Kian sedikit.
Kian brutal.
Itulah demo di Hongkong. Yang hari ini memasuki bulan keenam.
Awal minggu lalu demonstran menguasai terowongan vital. Terowongan bawah laut. Yang menghubungkan Hongkong –Pulau Hongkong– dengan Kowloon –yang satu daratan dengan Tiongkok.
Tidak sebentar. Empat hari terowongan itu di bawah kekuasaan demonstran. Jalan masuk ke terowongan itu pun dipasangi barikade.
Mulut terowongan itu menjadi area luas yang kosong. Area itu lantas dipenuhi dengan batu bata. Atau bongkaran paving. Yang ditata menyebar. Siap untuk diambil dan dilemparkan. Atau siap untuk menghadang mobil yang akan lewat –manakala barikadenya dipaksa buka.
Pembakaran juga terjadi di mana-mana. Kecil-kecil. Satu yang agak besar: bakar mobil.
Bom-bom botol juga beterbangan. Beberapa toko dan bagian depan bank dirusak. Yakni toko dan bank yang terkait dengan Tiongkok.
”Kami bukan Tionghoa. Kami ini orang Hongkong,” kata mereka.
Ucapan seperti itu membuat banyak orang Tionghoa antipati –termasuk yang dulunya bersimpati.
Lantas muncullah isu: sebagian besar aktivis itu adalah bukan orang Tionghoa asli. Mereka adalah keturunan Vietnam. Yakni anak-anak pengungsi Vietnam (1975) yang kawin dengan Tionghoa Hongkong.
Di akhir perang Vietnam itu memang jutaan orang mengungsi. Ada yang lewat Batam. Sampai ada kamp pengungsi Vietnam di pulau dekat Batam. Banyak juga yang mengungsi ke Hongkong.
Bisa juga itu isu yang dicari-cari. Untuk memecah belah dukungan pada demonstran.
Yang jelas dukungan pada mereka memang mengecil. Tidak ada lagi aksi yang diikuti ratusan ribu orang. Bahkan tidak ada lagi yang puluhan ribu.
Sering aksi demo lanjutan itu hanya diikuti ratusan orang.
Berkurangnya dukungan itu juga akibat kekerasan. Sebagian mereka mulai merusak. Mulai mengancam –termasuk mengancam orang yang berbicara dalam bahasa Mandarin.
Jumlah pendemo sempat naik lagi. Saat ada mahasiswa meninggal: jatuh dari gedung parkir. Demonstran menilai itu untuk menghindari serbuan polisi. Tapi rekaman CCTV malam itu menunjukkan mendiang berjalan sendirian di gedung parkir itu.
Begitulah hukum alamnya: kian sedikit yang demo, kian radikal. Mereka adalah yang paling militan. Yang moderat menyisih. Bahkan mulai tidak simpati.
Lagu yang dinyanyikan pendemo pun berubah. Dulunya mereka selalu menyanyikan lagu gereja ”Sing Hallelujah to the Lord”. Sebagai lagu kebangsaan pemrotes.
Saat itu memang banyak pastor dan pendeta yang di barisan depan. Termasuk seorang pastor yang punya keahlian fotografi. Pastor ini selalu mengenakan rompi ”Pastor” agar tidak dihajar polisi. Beliau juga membawa tustel.
Mengabadikan apa pun yang ada di garis depan. Foto-foto itu diunggah ke Facebook beliau. Termasuk foto yang sangat menghebohkan: seorang mahasiswi terkena tembakan polisi di salah satu matanya. Yang menurut polisi mata itu terkena ketapel pendemo sendiri.
Sejak demo berubah ke brutal pihak gereja terbelah. Terjadi pro-kontra soal peranan gereja dalam politik. Dampak kebrutalan itu bisa mencederai citra gereja yang mestinya membawa misi damai.
Pihak berwajib di Hongkong sudah lama tahu: ada pihak gereja di gerakan itu.
Aktivis utama seperti Joshua Wong, Benny Tai, dan Chan Kinman adalah juga aktivis gereja.
Karena itu polisi lebih hati-hati dalam menghadapi pendemo.
Pemimpin tertinggi Hongkong sendiri, Carrie Lam, juga Katolik. Tokoh-tokoh gereja juga pernah bertemu Lam. Untuk menyampaikan komplain atas kekerasan yang dilakukan polisi. Tapi Lam saat itu menjawab: mengapa gereja tidak mengecam kekerasan yang dilakukan pendemo.
Belakangan polisi tidak begitu peduli lagi. Polisi mulai berani masuk gereja. Mengejar pendemo yang menyelamatkan diri ke gereja.
Gereja masih tetap mengecam kekerasan terhadap pendemo. Tapi juga mulai klarifikasi: bahwa adanya pastor di garis depan adalah untuk menghindari bentrok. Pemimpin agama itu sering bicara kepada pendemo di garis depan. Agar tidak melakukan kekerasan.
Seruan itu memang sering tidak mempan. Kekerasan sering datang dari barisan di belakangnya. Melemparkan apa saja dari garis kedua.
Pihak pastor juga mengatakan sering bicara dengan polisi. Agar tidak melakukan kekerasan. Tapi tetap terjadi.
Sebagian aktivis gereja belakangan mulai menarik diri dari garis depan.
Lagu kebangsaan pendemo pun tidak lagi ”Sing Hallelujah to the Lord”. Sudah diganti dengan ”Glory of Hongkong”. Lagu yang diciptakan belakangan yang tidak terkait agama apa pun.
Kristen-Katolik merupakan agama dari 15 persen penduduk Hongkong. Sebagian lain Budha, Konghuchu dan agama-agama kecil.
Sebagian besar lagi agama mereka uang. Tuhannya angka-angka. (dahlan iskan)