29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 11:17 AM WIB

Tinta di Jari

Pemuda itu marah. Setiap kali melihat tinta di ujung jarinya. Marah pada dirinya sendiri. Mengapa tadi salah pilih?

Ia pun ambil pisau di dapur: ia potong ujung jarinya itu. Saudaranya kaget. Segera membawanya ke rumah sakit. Ujung jari itu pun dibalut perban. Lalu ada yang membuat video. Diunggah ke media sosial. Menjadi viral.

Sehari setelah pemilu di Indonesia itu India juga pemilu. Coblosan kita hari Rabu. India hari Kamis. Kita selesai dalam sehari. Pencoblosan di India baru selesai lima minggu yang akan datang. Tepatnya baru selesai tanggal 19 Mei 2019. Penghitungan suaranya akan memakan waktu 4 hari. Tanggal 24 Mei pemenangnya diumumkan.

Pemuda itu mencoblos di hari kedua: 19 April 2019. Hari itu mestinya ia gembira. Untuk pertama kalinya ikut Pemilu. Umurnya 25 tahun. Penduduk negara bagian Uttar Pradesh. Yang memiliki Taj Mahal itu. Nama pemuda tersebut: Pawan Kumar.

“Mau saya kan memilih gambar gajah. Mengapa saya memijit tombol bunga,” ujar Kumar dengan geramnya. Seperti disiarkan media di India. Yang videonya bisa dilihat di YouTube. Hanya video jari yang dibalut.

Pemilu di India sudah pakai elektronik. Pakai pijit tombol yang modern. Bukan coblos paku yang kuno.

Dosa salah pijit Kumar itu ia tebus dengan memotong ujung jari yang bertinta. Jari telunjuk. Tangan kiri.

Itulah ekspresi politik orang miskin di India. Tepatnya di Uttar Pradesh. Lebih tepatnya lagi orang termiskin. 

Anda sudah tahu. Di India ada empat kasta. Yang terendah adalah sudra. Tapi orang seperti Kumar itu tidak punya kasta. Sering juga secara mengejek disebut kasta kelima. Lebih tepatnya: tidak pantas masuk kasta. Yang terendah sekali pun.

Di India kelompok seperti Kumar itu disebut kaum Dalit. Arti Dalit sebenarnya baik: kaum mayoritas. Tapi secara politik mereka sangat minoritas.

Dulu sempat punya 21 wakil di parlemen pusat. Dalam pemilu 2014 lalu tidak satu kursi pun didapat. 

Keberadaan Dalit sebenarnya diakui di konstitusi India. Tapi sistem kasta di sana membuat posisi politik Dalit sangat terpinggirkan. 

Tahun 1980-an kesadaran politik mereka bangkit. Mendirikan partai: Bahujan Samaj (BS). Tapi eksisnya hanya di beberapa negara bagian utara. Khususnya Uttar Pradesh. Boleh dikata BS tidak pernah bisa menjadi partai nasional.

Kejayaannya terjadi saat BS  dipimpin seorang wanita bujangan: Mayawati. Dia lahir (1956) dari keluarga Dalit. Sangat memahami penderitaan wong cilik. Simbol-simbol minoritas jadi bahan kampanyenya. Termasuk kesederhanaan Budha. Yang jadi pilihan agamanya. Sekalian sebagai antitesa terhadap dominasi Hindu di sana.

Begitu dipuja Mayawati ini. Gelar pun silih berganti: Keajaiban Demokrasi, Iron Lady, Sang Budha Wanita.

BS pun berhasil menjadi partai terbesar di Uttar Pradesh. Mayawati jadi perdana menteri negara bagian itu. Yang penduduknya 205 juta itu.
Tapi secara nasional Mayawati dimusuhi. Beberapa kali dia di puncak kekuasaan. Selalu saja dijatuhkan. Dengan tuduhan korupsi. Tapi selalu tidak terbukti.

Status tersangka pertama saat Mayawati membangun infrastruktur ke arah Taj Mahal. Begitu babak belur namanya. Meski berhasil  bebas.

Yang kedua saat Mayawati membangun banyak taman, museum, monumen, patung-patung. Termasuk patung dirinya. Sebagai simbol kebangkitan kaum Dalit. Juga patung gajah. Yang bisa ditafsirkan sebagai lambang partainya.

Sekali lagi Mayawati tidak terbukti korupsi. Hanya saja pemerintah pusat memutuskan agar patung dirinya dan patung gajah itu diselimuti. Sampai pemilu berikutnya selesai.

Pemberontakan Mayawati pada pemerintah pusat itu lebih membuat pengikutnya gila padanya. Apalagi Mayawati melarikan tuduhan-tuduhan itu ke arah ras. Itu, katanya, sebagai bukti  adanya kekuasaan yang ‘anti Dalit’.

Tuduhan berikutnya saat dia berusaha taat membayar pajak. Pajaknya besar sekali: hampir Rp 40 miliar. Diusutlah. Dia kan kaum Dalit. Dari mana kekayaannya itu: korupsi.

Mayawati selalu bisa menjawab. Itu dari donasi jutaan orang Dalit. Sidang pengadilan pun digelar. Mayawati bebas.

Masih ada lagi. Soal bantuan Bank Dunia. Mayawati dianggap ogah-ogahan melaksanakannya. Lalu dituduh korupsi. Bebas lagi.

Tapi namanya terlanjur hancur. Di Pemilu yang lalu BS hanya bisa menjadi partai terbesar kedua di Uttar Pradesh. Memperoleh 19 dari 200-an kursi di parlemen negara bagian. Dan secara nasional kursinya nol. Dia sendiri terpaksa mundur dari jabatan ketua partai.

Saya pun ingin tahu nasib politik Dalit di Pemilu kali ini. Yang ‘gajah’ Dalit berada di tengah-tengah gajah bengkak: Partai Bharatiya Janata dan Partai Kongres. Perdana Menteri incumben Narendra Modi dan penantangnya: Raul Gandhi. Nasionalis Kanan Luar lawan Liberal Kiri Dalam.

Bunga lotus lawan gambar lima jari tangan kiri.(Dahlan Iskan)

 

Pemuda itu marah. Setiap kali melihat tinta di ujung jarinya. Marah pada dirinya sendiri. Mengapa tadi salah pilih?

Ia pun ambil pisau di dapur: ia potong ujung jarinya itu. Saudaranya kaget. Segera membawanya ke rumah sakit. Ujung jari itu pun dibalut perban. Lalu ada yang membuat video. Diunggah ke media sosial. Menjadi viral.

Sehari setelah pemilu di Indonesia itu India juga pemilu. Coblosan kita hari Rabu. India hari Kamis. Kita selesai dalam sehari. Pencoblosan di India baru selesai lima minggu yang akan datang. Tepatnya baru selesai tanggal 19 Mei 2019. Penghitungan suaranya akan memakan waktu 4 hari. Tanggal 24 Mei pemenangnya diumumkan.

Pemuda itu mencoblos di hari kedua: 19 April 2019. Hari itu mestinya ia gembira. Untuk pertama kalinya ikut Pemilu. Umurnya 25 tahun. Penduduk negara bagian Uttar Pradesh. Yang memiliki Taj Mahal itu. Nama pemuda tersebut: Pawan Kumar.

“Mau saya kan memilih gambar gajah. Mengapa saya memijit tombol bunga,” ujar Kumar dengan geramnya. Seperti disiarkan media di India. Yang videonya bisa dilihat di YouTube. Hanya video jari yang dibalut.

Pemilu di India sudah pakai elektronik. Pakai pijit tombol yang modern. Bukan coblos paku yang kuno.

Dosa salah pijit Kumar itu ia tebus dengan memotong ujung jari yang bertinta. Jari telunjuk. Tangan kiri.

Itulah ekspresi politik orang miskin di India. Tepatnya di Uttar Pradesh. Lebih tepatnya lagi orang termiskin. 

Anda sudah tahu. Di India ada empat kasta. Yang terendah adalah sudra. Tapi orang seperti Kumar itu tidak punya kasta. Sering juga secara mengejek disebut kasta kelima. Lebih tepatnya: tidak pantas masuk kasta. Yang terendah sekali pun.

Di India kelompok seperti Kumar itu disebut kaum Dalit. Arti Dalit sebenarnya baik: kaum mayoritas. Tapi secara politik mereka sangat minoritas.

Dulu sempat punya 21 wakil di parlemen pusat. Dalam pemilu 2014 lalu tidak satu kursi pun didapat. 

Keberadaan Dalit sebenarnya diakui di konstitusi India. Tapi sistem kasta di sana membuat posisi politik Dalit sangat terpinggirkan. 

Tahun 1980-an kesadaran politik mereka bangkit. Mendirikan partai: Bahujan Samaj (BS). Tapi eksisnya hanya di beberapa negara bagian utara. Khususnya Uttar Pradesh. Boleh dikata BS tidak pernah bisa menjadi partai nasional.

Kejayaannya terjadi saat BS  dipimpin seorang wanita bujangan: Mayawati. Dia lahir (1956) dari keluarga Dalit. Sangat memahami penderitaan wong cilik. Simbol-simbol minoritas jadi bahan kampanyenya. Termasuk kesederhanaan Budha. Yang jadi pilihan agamanya. Sekalian sebagai antitesa terhadap dominasi Hindu di sana.

Begitu dipuja Mayawati ini. Gelar pun silih berganti: Keajaiban Demokrasi, Iron Lady, Sang Budha Wanita.

BS pun berhasil menjadi partai terbesar di Uttar Pradesh. Mayawati jadi perdana menteri negara bagian itu. Yang penduduknya 205 juta itu.
Tapi secara nasional Mayawati dimusuhi. Beberapa kali dia di puncak kekuasaan. Selalu saja dijatuhkan. Dengan tuduhan korupsi. Tapi selalu tidak terbukti.

Status tersangka pertama saat Mayawati membangun infrastruktur ke arah Taj Mahal. Begitu babak belur namanya. Meski berhasil  bebas.

Yang kedua saat Mayawati membangun banyak taman, museum, monumen, patung-patung. Termasuk patung dirinya. Sebagai simbol kebangkitan kaum Dalit. Juga patung gajah. Yang bisa ditafsirkan sebagai lambang partainya.

Sekali lagi Mayawati tidak terbukti korupsi. Hanya saja pemerintah pusat memutuskan agar patung dirinya dan patung gajah itu diselimuti. Sampai pemilu berikutnya selesai.

Pemberontakan Mayawati pada pemerintah pusat itu lebih membuat pengikutnya gila padanya. Apalagi Mayawati melarikan tuduhan-tuduhan itu ke arah ras. Itu, katanya, sebagai bukti  adanya kekuasaan yang ‘anti Dalit’.

Tuduhan berikutnya saat dia berusaha taat membayar pajak. Pajaknya besar sekali: hampir Rp 40 miliar. Diusutlah. Dia kan kaum Dalit. Dari mana kekayaannya itu: korupsi.

Mayawati selalu bisa menjawab. Itu dari donasi jutaan orang Dalit. Sidang pengadilan pun digelar. Mayawati bebas.

Masih ada lagi. Soal bantuan Bank Dunia. Mayawati dianggap ogah-ogahan melaksanakannya. Lalu dituduh korupsi. Bebas lagi.

Tapi namanya terlanjur hancur. Di Pemilu yang lalu BS hanya bisa menjadi partai terbesar kedua di Uttar Pradesh. Memperoleh 19 dari 200-an kursi di parlemen negara bagian. Dan secara nasional kursinya nol. Dia sendiri terpaksa mundur dari jabatan ketua partai.

Saya pun ingin tahu nasib politik Dalit di Pemilu kali ini. Yang ‘gajah’ Dalit berada di tengah-tengah gajah bengkak: Partai Bharatiya Janata dan Partai Kongres. Perdana Menteri incumben Narendra Modi dan penantangnya: Raul Gandhi. Nasionalis Kanan Luar lawan Liberal Kiri Dalam.

Bunga lotus lawan gambar lima jari tangan kiri.(Dahlan Iskan)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/