29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:01 AM WIB

Debat Dalam Bus

Saat debat calon presiden itu kami masih di Sungai Pinyuh. Di dalam bus. Dari Pontianak menuju Singkawang.

Busnya bagus. TV-nya besar. Dilengkapi WIFI. Milik DAMRI.

”Horeee, kita bisa lihat debat Capres di dalam bus,” ujar seorang penumpang. Teman baik saya. Ia pengusaha besar. Yang sejak tadi gelisah. Dikira tidak ada TV di bus.

Jadwal perjalanan kami memang agak kacau. Bandara Pontianak sempat ditutup. Terhalang pesawat Lion. Yang terperosok di ujung landasan. Saat Lion landing di waktu hujan. Petang hari sebelumnya.

Teman-teman kami mencarter pesawat Garuda. Boeing 737-800. Agar bisa memuat seluruh rombongan. Sekitar 160 orang. Yang begitu sulit mendapat tiket reguler. Menjelang perayaan Cap Go Meh seperti ini.

Itulah problem tahunan Pontianak. Sulit mendapat tiket pesawat. Setahun empat kali: lebaran, Imlek, Cap Go Meh dan cingbing. Banyaknya suku Tionghoa di Kalbar membuat tiga event itu penting. Imlek untuk kumpul keluarga. Di malam tahun baru. Cap Go Meh untuk lihat perayaan di Singkawang. Yang terbesar di dunia. Cingbing untuk ke makam orang tua. Ketika anak mereka sudah banyak yang sukses di mana-mana.

Rombongan kami ini terdiri dari tokoh-tokoh Budha Tzu Chi. Yang umumnya pengusaha besar. Tionghoa. Suka bikin kegiatan sosial.

Kali ini mereka ke Singkawang. Untuk memulai membangun sekolah. Yang biasanya megah. Seperti yang di Cengkareng. Mereka juga baru membangun 3.000 rumah. Di Lombok dan Palu. Untuk korban gempa.

Penerbangan kami ini tertunda tujuh jam. Minggu bandara Pontianak bisa didarati. Mestinya jam 3 sore kami sudah tiba di Singkawang. Lihat pawai lampion dulu. Baru makan malam. Kemudian melihat debat di tv. Di kamar hotel masing-masing.

“Wah kita tidak bisa melihat debat nih,” ujar seorang pengusaha. Saat naik ke dalam bus. Satu jam sebelum jadwal debat. Sebelum melihat ada tv besar di dalam bus.

Lalu ia begitu gembira. Setelah tahu ada televisi besar di situ.

Ups… Ia kembali kecewa.

”TV ini hanya bisa untuk video dan karaoke,” ujar petugas bus.

”Bisa nggak hand Phone diconnect ke tv itu. Kita bisa cari live streaming di HP. Lalu dilihat di TV,” tanya pengusaha itu. Yang membawa WIFI portable. Yang lebih kuat dari WIFI milik bus.

”Juga tidak bisa,” jawab petugas bus.

”Yaaaaaccchhhh,” keluh pengusaha tadi.

Tapi ia tidak putus asa. Tetap mencari channel debat di HP. Yang menyediakan layanan live streaming.

Berhasil. TV masa depan memang akan pindah ke live streaming seperti itu.

Kami pun menuntut teman itu: agar suara debat bisa dibesarkan. Untuk didengar seisi bus. Biar pun hanya suaranya.

Maka pemilik HP itu merangkap jadi operator. Mendekatkan corong microfon ke HP. Lumayan.

Hanya saja tidak bisa sempurna. Sesekali sinyalnya putus.

Saya sendiri sebenarnya tidak tertarik mengikuti debat itu. Beberapa penumpang juga jatuh terkulai: tertidur. Pasti isi debat itu tidak menarik baginya. Juga bagi saya.

Tapi saya harus tetap membuka telinga. Saya kan harus menulis untuk DI’s Way. Itulah wartawan. Harus biasa mengerjakan apa saja. Pun yang tidak ia suka.

Tapi keadaan membuat saya tidak bisa mengikuti debat itu. Secara utuh. Tidak bisa memperhatikan body language mereka. Maka tidak baik kalau saya menulis hanya berdasarkan pengamatan yang sepotong.

Apalagi, dari yang sepotong itu, saya tidak menangkap ide besar yang jadi bahan perdebatan. Atau ide besar itu sebenarnya ada. Untuk Indonesia. Saat sinyal HP lagi off agak lama.

Saya hanya menangkap sedikit kesan: Prabowo kurang siap untuk bersilat lidah. Betapa mudah sebenarnya mematahkan serangan Jokowi itu. Setidaknya secara lisan.

Akhirnya kami tiba di Singkawang. Setelah debat itu selesai agak lama tadi. Tidak ada penumpang yang memperdebatkan debat tadi. Kami semua berteman baik. Tidak ingin ada yang saling terganggu.

Dan lagi malam sudah larut. Kami tiba di hotel sudah sangat telat: jam 23.00. Pawai lampion sudah bubar. Penonton sudah bergerak pulang. Jalan ke luar Singkawang padat kendaraan.

Begitu masuk hotel saya keluar lagi: cari durian. Ditemani pimpinan harian Rakyat Kalbar, Qadhafi. Sampai jam 1 malam. Dengan janji: jam 6 pagi ketemu lagi. Untuk keliling kota Singkawang. Sebelum acara pokok Budha Tzu Chi di dekat hotel.

Dari keliling Singkawang itu saya akan menyimpulkan: apa kabar Singkawang sekarang. Setelah setahun dipimpin walikota wanita yang fenomenal: Thai Chui Mie. (dahlan iskan)

About Author

Saat debat calon presiden itu kami masih di Sungai Pinyuh. Di dalam bus. Dari Pontianak menuju Singkawang.

Busnya bagus. TV-nya besar. Dilengkapi WIFI. Milik DAMRI.

”Horeee, kita bisa lihat debat Capres di dalam bus,” ujar seorang penumpang. Teman baik saya. Ia pengusaha besar. Yang sejak tadi gelisah. Dikira tidak ada TV di bus.

Jadwal perjalanan kami memang agak kacau. Bandara Pontianak sempat ditutup. Terhalang pesawat Lion. Yang terperosok di ujung landasan. Saat Lion landing di waktu hujan. Petang hari sebelumnya.

Teman-teman kami mencarter pesawat Garuda. Boeing 737-800. Agar bisa memuat seluruh rombongan. Sekitar 160 orang. Yang begitu sulit mendapat tiket reguler. Menjelang perayaan Cap Go Meh seperti ini.

Itulah problem tahunan Pontianak. Sulit mendapat tiket pesawat. Setahun empat kali: lebaran, Imlek, Cap Go Meh dan cingbing. Banyaknya suku Tionghoa di Kalbar membuat tiga event itu penting. Imlek untuk kumpul keluarga. Di malam tahun baru. Cap Go Meh untuk lihat perayaan di Singkawang. Yang terbesar di dunia. Cingbing untuk ke makam orang tua. Ketika anak mereka sudah banyak yang sukses di mana-mana.

Rombongan kami ini terdiri dari tokoh-tokoh Budha Tzu Chi. Yang umumnya pengusaha besar. Tionghoa. Suka bikin kegiatan sosial.

Kali ini mereka ke Singkawang. Untuk memulai membangun sekolah. Yang biasanya megah. Seperti yang di Cengkareng. Mereka juga baru membangun 3.000 rumah. Di Lombok dan Palu. Untuk korban gempa.

Penerbangan kami ini tertunda tujuh jam. Minggu bandara Pontianak bisa didarati. Mestinya jam 3 sore kami sudah tiba di Singkawang. Lihat pawai lampion dulu. Baru makan malam. Kemudian melihat debat di tv. Di kamar hotel masing-masing.

“Wah kita tidak bisa melihat debat nih,” ujar seorang pengusaha. Saat naik ke dalam bus. Satu jam sebelum jadwal debat. Sebelum melihat ada tv besar di dalam bus.

Lalu ia begitu gembira. Setelah tahu ada televisi besar di situ.

Ups… Ia kembali kecewa.

”TV ini hanya bisa untuk video dan karaoke,” ujar petugas bus.

”Bisa nggak hand Phone diconnect ke tv itu. Kita bisa cari live streaming di HP. Lalu dilihat di TV,” tanya pengusaha itu. Yang membawa WIFI portable. Yang lebih kuat dari WIFI milik bus.

”Juga tidak bisa,” jawab petugas bus.

”Yaaaaaccchhhh,” keluh pengusaha tadi.

Tapi ia tidak putus asa. Tetap mencari channel debat di HP. Yang menyediakan layanan live streaming.

Berhasil. TV masa depan memang akan pindah ke live streaming seperti itu.

Kami pun menuntut teman itu: agar suara debat bisa dibesarkan. Untuk didengar seisi bus. Biar pun hanya suaranya.

Maka pemilik HP itu merangkap jadi operator. Mendekatkan corong microfon ke HP. Lumayan.

Hanya saja tidak bisa sempurna. Sesekali sinyalnya putus.

Saya sendiri sebenarnya tidak tertarik mengikuti debat itu. Beberapa penumpang juga jatuh terkulai: tertidur. Pasti isi debat itu tidak menarik baginya. Juga bagi saya.

Tapi saya harus tetap membuka telinga. Saya kan harus menulis untuk DI’s Way. Itulah wartawan. Harus biasa mengerjakan apa saja. Pun yang tidak ia suka.

Tapi keadaan membuat saya tidak bisa mengikuti debat itu. Secara utuh. Tidak bisa memperhatikan body language mereka. Maka tidak baik kalau saya menulis hanya berdasarkan pengamatan yang sepotong.

Apalagi, dari yang sepotong itu, saya tidak menangkap ide besar yang jadi bahan perdebatan. Atau ide besar itu sebenarnya ada. Untuk Indonesia. Saat sinyal HP lagi off agak lama.

Saya hanya menangkap sedikit kesan: Prabowo kurang siap untuk bersilat lidah. Betapa mudah sebenarnya mematahkan serangan Jokowi itu. Setidaknya secara lisan.

Akhirnya kami tiba di Singkawang. Setelah debat itu selesai agak lama tadi. Tidak ada penumpang yang memperdebatkan debat tadi. Kami semua berteman baik. Tidak ingin ada yang saling terganggu.

Dan lagi malam sudah larut. Kami tiba di hotel sudah sangat telat: jam 23.00. Pawai lampion sudah bubar. Penonton sudah bergerak pulang. Jalan ke luar Singkawang padat kendaraan.

Begitu masuk hotel saya keluar lagi: cari durian. Ditemani pimpinan harian Rakyat Kalbar, Qadhafi. Sampai jam 1 malam. Dengan janji: jam 6 pagi ketemu lagi. Untuk keliling kota Singkawang. Sebelum acara pokok Budha Tzu Chi di dekat hotel.

Dari keliling Singkawang itu saya akan menyimpulkan: apa kabar Singkawang sekarang. Setelah setahun dipimpin walikota wanita yang fenomenal: Thai Chui Mie. (dahlan iskan)

About Author

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/