Angin segar masih sulit didapat. Sampai tahun depan. Mungkin juga depannya lagi. Di bidang ekonomi. Dalam masa seperti itu kesibukan terbaik adalah konsolidasi.
Ekspansi hanya boleh di bidang yang sangat selektif. Begitulah hukum dasarnya. Karena itu penilaian terbaik untuk lima tahun ke depan adalah: seberapa berhasil kita melakukan konsolidasi.
Tidak pada tempatnya lagi menuntut pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tumbuh 5 persen sudah suatu prestasi. Asal: berhasil dalam melakukan konsolidasi.
Ke depan, sumber dana tidak boleh dipergunakan untuk memaksakan pertumbuhan tinggi –toh tidak akan tercapai juga. Dana sebaiknya lebih fokus untuk memperkuat usaha konsolidasi.
Sukses konsolidasi akan menjadi landasan untuk take off kelak –ketika angin segar sudah waktunya datang. Akan menyesal kalau ketika angin segar itu tiba ternyata bangsa tidak siap terbang.
Akan terulang kembali apa yang disebut ‘kehilangan momentum’. Bidang-bidang yang menjadi lahan konsolidasi adalah: pendidikan, hukum, sistem pemilu/pilkada, hubungan pusat-daerah, administrasi kependudukan, jaminan kesehatan dan infrastruktur –termasuk energi dan listrik.
Biarlah ekonomi cukup tumbuh lima persen. Itu sudah sangat baik. Toh Presiden Jokowi tidak pernah lagi menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7 persen.
Di dalam masa kampanye periode keduanya. Agenda konsolidasi menjadi lebih mendasar. Jaminan kesehatan harus selesai dalam tiga tahun ke depan.
Beri anggaran lebih besar untuk BPJS. Toh ini untuk lapisan masyarakat miskin. Sebaiknya jangan tanggung-tanggung membantu orang miskin. Toh ini bukan bantuan sosial.
Tujuannya: agar orang bisa lebih fokus bekerja. Menjadi produktif. Masyarakat tidak kepikiran terus bagaimana kalau sakit. Mungkin negara ini memang terlalu besar untuk sebuah jaminan kesehatan terpusat.
Kapasitas kepala daerah kita sebenarnya sudah cukup tinggi untuk -misalkan– dibebani tanggungjawab itu. Kualitas gubernur-gubernur kita tidak kalah dengan kualitas seorang menteri.
Tinggal mengatur pembagian tanggung jawabnya. Bahwa ada penyalahgunaan BPJS toh sebenarnya bisa diselesaikan dengan sistem teknologi informasi saat ini.
Asal BPJS serius berorientasi pada sistem teknologi. Saya tidak menolak mengaitkan kepatuhan pembayaran iuran BPJS dengan perolehan SIM atau sambungan listrik. Atau apa pun.
Tapi itu kelak. Ketika konsolidasi administrasi kependudukan sudah selesai. Administrasi kependudukan adalah fondasi segala fondasi untuk modernisasi bangsa.
Kelihatannya sepele: administrasi kependudukan. Tapi kalau itu tidak baik akan membuat modernisasi ke depan berantakan. Administrasi kependudukan harus beres dan harus modern.
Ini zaman teknologi. Harus kian banyak yang bisa diselesaikan dengan teknologi. Itulah maksud program E-KTP delapan tahun lalu itu. Yang berantakan itu.
Gara-gara permainan yang luar biasa itu. Yang korupsinya lebih besar dari riil proyeknya itu. Tapi, ya, sudahlah. Kita sudah kehilangan waktu delapan tahun.
Untuk melakukan modernisasi administrasi kependudukan itu. Tapi kita arus berani memulai lagi. Dengan kesungguhan yang berlipat. Kalau itu beres tidak perlu identitas apa pun.
Dokumen apa pun. Kartu apa pun. Cukup satu KTP. Semua urusan beres. Kalau KTP kita sudah modern. Saya tidak kagum pada administrasi kependudukan di Singapura.
Negara itu begitu kecil. Pendudukan hanya 3 juta. Pendidikannya tinggi. Tiongkok-lah yang benar-benar membuat saya kagum: bagaimana bisa mengadministrasikan 1,3 miliar penduduk dengan modern.
Yang wilayahnya juga rumit. Yang dulunya juga sangat miskin. Saya sudah ke desa-desa di pojok tenggara, pojok barat daya, barat lautnya. Administrasi kependudukannya sangat modern.
Kalau konsolidasi administrasi kependudukan beres, banyak program ikut beres. Termasuk iuran BPJS itu. Konsolidasi hukum adalah bidang yang juga berat.
Kita harus rela gaji jaksa dan polisi naik 10 kali lipat. Demi konsolidasi. Korbankan anggaran ekspansi untuk konsolidasi. Tentu tidak cukup hanya gaji.
Harus ada penataan yang mendasar. Termasuk keterbukaan perkara. Dan terutama mekanisme check and balance di bidang hukum. Terlalu panjang kalau saya beberkan di sini.
Demikian juga konsolidasi bidang pemilu/pilkada. Bukan berarti harus kembali ke sistem lama. Tapi soal pembelian suara – -dalam bentuk apa pun– harus hilang.
Inilah perusak moral bangsa. Perusak kultur kerja. Inilah perusak demokrasi. Banyak yang bisa dilakukan tanpa harus kembali ke sistem lama. Semua konsolidasi itu dalam prakteknya tidak mudah. Akan banyak korban.
Penertiban sering menimbulkan perlawanan. Dari kalangan yang dirugikan. Saya menyesal menulis disway hari ini. Dalam bentuk seperti itu. Hanya seperti ceramah.(Dahlan Iskan)