25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 6:07 AM WIB

Sopir Taksi Maksi

Oleh: Dahlan Iskan

“Pak Dahlan ya…?” tanya sopir taksi itu. Saat saya masuk ke Blue Bird. Di dekat rumah saya di SCBD Jakarta.

Saya tersenyum saja.

Teman saya yang menegaskan.

“Betul,” ujar Achmad Jauhar, teman saya itu. Ia ketua harian pengurus pusat Serikat Penerbit Pers. Yang dulu bernama Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Yang saya ketua umumnya. Sejak 15 tahun lalu. Sampai bulan depan.

“Saya pernah naik pesawat bersama bapak,” ujarnya. Sambil mulai menginjak gas.

Saya mulai curiga. Siapa ia. Saya lihat namanya. Di dashboard Taksinya: Ali Ismail Irfan.
Tapi nama itu tidak membantu saya ingat apa-apa.

Saya cari akal untuk mengetahui siapa Irfan.

“Waktu naik pesawat itu Anda dari mana?” tanya saya.

“Dari Solo,” jawabnya.

“Oh… Asli Solo ya…?”.

“Bukan. Saya asli Pekalongan tapi lahir di Jakarta.”

“Di Solo lagi ngapain waktu itu?” tanya saya tidak sabar. Kok gak segera terungkap siapa Irfan.

“Ngurus usaha”, katanya.

Nah. Mulai terungkap sedikit. Tapi saya masih harus kejar lebih intensif. Sebelum turun nanti sudah harus jelas siapa Irfan.

“Usaha apa?” saya mulai to the point.

“Alat berat.”

Ups…

“Milik sendiri?”

“Iya.. “.

“Kok sekarang jadi sopir Taksi?”

“Saya bangkrut.”

“Oh…maafkan,” kata saya. Terdiam. Lama.

Lalu saya lihat layar HP itu. Yang dipasang di dashboard itu. Ada foto wanita. Mencolok. Berkebaya merah. Berjilbab. Duduk di dekat kursi mewah. Juga warna merah. Posisi duduk wanita itu seperti seorang yang tahu benar modeling. Kursinya seperti kursi raja.

“Itu foto di studio?”

“Di rumah saya,” katanya.

Ups…

“Ini istri saya,” kata Irfan. Ia tahu kalau saya tidak hanya terdiam. Tapi juga mengamati foto di layar HP itu.

Wanita itu berpenampilan luar biasa. Begitu mewah penampilannya. Maka saya pun terkejut yang kedua kalinya.

Sang istri ternyata Polwan. Dengan pangkat kolonel. Yang sekarang jadi ajudan salah seorang menteri.

Ups…

“Apakah istri membolehkan Anda jadi sopir Taksi?” tanya saya.

“Istri saya tidak pernah berkomentar tentang suaminya. Kalau dia berkomentar berarti bukan istri saya,” katanya.

Ups…

Yang punya potensi berkomentar adalah anak wanitanya. Anak sulung. Lulusan Binus. Yang kini jadi manajer di perusahaan asing.

“Tapi kalau sampai anak saya itu melarang bapaknya jadi sopir taksi saya akan minta padanya untuk antarkan bapaknya ini ke panti jompo,” ujar Irfan.

Dua anaknya yang lain masih kuliah dan SMA.

Ups…

Saya harus menemukan kejutan ketiga.

“Mau sampai kapan pegang taksi?” tanya saya.

“Sampai teman saya pulang,” katanya.

“Kapan ia pulang?”

“Tanggal 24 Januari depan.”

“Lho… Sudah dekat. Di mana ia sekarang?” tanya saya.

“Di Kelapa Dua.”

“Lho… Di tahanan?” tanya saya.

Irfan mengangguk.

Saya pun mengira ‘ia’ yang dimaksud adalah partner usahanya. Yang masuk tahanan karena bisnis. Yang begitu keluar tahanan bisa mulai bisnis lagi.

“Ia yang saya maksud adalah Ahok pak,” kata Irfan.

Busyet! Terkejut lagi saya.

Padahal sudah siap tidak terkejut biar pun akan ada kejutan baru.

“Saya teman Ahok sejak ia jadi gubernur Jakarta.”

“Berarti juga teman pak Jokowi.”

“Iya”.

“Berarti akan jemput Ahok saat dibebaskan nanti.”

“Tentu.”

“Jam berapa jemput Ahok?”

“Mestinya jam 9. Tapi kan biasa berubah-ubah.”

“Berarti tanggal 24 nanti tidak naksi.”

“Sebenarnya saya mau jemput Ahok bersama 1.500 orang yang saya kerahkan. Tapi tidak boleh. Takut ditunggangi” katanya.

Bisa mengerahkan massa begitu besar?

“Saya dulu satgas PDI-P. Waktu penyerangan di Jalan Diponegoro itu saya di sana,” tambahnya.

Irfan lantas jadi anggota DPRD Bekasi. Dari PDI.

Kenapa tidak nyaleg lagi. Bahkan untuk yang lebih tinggi?

Sebenarnya nyaleg lagi. Atas perintah Taufik Kemas, suami Megawati. Tapi gagal. Habis tiga rumah dan empat mobil.

Lalu jadi tim sukses Pilpres. Saat Mega berpasangan dengan Kyai Hasyim Muzadi.
Gagal lagi.

Irfan memutuskan meninggalkan politik. Pindah dari Bekasi. Menekuni bisnis.

Mengapa hidupnya begitu nrimo jadi sopir taksi? Apakah karena tidak perlu mikir dapur? Cukup isterinya yang kolonel polisi yang menghidupi?

Tidak.

Irfan merasa sudah punya banyak emas dan berlian. Emas itu adalah tiga anaknya. Yang pintar-pintar. Berlian itu adalah ibunya. Yang kini tinggal bersamanya di Cilangkap, Jakarta.

Kalau istrinya?

Sang istri adalah segala-galanya. Irfan sudah jatuh cinta pada istrinya sejak sama-sama kelas satu SMP. Ketika Irfan masuk STM listrik, sang istri masuk SMA yang berdekatan.
Lalu Irfan kuliah di Trisakti. Di fakultas ekonomi. Sambil bekerja di perusahaan pemasok spare part.

Pengalaman kerjanya itulah yang membuat Irfan ingin jadi pengusaha. Pengusaha spare part. Khusus untuk alat-alat berat. Lalu berkembang menjadi pengusaha alat berat. Meningkat pula ke kontraktor tambang.

Puncaknya adalah zaman akhir pemerintahan Pak SBY. Saat pertambangan nikel lagi booming. Saat ekspor bahan mentah masih bebas.

Alat beratnya mencapai 40 buah. Beroperasi di tambang-tambang nikel di Sulawesi Tenggara.
SBY lantas mengeluarkan kebijakan baru: melarang ekspor bahan mentah. Nikel harus diolah di dalam negeri. Melalui smelter-smelter di dekat tambang.

Pertambangan nikel langsung berhenti. Alat-alat berat menganggur. Tagihan tidak dibayar.
Sisa-sisa kekuatannya untuk usaha di Jawa. Mengerjakan tambang galian C. Milik seorang pejabat tinggi. Pembayarannya juga macet.

“Cekya masih di tangan saya,” kata Irfan.

Lalu ada proyek swasta lain: Meikarta. Sisa terakhir kemampuannya dikerahkan di sana: tidak dibayar juga.

Selesai.

Jadi sopir Taksi.

Bukan sopir sembarangan.

Penumpang asing dari mana pun bisa diajak bicara: Inggris, Jerman, Belanda, Mandarin, Jepang.

Ia juga jadi motivator. Untuk sesama sopir Blue Bird. Bosnya yang minta itu. Termasuk mengajari penggunaan Android di kalangan sopir.

Saya berharap lalu-lintas Jakarta macet. Agar bisa lebih lama ngobrol bersama Irfan.

Tapi lalu-lintas Jakarta lancar. Saya pun tiba di Fairmont Senayan.

Harus turun dari taksi. Ada rapat dengan pemilik grup Kompas Gramedia.

Sang sopir ikut turun.

“Kita berfoto dulu pak,” katanya.(dahlan iskan)

Oleh: Dahlan Iskan

“Pak Dahlan ya…?” tanya sopir taksi itu. Saat saya masuk ke Blue Bird. Di dekat rumah saya di SCBD Jakarta.

Saya tersenyum saja.

Teman saya yang menegaskan.

“Betul,” ujar Achmad Jauhar, teman saya itu. Ia ketua harian pengurus pusat Serikat Penerbit Pers. Yang dulu bernama Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Yang saya ketua umumnya. Sejak 15 tahun lalu. Sampai bulan depan.

“Saya pernah naik pesawat bersama bapak,” ujarnya. Sambil mulai menginjak gas.

Saya mulai curiga. Siapa ia. Saya lihat namanya. Di dashboard Taksinya: Ali Ismail Irfan.
Tapi nama itu tidak membantu saya ingat apa-apa.

Saya cari akal untuk mengetahui siapa Irfan.

“Waktu naik pesawat itu Anda dari mana?” tanya saya.

“Dari Solo,” jawabnya.

“Oh… Asli Solo ya…?”.

“Bukan. Saya asli Pekalongan tapi lahir di Jakarta.”

“Di Solo lagi ngapain waktu itu?” tanya saya tidak sabar. Kok gak segera terungkap siapa Irfan.

“Ngurus usaha”, katanya.

Nah. Mulai terungkap sedikit. Tapi saya masih harus kejar lebih intensif. Sebelum turun nanti sudah harus jelas siapa Irfan.

“Usaha apa?” saya mulai to the point.

“Alat berat.”

Ups…

“Milik sendiri?”

“Iya.. “.

“Kok sekarang jadi sopir Taksi?”

“Saya bangkrut.”

“Oh…maafkan,” kata saya. Terdiam. Lama.

Lalu saya lihat layar HP itu. Yang dipasang di dashboard itu. Ada foto wanita. Mencolok. Berkebaya merah. Berjilbab. Duduk di dekat kursi mewah. Juga warna merah. Posisi duduk wanita itu seperti seorang yang tahu benar modeling. Kursinya seperti kursi raja.

“Itu foto di studio?”

“Di rumah saya,” katanya.

Ups…

“Ini istri saya,” kata Irfan. Ia tahu kalau saya tidak hanya terdiam. Tapi juga mengamati foto di layar HP itu.

Wanita itu berpenampilan luar biasa. Begitu mewah penampilannya. Maka saya pun terkejut yang kedua kalinya.

Sang istri ternyata Polwan. Dengan pangkat kolonel. Yang sekarang jadi ajudan salah seorang menteri.

Ups…

“Apakah istri membolehkan Anda jadi sopir Taksi?” tanya saya.

“Istri saya tidak pernah berkomentar tentang suaminya. Kalau dia berkomentar berarti bukan istri saya,” katanya.

Ups…

Yang punya potensi berkomentar adalah anak wanitanya. Anak sulung. Lulusan Binus. Yang kini jadi manajer di perusahaan asing.

“Tapi kalau sampai anak saya itu melarang bapaknya jadi sopir taksi saya akan minta padanya untuk antarkan bapaknya ini ke panti jompo,” ujar Irfan.

Dua anaknya yang lain masih kuliah dan SMA.

Ups…

Saya harus menemukan kejutan ketiga.

“Mau sampai kapan pegang taksi?” tanya saya.

“Sampai teman saya pulang,” katanya.

“Kapan ia pulang?”

“Tanggal 24 Januari depan.”

“Lho… Sudah dekat. Di mana ia sekarang?” tanya saya.

“Di Kelapa Dua.”

“Lho… Di tahanan?” tanya saya.

Irfan mengangguk.

Saya pun mengira ‘ia’ yang dimaksud adalah partner usahanya. Yang masuk tahanan karena bisnis. Yang begitu keluar tahanan bisa mulai bisnis lagi.

“Ia yang saya maksud adalah Ahok pak,” kata Irfan.

Busyet! Terkejut lagi saya.

Padahal sudah siap tidak terkejut biar pun akan ada kejutan baru.

“Saya teman Ahok sejak ia jadi gubernur Jakarta.”

“Berarti juga teman pak Jokowi.”

“Iya”.

“Berarti akan jemput Ahok saat dibebaskan nanti.”

“Tentu.”

“Jam berapa jemput Ahok?”

“Mestinya jam 9. Tapi kan biasa berubah-ubah.”

“Berarti tanggal 24 nanti tidak naksi.”

“Sebenarnya saya mau jemput Ahok bersama 1.500 orang yang saya kerahkan. Tapi tidak boleh. Takut ditunggangi” katanya.

Bisa mengerahkan massa begitu besar?

“Saya dulu satgas PDI-P. Waktu penyerangan di Jalan Diponegoro itu saya di sana,” tambahnya.

Irfan lantas jadi anggota DPRD Bekasi. Dari PDI.

Kenapa tidak nyaleg lagi. Bahkan untuk yang lebih tinggi?

Sebenarnya nyaleg lagi. Atas perintah Taufik Kemas, suami Megawati. Tapi gagal. Habis tiga rumah dan empat mobil.

Lalu jadi tim sukses Pilpres. Saat Mega berpasangan dengan Kyai Hasyim Muzadi.
Gagal lagi.

Irfan memutuskan meninggalkan politik. Pindah dari Bekasi. Menekuni bisnis.

Mengapa hidupnya begitu nrimo jadi sopir taksi? Apakah karena tidak perlu mikir dapur? Cukup isterinya yang kolonel polisi yang menghidupi?

Tidak.

Irfan merasa sudah punya banyak emas dan berlian. Emas itu adalah tiga anaknya. Yang pintar-pintar. Berlian itu adalah ibunya. Yang kini tinggal bersamanya di Cilangkap, Jakarta.

Kalau istrinya?

Sang istri adalah segala-galanya. Irfan sudah jatuh cinta pada istrinya sejak sama-sama kelas satu SMP. Ketika Irfan masuk STM listrik, sang istri masuk SMA yang berdekatan.
Lalu Irfan kuliah di Trisakti. Di fakultas ekonomi. Sambil bekerja di perusahaan pemasok spare part.

Pengalaman kerjanya itulah yang membuat Irfan ingin jadi pengusaha. Pengusaha spare part. Khusus untuk alat-alat berat. Lalu berkembang menjadi pengusaha alat berat. Meningkat pula ke kontraktor tambang.

Puncaknya adalah zaman akhir pemerintahan Pak SBY. Saat pertambangan nikel lagi booming. Saat ekspor bahan mentah masih bebas.

Alat beratnya mencapai 40 buah. Beroperasi di tambang-tambang nikel di Sulawesi Tenggara.
SBY lantas mengeluarkan kebijakan baru: melarang ekspor bahan mentah. Nikel harus diolah di dalam negeri. Melalui smelter-smelter di dekat tambang.

Pertambangan nikel langsung berhenti. Alat-alat berat menganggur. Tagihan tidak dibayar.
Sisa-sisa kekuatannya untuk usaha di Jawa. Mengerjakan tambang galian C. Milik seorang pejabat tinggi. Pembayarannya juga macet.

“Cekya masih di tangan saya,” kata Irfan.

Lalu ada proyek swasta lain: Meikarta. Sisa terakhir kemampuannya dikerahkan di sana: tidak dibayar juga.

Selesai.

Jadi sopir Taksi.

Bukan sopir sembarangan.

Penumpang asing dari mana pun bisa diajak bicara: Inggris, Jerman, Belanda, Mandarin, Jepang.

Ia juga jadi motivator. Untuk sesama sopir Blue Bird. Bosnya yang minta itu. Termasuk mengajari penggunaan Android di kalangan sopir.

Saya berharap lalu-lintas Jakarta macet. Agar bisa lebih lama ngobrol bersama Irfan.

Tapi lalu-lintas Jakarta lancar. Saya pun tiba di Fairmont Senayan.

Harus turun dari taksi. Ada rapat dengan pemilik grup Kompas Gramedia.

Sang sopir ikut turun.

“Kita berfoto dulu pak,” katanya.(dahlan iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/