Sudah 6 tahun Sumiati, menyusul suami ke Kuala Lumpur. Mengapa kini TKW asal Paciran, Lamongan, ini jadi tulang punggung keluarga?
MINGGU siang (18/3), mentari tegak lurus di atas Kuala Lumpur. Kami masuk areal Dataran Merdeka, di seberang gedung Sultan Abdul Samad, Kantor Kementerian Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia.
Saat menyusuri trotoar di Lapangan Merdeka, puluhan pekerja masih sibuk membongkar panggung, berikut banner-banner di sekeliling lapangan venue event PDRM Night Run 2018, In Commemoration of 211th.
Sesekali pekerja yang ramai-ramai menggotong pipa besi besar bekas panggung, harus menyibak ribuan ekor raven di tengah lapangan yang jadi tempat upacara hari kemerdekaan Malaysia, setiap 31 Agustus ini.
Begitu tiba di sisi salah satu tiang bendera tertinggi di dunia, sekitar 100 meter, kami menyempatkan diri berfoto.
Menunggu beberapa saat, biar ada tiupan angin kencang, sehingga background bendera Malaysia yang tengah berkibar, bisa terekam sempurna.
Foto-foto besar sosok beberapa perdana menteri Malaysia (mulai Tunku Abdul Rahman, Tun Abdul Razak, Tun Hussein Onn, Tun Dr. Mahathir Mohamad,
Tun Abdullah Ahmad Badawi, Dato’ Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak), ditempatkan di areal di belakang tiang bendera itu.
Persis di bawah pohon besar, kami berteduh. Sambil menikmati air mineral dingin. Saat itulah, belasan rombongan turis berwajah oriental antre foto di instalasi spot foto; I Love KL, di ujung pintu masuk Gedung KL City Gallery.
Yang perempuan pakai topi lebar, si pria berkacamata hitam, wajahnya ada yang mirip Ng Man Tat atau Wu Meng Da, pemeran paman Boboho dalam film Shaolin Popey.
Datang pula rombongan berwajah India. Di antaranya, yang pria, berkacamata hitam, pakai gelang emas, lumayan besar.
Perempuannya, juga ada yang pakai perhiasan gelang emas keroncong ala India di tangan kanannya.
Selagi menunggu giliran berfoto di spot I Love KL tersebut, mereka memesan makanan kecil dan minuman di Arch Café, persis di kanan pintu masuk KL City Gallery.
Ada fresh coconut seharga Ringgit Malaysia (RM) 8 atau senilai Rp 28 ribu. Lemonade dan barley, masing-masing RM 7, juga air mineral RM 2,5.
’’Fresh coconut, eight!,’’ pinta seorang turis India sambil menunjuk kelapa yang dipilihnya. Usai memesan, rombongan turis India ini, ada yang meminumnya sambil berdiri, yang lain memenuhi tiga tenda dengan di set meja kursi kayu dan rotan di café tersebut.
Arch Café yang buka dari pukul 08.30 hingga 18.30 ini, dijaga seorang perempuan. Dialah Sumiati, tenaga kerja wanita (TKW) asal Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
Sambil membantu Sumiati melayani pembeli, Jawa Pos Radar Bali sekalian melakukan wawancara. Menurutnya, jadi TKW ke Malaysia ini bermula dia menyusul sang suami, Mujayin, yang kerja di proyek bangunan di Kuala Lumpur.
Sudah 6 tahun Sumiati di Kuala Lumpur. Dia menyusul lantaran ingin menambah penghasilan suami. ’’Budal dewe-dewe (berangkat sendiri-sendiri, Red). Saya berangkat melalui jalur resmi,’’ kisahnya.
Begitu berkumpul suami di Kuala Lumpur, Sumiati bekerja di rumah salah seorang pegawai pemerintahan Malaysia.
Karena pasangan suami istri (pasutri) ini sama-sama bekerja, maka pundi-pundi Ringgitnya pun kian bertambah.
Mereka bahagia bisa berkumpul keluarga dan dapat penghasilan ganda. Namun, tanpa mereka duga, suatu hari, Mujayin mengalami kecelakaan kerja.
Saat itu, ketika memindahkan baja dalam suatu proyek bangunan, Mujayin tertimpa baja tersebut.
Akibatnya, kakinya terluka, hingga cacat permanen, tak bisa bekerja lagi.
’’Saat itu, perusahaan yang mengajak suami saya bekerja, tidak tanggung jawab,’’ kisahnya. Lantaran Mujayin tak bisa bekerja normal kembali di proyek bangunan, akhirnya Sumiati lah, yang menggantikan peran suaminya.
Sehingga, dialah satu-satunya penopang sumber pendapatan bagi keluarganya di Kuala Lumpur. Kenapa tak pulang saja ke Paciran? ’’Kalau pulang ke Indonesia, penghasilan tidak cukup,’’ dalih Sumiati.
Menurutnya, jam kerjanya pukul 08.30-18.30 (10 jam sehari), dengan jatah libur sehari dalam dua minggu, dia digaji RM 1.600 atau senilai Rp 5,6 Juta.
Cukup untuk hidup sebulan di Kuala Lumpur? Ternyata, cukup. Meski dengan setrategi pengeluaran yang jitu. Sehingga, masih bisa menabung.
Benarkah? Pengeluaran sebulannya selain untuk makan, juga sewa rumah RM 200 per bulan atau senilai Rp 700 ribu.
Sedang untuk transportasi, dia tak keluar uang sama sekali. Kok bisa, ya? Usut punya usut, sehari-hari memanfaatkan jasa transportasi umum gratis.
Yakni, pakai moda transportasi Go Kuala Lumpur alias Go KL. Terkait Go KL, bisa disimak di edisi terakhir serial tulisan ini.
Karena sudah mantap tinggal di Kuala Lumpur, Sumiati pun belajar bahasa asing. Salah satunya, bahasa Mandarin.
Sebab, tamu di KL City Gallery yang biasa mampir cafenya, kebanyakan turis Tiongkok. ’’Saya bisa bahasa Mandarin karena sering komunikasi dengan turis Chino (Tiongkok, Red) itu,’’ akunya.
Meski menjadi tulang punggung keluarganya di negeri orang, Sumiati menjalaninya dengan happy. Bahkan, ngaku tak pernah susah.
’’Karena saya masuk Malaysia secara legal, maka bekerja pun tenang. Nggak ono susahe (Tidak ada susahnya, Red),’’ tuturnya.
Yang membuatnya bahagia, lantaran masih bisa menyisakan penghasilannya. Saat Hari Raya Idul Fitri, keluarga Sumiati mudik ke Lamongan.
Sambil silaturahmi ke handai taulan di pesisir utara Pulau Jawa ini, mereka menyempatkan berwisata ke Wisata Bahari Lamongan (WBL).
Dengan merogok kocek Rp 100 ribuan untuk tiket masuk WBL bagi satu orang, Sumiati sekeluarga menikmati di antara 40 wahana yang tersedia.
WBL berlokasi sekitar 17 kilometer di timur Brondong, kawasan lokasi tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang juga dipoles sebagai areal destinasi wisata bahari.
Lantaran menguasai bahasa Mandarin, Sumiati sampai tahu cerita di balik banyaknya wisatawan Tiongkok ke Kuala Lumpur, yang kebanyakan adalah pegawai kantor.
’’Wisatawan Chino (Tiongkok, Red), paling banyak datang ke galeri ini,’’ paparnya. Mereka bekerja, diberangkan kantornya. ’’Sehingga, saat tour tak ada problem,’’ pungkas Sumiati. (djoko heru setiyawan/ bersambung)