29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:54 AM WIB

Jadi Kampanye Indonesia Kuat Hadapi Pandemi, Surfing Alat Pemersatu

Pandemi Covid-19 membuat agenda Kartini Go Surf terhenti setahun. Namun, semangat itu kembali muncul tahun ini.

Meski dalam suasana pandemi yang tak kunjung berakhir, semangat para surfer tetap menyala. Seperti yang terlihat di Pantai Kuta, Badung, Bali, kemarin.

 

 

ALIT BINAWAN, Kuta

 “WANITA Indonesia, jangan takut belajar surfing (selancar ombak). Jangan takut hitam. Kalau beliau (R.A Kartini) masih hidup,

mungkin akan bangga kepada kami kaum wanita Indonesia,” terang salah seorang peselancar wanita Sri Santi Arawati saat ditemui usai berselancar dalam rangka Kartini Go Surf di Pantai Kuta, kemarin.

Kartini Go Surf kembali diadakan setelah vakum satu tahun karena pandemic Covid-19. Kegiatan ini dilakukan untuk memperingati Hari Kartini yang jatuh, Rabu (21/4) mendatang.

Berdasar data yang diperoleh, ada sebanyak 35 peselancar ombak wanita yang ikut ambil bagian dalam acara ini.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Kartini Go Surf 2021 diadakan di tujuh tempat sekaligus seperti Lombok dan Banyuwangi.

Tujuannya adalah untuk membantu membangkitkan pariwisata yang sedang lesu akibat pagebluk Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun lamanya.

Penyelanggara ingin ekonomi bisa bangkit dan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia kuat menghadapi pandemi ini.

Bukan hanya selancar ombak dengan memakai kebaya saja yang dilakukan. Tapi, ada beberapa kegiatan seperti parade kebaya dengan model difabel hingga paddle surfing yang cukup popular di kawasan Bali Utara.

Menurut Santi Arawati, berselancar dengan menggunakan kebaya lengkap cukup merepotkan. Tantangan terbesar tentu saja kain yang berat ketika terkena air.

“Tapi, saya senang sih jadi bagian dari Kartini Go Surf meskipun agak sedikit berat karena kamen yang melekat dibagian kaki. Biasanya kan wet suit atau bikini,” terangnya.

Bukan hanya peselancar dari Bali saja yang ambil bagian. Tapi, juga beberapa peselancar asal mancanegara. Seperti Hjördy asal Jerman.

“Kegiatan ini adalah salah hal yang bagus untuk mendukung wanita Indonesia. Sulit, pasti. Meskipun saya sudah pernah memakai kebaya sebelumnya,

tapi dipakai saat surfing jelas berbeda. Meskipun berat dan gerak tubuh tidak leluasa, tapi sangat menyenangkan,” beber Hjördy.

Selain peselancar wanit yang hadir kemarin, ada juga legenda-leganda selancar Bali yang ikut ambil bagian meskipun mereka tidak turun langsung merasakan ombak Pantai Kuta.

Mereka adalah Ketut Nugra, pendiri Bali Surfing Club dan pemrakarsa kejuaraan selancar ombak lokal pertama di Bali pada tahun 1975.

Selain itu ada Wayan Sudirka yang merupakan kampiun dari kontes selancar angin pertama di Bali pada tahun 1976 dan Teve Palmer yang merupakan pendiri merk surfing terkenal dari Australia.

Sebut saja Surfer Girl hingga Quiksilver. Dia juga sempat menjadi salah satu sponsor untuk kejuaraan selancar ombak internasional pertama di Pulau Dewata pada tahun 1979.

Menurut Nugra, selancar ombak tidak hanya melulu tentang olahraga, tetapi dari itu. “Surfing menjadi salah satu pendukung parwisata Bali. Jika dikolaborasikan dengan alam dan budaya Bali,

Bali bisa bangkit. Toleransi ada di surfing. Ketika berada di pantai, semua larut menjadi satu kesatuan. Bisa dikatakan, surfing adalah alat pemersatu,” bebernya.

Untuk itu, pria asal Kuta tersebut ingin selancar ombak bangkit kembali agar pariwisati Bali juga bisa cepat pulih seperti sediakala. (*)

Pandemi Covid-19 membuat agenda Kartini Go Surf terhenti setahun. Namun, semangat itu kembali muncul tahun ini.

Meski dalam suasana pandemi yang tak kunjung berakhir, semangat para surfer tetap menyala. Seperti yang terlihat di Pantai Kuta, Badung, Bali, kemarin.

 

 

ALIT BINAWAN, Kuta

 “WANITA Indonesia, jangan takut belajar surfing (selancar ombak). Jangan takut hitam. Kalau beliau (R.A Kartini) masih hidup,

mungkin akan bangga kepada kami kaum wanita Indonesia,” terang salah seorang peselancar wanita Sri Santi Arawati saat ditemui usai berselancar dalam rangka Kartini Go Surf di Pantai Kuta, kemarin.

Kartini Go Surf kembali diadakan setelah vakum satu tahun karena pandemic Covid-19. Kegiatan ini dilakukan untuk memperingati Hari Kartini yang jatuh, Rabu (21/4) mendatang.

Berdasar data yang diperoleh, ada sebanyak 35 peselancar ombak wanita yang ikut ambil bagian dalam acara ini.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Kartini Go Surf 2021 diadakan di tujuh tempat sekaligus seperti Lombok dan Banyuwangi.

Tujuannya adalah untuk membantu membangkitkan pariwisata yang sedang lesu akibat pagebluk Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun lamanya.

Penyelanggara ingin ekonomi bisa bangkit dan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia kuat menghadapi pandemi ini.

Bukan hanya selancar ombak dengan memakai kebaya saja yang dilakukan. Tapi, ada beberapa kegiatan seperti parade kebaya dengan model difabel hingga paddle surfing yang cukup popular di kawasan Bali Utara.

Menurut Santi Arawati, berselancar dengan menggunakan kebaya lengkap cukup merepotkan. Tantangan terbesar tentu saja kain yang berat ketika terkena air.

“Tapi, saya senang sih jadi bagian dari Kartini Go Surf meskipun agak sedikit berat karena kamen yang melekat dibagian kaki. Biasanya kan wet suit atau bikini,” terangnya.

Bukan hanya peselancar dari Bali saja yang ambil bagian. Tapi, juga beberapa peselancar asal mancanegara. Seperti Hjördy asal Jerman.

“Kegiatan ini adalah salah hal yang bagus untuk mendukung wanita Indonesia. Sulit, pasti. Meskipun saya sudah pernah memakai kebaya sebelumnya,

tapi dipakai saat surfing jelas berbeda. Meskipun berat dan gerak tubuh tidak leluasa, tapi sangat menyenangkan,” beber Hjördy.

Selain peselancar wanit yang hadir kemarin, ada juga legenda-leganda selancar Bali yang ikut ambil bagian meskipun mereka tidak turun langsung merasakan ombak Pantai Kuta.

Mereka adalah Ketut Nugra, pendiri Bali Surfing Club dan pemrakarsa kejuaraan selancar ombak lokal pertama di Bali pada tahun 1975.

Selain itu ada Wayan Sudirka yang merupakan kampiun dari kontes selancar angin pertama di Bali pada tahun 1976 dan Teve Palmer yang merupakan pendiri merk surfing terkenal dari Australia.

Sebut saja Surfer Girl hingga Quiksilver. Dia juga sempat menjadi salah satu sponsor untuk kejuaraan selancar ombak internasional pertama di Pulau Dewata pada tahun 1979.

Menurut Nugra, selancar ombak tidak hanya melulu tentang olahraga, tetapi dari itu. “Surfing menjadi salah satu pendukung parwisata Bali. Jika dikolaborasikan dengan alam dan budaya Bali,

Bali bisa bangkit. Toleransi ada di surfing. Ketika berada di pantai, semua larut menjadi satu kesatuan. Bisa dikatakan, surfing adalah alat pemersatu,” bebernya.

Untuk itu, pria asal Kuta tersebut ingin selancar ombak bangkit kembali agar pariwisati Bali juga bisa cepat pulih seperti sediakala. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/