Siapakah pemain sepak bola terbaik tanah air? Sepanjang sejarahnya?
BP20 pasti salah satunya.
Hebat mana dengan Iswadi Idris di masa jayanya? Atau Ricky Yacob? Atau Dede Sulaiman? Atau bahkan Syamsul Arifin (Niac Mitra/Persebaya)?
Cobalah bikin nomor urutnya. Kita ranking. Siapa yang teratas.
Mungkin urutannya begini:
Ricky Yacob, Bambang Pamungkas, Dede Sulaiman, Abdul Kadir.
Mungkin Anda punya urutannya sendiri –sesuai tipe permainan mereka.
BP20 misalnya, rasanya tidak bisa disandingkan dengan Ricky Yacob –bukan satu tipe. Dua-duanya boleh saja menjadi juara kembar –untuk tipe masing-masing.
Tapi Bambang Pamungkas-lah yang akan terus dikenang sebagai pemain sepak bola yang paling cerdas –termasuk dalam memilih istri: Tribuana Tungga Dewi.
BP20 seorang pembaca buku. Ia juga penulis –bahkan novel biografinya sudah terbit. Lima tahun lalu. Judulnya: Ketika Jari-jemari Menari.
Ia juga berusaha menulis puisi. Dan mencoba berfilsafat.
Bambang juga rajin mengisi blog pribadi dengan tulisannya: bambangpamungkas20.com. Tema-tema tulisannya beragam –tapi berusaha mengambil filsafat hidup dari tema yang ditulisnya.
Misalnya ketika BP20 menulis tentang Pepeng. Yang ia niatkan untuk menandai meninggalnya pengasuh kuis Jari-Jari di TV yang terkenal itu.
BP20 berusaha mengambil pelajaran hidup dari Pepeng. Yang tetap optimistis di atas ranjang perawatan. Sampai akhir masa hidupnya.
Pepeng juga tetap punya rubrik di TV di tengah penderitaan sakitnya yang memuncak.
Maka BP20 mengutip ucapan Pepeng yang terkenal: Pantang mati sebelum ajal tiba.
Bambang juga seorang penceramah. Untuk acara-acara motivasi bagi anak muda. Di situ BP20 juga sering mengutip kata kunci. Misalnya: Pemenang dan pecundang itu sama. Sama-sama manusia dan sama-sama ingin bercerita tentang diri mereka.
Bedanya: Anda pasti sudah pernah mendengarnya.
Atau Anda baca sendiri blognya.
Membaca dan menulis adalah kelebihan BP20 dibanding pemain hebat-hebat lainnya.
Ups, Iswadi Idris juga pandai menulis.
Saya pernah minta tolong Iswadi untuk ke Meksiko. Selama satu bulan.
Saya bekali ia kartu pers. Menjadi wartawan. Untuk menonton Piala Dunia di Meksiko.
Ia berbagi tugas dengan Zainal Muttaqien yang juga saya kirim ke Meksiko. Zam menulis sebagai wartawan. Iswadi sebagai analis.
Tidak disangka, kelak, ketika sudah menjadi Dirut saya, Zam dapat menantu orang Meksiko. Dari kota tempatnya meliput dulu: Guadalajara.
Putri Zam dan Carlos, anak Gualadajara itu, sama-sama ingin belajar bahasa Mandarin. Mereka sama-sama kuliah di Shanghai. Pacaran. Kawin. Percakapan mereka dalam bahasa Mandarin menghasilkan anak tiga.
Tiap hari Iswadi menulis panjang. Tentang perkiraan pertandingan hari itu. Atau hasil analisisnya untuk pertandingan tadi malam.
Zainal menulis tentang peristiwa dan hasil wawancara.
Waktu itu internet belum seperti sekarang. Kami juga belum mampu membeli laptop –yang harganya 10 kali lipat sekarang.
Iswadi harus menulis naskah dengan tangan. Lalu dikirim lewat faksimile.
Kenapa tidak pakai mesin ketik di media center?
“Antrenya panjang. Ide keburu hilang,” jawabnya saat itu.
Ada alasan lain: tulisannya itu ditunggu deadline. Koran tidak berani terbit tanpa tulisan Iswadi. Penggemarnya terlalu banyak.
Tapi Iswadi menulis itu setelah pensiun dari sepak bola.
BP20 sudah rajin menulis ketika masih top sebagai pemain.
BP juga cerdas dalam mengemas brand dirinya. BP20 adalah brand yang kuat. Dan secara konsisten ia promosikan lewat apa saja. Angka 20 Anda sudah tahu –nomor kostumnya. Seperti CR7 untuk bintang Real Madrid yang kini di Juventus –dan kelihatannya akan mengakhiri karirnya di situ.
BP20 mengakhiri karirnya di klub yang membesarkannya: Persija. Pertandingan lawan Persebaya 17 Desember kemarin adalah penampilan terakhirnya.
Itu pun BP20 hanya tampil 15 menit terakhir –tanpa membuat gol.
Bahkan sepanjang musim terakhir ini ia hanya membuat satu gol. Tapi gol itu bersejarah –itulah gol ke 200 yang ia buat.
Usianya kini memang sudah 39 tahun. Tergolong langka seorang penyerang bisa bermain sampai umur seperti itu.
Biasanya hanya kiper yang bisa. Atau pemain belakang.
Syamsul ‘Kepala Emas’ Arifin juga masih jadi penyerang tapi hanya sampai umur 36 tahun. Ditambah satu tahun lagi sebagai pemain belakang.
Jadi, BP20 memang istimewa. Apalagi, tahun lalu, Persija juara. Dengan demikian BP20 merasakan menjadi dua kali juara –di 18 tahun lamanya bersama Persija.
BP memang pernah –saya kutip dari guyonnya sendiri– jadi pengkhianat. Tapi hanya sebentar. Yakni ketika hengkang ke Selangor, Malaysia, selama dua tahun –2005-2007.
Juga ketika setahun ke Bandung Raya, 2013/2014.
Meski seperempat golnya dibuat lewat kepalanya, saya tidak pernah mendengar BP20 mendapat gelar si Kepala Emas.
Padahal gelar itu mestinya layak diberikan. Bagaimana bisa pemain yang tingginya 170 cm punya kepala begitu produktif.
Bambang juga sudah 86 kali main di tim nasional Indonesia –hanya saja belum sekali pun juara. Pun untuk setingkat SEA Games.
Pelatih Polandia Ivan Kolev-lah yang ‘menemukan’ remaja kurus ini. Di tahun 1999. Di saat BP20 berumur 19 tahun. Saat itu Ivan kesulitan stok penyerang.
Diambillah remaja kurus itu.
Ups, bisa bikin 24 gol. Ia menjadi top scorer.
Tahun berikutnya memang ‘hanya’ mencetak 15 gol. Tapi BP terpilih sebagai pemain terbaik. Tahun 2001.
Begitu pula selanjutnya. BP20 menjadi bintang. Sepanjang karirnya. Juga menjadi bintang iklan. Ialah juara bintang iklan untuk seorang pemain sepak bola.
Salah satunya pasti Anda ingat: Kuku Bima –minuman berenergi.
Ke mana setelah gantung sepatu? Menjadi pelatih?
Pertanyaan klise itu saya ulang di tengah stadion Gelora Bung Karno kemarin malam. Saat saya diajak gubernur Jakarta, Anies Baswedan, ke tengah lapangan –mengenakan kaus merah Bambang Pamungkas. Saya diajak untuk memberikan salam gantung sepatu padanya.
Hari itu sebenarnya saya nonton di kursi deretan paling belakang. Rupanya Anies tahu. Saya diminta duduk di sebelahnya.
Sangat tidak enak menonton bola bersebelahan dengan kubu lawan. Waktu Persebaya bikin gol saya tidak bisa ikut bersorak –menjaga perasaan.
Dari dialog pendek di tengah lapangan itu saya tahu belum tentu BP20 akan jadi pelatih. Atau akan jadi pelatih.
Tapi kecerdasan BP20 –termasuk di luar lapangan– membuatnya terbuka untuk menjadi apa saja. Termasuk bila, misalnya, membuka usaha kuliner.
BP20 pandai memasak. Apalagi istrinya.
Untuk sementara ia akan menikmati tidur dulu. Bisa bangun siang. Dan –saat bangun itu– minum teh panas tanpa gula.
Di tengah lapangan itu BP20 memberikan pidato singkat. Pidato perpisahan yang tidak mengharapkan haru.
Isinya konsisten dengan blognya. Agak berfilsafat. “Lelaki sejati tidak akan menangis. Hanya hatinya yang berdarah-darah,” katanya.
Justru beberapa pengurus Persija yang malah kelihatan terisak.
Tribuana Tungga Dewi lantas mendatangi sang suami. Wajahnya cantik dengan lima ‘i’ –meski tampil dengan sederhana. Tubuhnya tampak dijaga keras –berhasil tetap langsing. Disertai satu dari tiga anaknya: Salsa Alicia, Jane Abel, dan Syaura Abana.
Disaksikan 50 ribu lebih Jakmania, Dewi menyerahkan seikat bunga untuk sang suami. Dewi biasa memanggil Cin oleh BP20.
Malam itu penonton Persija sangat kompak. Tidak pulang meski pertandingan sudah selesai –kalah 1-2. Mereka menunggu sampai BP20 selesai diberikan penghormatan.
Penonton Persija memang luar biasa. Mereka tetap memenuhi stadion –pun di saat Persija kalah terus.
Sang istri juga memasang satu spanduk kecil di pagar stadion. Dari tengah lapangan saya bisa membacanya: “Welcome Home, Cin”.
Yang ditutup dengan gambar hati merah.
Di bagian bawah spanduk itu tertulis identitas: TS3. Itulah motto BP20. Yang saya tidak hafal kepanjangannya.
Kapan akan lahir BP20 baru?
“Kita tidak pernah kekurangan talenta pesepak bola. Fanatisme suporter kita teramat sangat luar biasa. Potensi bisnis dari sepak bola juga sangat menjanjikan. Serta yang tidak kalah penting, sepak bola terbukti dapat mempersatukan bangsa ini.”
Itulah kata-kata BP20. Yang di tahun 2012 menjadi salah satu 10 pemain terbaik Asia.
Selamat menempuh hidup baru, BP tercinta. Ajal tidak akan tiba sebelum mati.(Dahlan Iskan)