setidaknya sejumlah jejak masa lampau memang masih ada dan terasa.
Di Troso misalnya, keterangan yang didapat pun serupa. Bahwa mendiang adalah tokoh yang datang dari Bali.
Tepatnya dari wilayah utara Pulau Dewata, Buleleng, Singaraja. Dan, diyakini sebagai orang yang mulai mengembangkan kerajinan tenun di wilayah Jawa Tengah ujung utara itu.
Versi kedatangan pun beragam. Ada versi legenda menyebutkan bahwa Datuk Singorojo datang dari Bali dengan naik layangan besar dari Bali dan jatuh di kawasan Pantai Teluk Awur, Jepara.
Ada juga cerita datangnya naik gentong, bersama saudara kembarnya, Ida Gurnada. Tapi Gurnada balik lagi ke Bali .
“Kami dari desa Troso, kalau waktu haul (peringatan meninggalnya) Mbah Singorojo selalu ke sana. Ke Singorojo (Mayong),” ujar Ihran Fais, Ketua Asosiasi Tenun dan Tekstil Konveksi Jepara (Astika).
Pun begitu pula keterangan Kastari, 60, salah seorang marbot atau pengurus masjid Mbah Datuk Ampel, Pecangaan.
Dia menuturkan bahwa Mbah Datuk adalah seorang waliyullah, seorang wali, setelah era Wali Songo yang jadi panutan pada ratusan tahun silam.
“Beliau itu ya wali yang menyebarkan Islam di sini dan katanya juga yang mengajari membuat kain tenun. Meski makamnya di Singorojo,” tuturnya. [*]