Kondisi yang serba sulit saat ini tidak membuat seorang ibu rumah tangga (IRT) di Desa Anturan, Buleleng, patah semangat untuk mengais rezeki.
Memanfaatkan hasil tanaman di desa seperti talas, pisang, dan ketela, Luh Wiriadi mengolahnya menjadi berbagai macam produk camilan ringan.
JULIADI, Singaraja
GANG berukuran 2 meter berjarak sekitar 25 meter dari sebelah selatan Kantor Desa Anturan menuju rumah Luh Wiriadi.
Ibu rumah tangan (IRT) mantan pekerja pariwisata kini sudah banting setir sebagai pengusaha camilan ringan yang produk hasil makanan sudah masuk ke supermarket, toko-toko modern dan pusat oleh-oleh makanan khas Bali.
Berkunjung ke lokasi usaha di kediamannnya di Banjar Dinas Pasar, Desa Anturan, perempuan berusia 49 tahun tersebut tampak berada didapur rumahnya.
Ada dua karyawan yang diajak untuk ikut bekerja membuat camilan. Kesibukan membuat camilan dari bahan talas (keladi), pisang dan singkong hampir terjadi setiap pagi.
Mulai mengupas bahan pisang, talas (keladi) dan singkong, mengiris hingga mengemas packing dan siap didistribusikan.
“Mengawali usaha UMKM camilan ringan skala rumah sejak tahun 2016, itu pun baru beroperasi setelah ada izin edar keluar untuk bisa dipasarkan di toko-toko,” ungkap Luh Wiriadi.
Tidak mudah memang merintis usaha UMKM hingga bisa mencapai omzet jutaan rupiah setiap bulannya seperti saat ini.
Sebelum menekuni bisnis ini, Wiriadi adalah seorang pekerja pariwisata yang biasanya mengurus penjualan tiket pariwisata, pesawat, kereta api, dan bus.
“Semua saya hentikan total, karena kala itu wisatawan sudah melalui online seiring maraknya aplikasi penjualan tiket secara online,” tuturnya.
Saat bisnis penjualan tiket pariwisata berhenti, kebetulan ada kerabatnya dari Denpasar yang mengajak untuk ikut bergabung pada komunitas pengusaha wanita.
Beruntung bergabung di komunitas tersebut banyak pelajaran berharga yang dia dapat. Salah satunya, kata Luh Wiriadi, bagaimana memanfaatkan hasil tanaman sekitar kita atau desa kita untuk bisa dibuat olahan makanan.
Pertama kali dia memanfaatkan buah pisang, karena ada di petani desa yang siap menyuplai. “Saya awal olah pisang kepok (pisang sabe) jadi camilan ringan.
Kala itu harus berpikir keras agar produk olah makanan tidak sama dengan lainnya. Titik point saya harus memberikan kualitas berbeda.
Jadi camilan dari olahan apapun, harus mengggunakan buah-buahan yang sehat, diolah tanpa menggunakan bahan pengawet, tanpa pemanis buatan dan proses produksinya
tidak menggunakan minyak curah dan kemasan dengan yang juga sudah ditentukan oleh pemesan,” terang Luh Wiriadi.
Dia mengaku setiap satu kali produksi menjadi olahan camilan mampu menghabiskan buah pisang sebanyak 200 biji.
Kemudian singkong dan talas rata-rata 20 kilogram setiap seminggu sekali. Produk olah camilan dikemas dengan ukuran 100 gram.
Selama ini olah camilan pisang dan buah lainnya sudah banyak dipasarkan di toko-toko organik di Denpasar seiring banyak warga yang sudah mulai sadar dengan makanan camilan sehat.
Bahkan, sebelum ada virus corona, sejumlah restaurant dan pusat toko oleh-oleh khas juga ikut menjual camilan buatan Luh Wiriadi.
Dimasa pandemi Covid-19, diakuinya agak sedikit menurun permintaan camilan dari olahan pisang, keladi dan singkong.
Untuk menyiasati hal itu, penjualan selain dilakukan online juga produk olahan camilan dipasarkan dari rumah-rumah.
“Kalau untuk permitaan setiap harinya selalu ada baik dari toko, maupun ibu-ibu rumah tangga. Rata-rata 100 bungkus sampai 150 bungkus setiap harinya olah camilan dari pemesannya. Sedangkan omzet Rp 10 juta setiap bulannya,” ujarnya.
Luh Wiriadi menambahkan, kini usaha UMKM miliknya baru dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 2 orang ibu rumah tangga.
Bahkan, sudah ada ibu rumah tangga di desa yang mengikuti jejak dengan membuat camilan dari bahan buah-buahan.
“Yang masih menjadi kendala saat ini di pemasaran. Karena disamping diproduksi sendiri, juga dipasarkan secara pribadi,” pungkasnya.(*)