29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 0:47 AM WIB

Gagal Paham Tangani Pandemi Covid-19

MINIMNYA tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kemaslahatan bersama menjadi persoalan serius di tengah pandemi corona virus diseases 2019 (Covid-19).

Apalagi, banyak persepsi muncul di tengah masyarakat terkait masalah ini. Mulai dari sumber virus yang tidak bisa ditemukan titik terangnya sampai sekarang.

Sebagaimana diketahui, ada yang mengatakan bahwa virus corona bersumber dari jenis hewan mamalia yakni kelelawar.

Persepsi lain virus tersebut sangaja dibuat oleh pihat tertentu sebagai senjata biologis. Tapi, tidak satu pun yang bisa memastikan informasi secara emperis sampai sekarang.

Dalam perspektif agama, segala sumber penyakit berasal dari sang pencipta baik berupa penyakit dalam konteks ini pandemi Covid-19.

Semua itu adalah sebagai bentuk ujian dari sang pencipta untuk menguji tingkat kesabaran hambanya dalam menghadapi penyakit.

Memang semua hal ini tidak mudah pada proses implementasi dalam kehidupan. Semua butuh modal kesabaran supaya dapat mencapai tujuan secara maksimal.

WHO sendiri dalam pernyataannya mengatakan, Covid-19 adalah suatu penyakit yang sangat cepat proses penularannya.

Pernyataaan ini diapresiasi oleh para ulama di semua negara seperti tokoh ulama Mesir, Yaman, Malaysia, Maroko, Tunisia, Jazair dan Arab Saudi.

Bentuk apresiasinya dengan mengeluarkan fatwa dalam konteks dalam rangka untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.

Pemerintah Indonesia juga mengapresiasi fatwa tersebut melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Usaha yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan dalam konteks bernegara yakni pemerintah untuk memberikan instruksi kepada masyarakat secara massif.

Hal ini dilakukan  melalui beberapa metode baik secara medis yakni hidup sehat, secara religi yakni hidup beragama, secara ekonomi hidup bermuamalah atau dagang.

Semua hal ini diyakini dapat meminalisir penyebaran dari Covid-19 tersebut. Namun, pada realitanya kebanyakan masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk menjalani instruksi tersebut.

Jika diperhatikan secara deligitas identitas bernegara posisinya sebagai warga negara yang memiliki kewajiban untuk menjalani “samiqna waatoqna” atau patuh dan taat kepada seruan pemimpin.

Kebijakan dan fatwa yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui MUI dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan

cara physical distancing atau menjaga jarak fisik dari orang lain minimal 1-2 meter dan sosial distancing atau menghindari tempat umum.

Namun, kebijakan ini menjadi polemik saat diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Kebijakan  ini menjadi sorotan dan perbincangan di kalangan umat Islam.

Para cendikiwan Muslim pun mengambil, bahwa kebijakan physical distancing dan sosial distancing tidak semata-mata dari pemerintah sendiri yakni MUI, Kepolisian dan TNI,

tetapi semua hal ini merupakan perintah Allah yang disampaikan secara langsung dalam firman dan melalui sabda Nabi Muhammad SAW.

Dalam QS.4.71 Allah SWT berfirman

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama”

Dalam Q.S. 2.195 Allah SWT Berfirman

“Jangan menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan”

Dalam konteks menghindari wabah penyakit menular hal ini juga senada dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang mengatakan bahwa.

“Hindari orang yang kena penyakit menular seperti engkau menghindari dirimu dari seekor singa”

 

Berdasarkan firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad Saw di atas sudah jelas bahwa menjahui wabah penyakit menular adalah

perintah Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad Saw yang harus kita patuhi dan taati sebagai ummat Islam dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama.

Namun sayangnya masih ada yang bersikeras ingin melakukan salat berjamah dan salat Jum’at dengan alasan menegakkan syiar Islam.

Padahal, wilayahnya termasuk zona merah. Merujuk dalam sebuah Kitab Fathul Bari juz 10 “ berdiam di rumah atau Stay At Home saat wabah itu berpahala, bahkan pahalanya seperti orang yang mati syahid”

Dalam konteks ini, beribadah seperti ini adalah beribadah semata-mata karena nafsu bukan karena ilmu sehingga hal ini bisa dikatakan masyarakat gagal paham dalam meminalisasi pandemic Covid-19.

Dalam konteks yang berbeda dan sangat menarik dari sisi penanganan suatu wabah penyakit hal ini dikemukakan oleh ahli kesehatan yang merupakan pakar filsup dalam bidang kesehatan dari kalangan Islam yang popular yakni Ibnu Sina.

Ibnu Sina pernah mengatakan ada 3 tips untuk mejaga diri agar tetap sehat sebagai mana dikutip oleh Musthofa Husni dalam kitabnya berjudul Isy Allahzah (Athlas Lin Nashri Wal Intaji Wal I’ilamiy, 2015, cet hal.161) sebagai berikut.

“1) kepanikan adalah separuh penyakit. 2) ketenangan adalah separuh obat. 3) kesabaran adalah awal dari kesembuhan”

Berdasar pendapat dari Ibnu Sina di atas jika diperhatikan dari sisi konteks memang hal ini sangat masuk akal jika ditinjau kembali kebijkan di atas yang masih kontrovesial dan menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat pada saat ini.

Kebijakan physical distancing dan sosial distancing dalam konteks ibadah semua tempat ibadah ditutup jika dikategorikan zona merah pada konteks ini masyarakat

menjadi panik ketika melihat lokasi atau tempat lain tidak ditutup seperti tempat ibadah yakni Mall dan Pasar tradisional tidak ditutup masih dibuka sampai saat ini.

Hal inilah yang memicu rasa panik, tidak nyaman dan tidak sabar yang dialami oleh masyarakat sehinga munculnya gejala macam penyakit karena merasa kebijakan yang diberlakukan pemerintah tidak adil.

Pertanyaannya, apakah dalam konteks ini pemerintah gagal paham dalam meminalisir pandemi Covid-19???

Konteks Stay at Home atau diam di rumah memiliki makna jika dilihat dari segi konteks ibadah patut diapresiasi.

Stah at Home merupakan kebijakan pemerintah karena ibadah di rumah pahalanya sama ketika sebelumnya sering dilakukan secara berjamaah di masjid.

Maka ummat Islam jangan panik, harap tenang dan selalu bersabar meskipun ibadah dirumah sama nilainya dihadapan sang pencipta karena dalam beragama tidak dipersulit pasti diberi

kemudahan lebih-lebih dalam konteks pandemi covid-19 hal ini harus dipahami bersama dan diaplikasikan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.

Hal ironis dalam konteks Stay at Home atau diam di rumah memiliki makna jika dilihat dari ekonomi adalah kebijakan yang tidak adil.

Hal ini apabila ditinjau dari sisi kesejahteraan masyarakat, jelas ini menjadi sorotan. Hal sangat wajar yang dilakukan oleh masyarakat untuk tidak Stay at Home atau diam di rumah  karena panik dan tidak merasa nyaman.

Apalagi jika dilakukan oleh seorang kepala keluarga yang berusaha menjalani ikhtiar atau usaha mencari rezki untuk memenuhi nafkah anak-anaknya dan istrinya yang butuh makan dan minum setiap hari.

Makanya tidak wajar Stay at Home diam di rumah. Regulasi akan berjalan lancar apabila diberikan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari .

Hal ini menjadi evalusi bagi pemerintah. Dalam konteks ini jangan pemerintah menyalahkan masyarakat atau rakyat yang masih keluyuran atau masih

keluar rumah untuk mencari sesuap nasi bagi anak dan istri karena sumbangan yang diberikan dan diharapkan oleh masyarakat tidak merata di lapangan.

Padahal, jika dilihat dari statistik nomina anggaran dari APBN sudah cukup besar untuk penanganan Covid-19.

Yang dikhawatirkan adalah sikap tidak amanah yang terjadi dalam menjalani tugas dalam pengelolaan dana tersebut dengan mengambil kesempatan untuk disalahgunakan oleh para pemangku kebijakan mulai dari pusat sampai tingkat Desa.

Jangan kaget bahwa negara Indonesia yang sama-sama kiata cintai ini menjadi peringkat pertama di Asia Tenggara dalam nominal yang terjangkit pandemi Covid-19 saat ini.

Semua hal ini disebabkan karena sebagian besar banyak masyarakat yang belum sejahtera untuk siap diam di rumah saja.

Hal ini menjadi pertanyaan yang besar, apakah masyarakat atau justru pemerintah yang gagal paham dalam meminimalisasi pandemi Covid-19 ini. (Kholid/Dosen Fakultas Sastra Universitas NW Mataram/Mahasiswa S3 Linguistik FIB Unud Bali).

MINIMNYA tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kemaslahatan bersama menjadi persoalan serius di tengah pandemi corona virus diseases 2019 (Covid-19).

Apalagi, banyak persepsi muncul di tengah masyarakat terkait masalah ini. Mulai dari sumber virus yang tidak bisa ditemukan titik terangnya sampai sekarang.

Sebagaimana diketahui, ada yang mengatakan bahwa virus corona bersumber dari jenis hewan mamalia yakni kelelawar.

Persepsi lain virus tersebut sangaja dibuat oleh pihat tertentu sebagai senjata biologis. Tapi, tidak satu pun yang bisa memastikan informasi secara emperis sampai sekarang.

Dalam perspektif agama, segala sumber penyakit berasal dari sang pencipta baik berupa penyakit dalam konteks ini pandemi Covid-19.

Semua itu adalah sebagai bentuk ujian dari sang pencipta untuk menguji tingkat kesabaran hambanya dalam menghadapi penyakit.

Memang semua hal ini tidak mudah pada proses implementasi dalam kehidupan. Semua butuh modal kesabaran supaya dapat mencapai tujuan secara maksimal.

WHO sendiri dalam pernyataannya mengatakan, Covid-19 adalah suatu penyakit yang sangat cepat proses penularannya.

Pernyataaan ini diapresiasi oleh para ulama di semua negara seperti tokoh ulama Mesir, Yaman, Malaysia, Maroko, Tunisia, Jazair dan Arab Saudi.

Bentuk apresiasinya dengan mengeluarkan fatwa dalam konteks dalam rangka untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.

Pemerintah Indonesia juga mengapresiasi fatwa tersebut melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Usaha yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan dalam konteks bernegara yakni pemerintah untuk memberikan instruksi kepada masyarakat secara massif.

Hal ini dilakukan  melalui beberapa metode baik secara medis yakni hidup sehat, secara religi yakni hidup beragama, secara ekonomi hidup bermuamalah atau dagang.

Semua hal ini diyakini dapat meminalisir penyebaran dari Covid-19 tersebut. Namun, pada realitanya kebanyakan masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk menjalani instruksi tersebut.

Jika diperhatikan secara deligitas identitas bernegara posisinya sebagai warga negara yang memiliki kewajiban untuk menjalani “samiqna waatoqna” atau patuh dan taat kepada seruan pemimpin.

Kebijakan dan fatwa yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui MUI dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan

cara physical distancing atau menjaga jarak fisik dari orang lain minimal 1-2 meter dan sosial distancing atau menghindari tempat umum.

Namun, kebijakan ini menjadi polemik saat diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Kebijakan  ini menjadi sorotan dan perbincangan di kalangan umat Islam.

Para cendikiwan Muslim pun mengambil, bahwa kebijakan physical distancing dan sosial distancing tidak semata-mata dari pemerintah sendiri yakni MUI, Kepolisian dan TNI,

tetapi semua hal ini merupakan perintah Allah yang disampaikan secara langsung dalam firman dan melalui sabda Nabi Muhammad SAW.

Dalam QS.4.71 Allah SWT berfirman

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama”

Dalam Q.S. 2.195 Allah SWT Berfirman

“Jangan menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan”

Dalam konteks menghindari wabah penyakit menular hal ini juga senada dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang mengatakan bahwa.

“Hindari orang yang kena penyakit menular seperti engkau menghindari dirimu dari seekor singa”

 

Berdasarkan firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad Saw di atas sudah jelas bahwa menjahui wabah penyakit menular adalah

perintah Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad Saw yang harus kita patuhi dan taati sebagai ummat Islam dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama.

Namun sayangnya masih ada yang bersikeras ingin melakukan salat berjamah dan salat Jum’at dengan alasan menegakkan syiar Islam.

Padahal, wilayahnya termasuk zona merah. Merujuk dalam sebuah Kitab Fathul Bari juz 10 “ berdiam di rumah atau Stay At Home saat wabah itu berpahala, bahkan pahalanya seperti orang yang mati syahid”

Dalam konteks ini, beribadah seperti ini adalah beribadah semata-mata karena nafsu bukan karena ilmu sehingga hal ini bisa dikatakan masyarakat gagal paham dalam meminalisasi pandemic Covid-19.

Dalam konteks yang berbeda dan sangat menarik dari sisi penanganan suatu wabah penyakit hal ini dikemukakan oleh ahli kesehatan yang merupakan pakar filsup dalam bidang kesehatan dari kalangan Islam yang popular yakni Ibnu Sina.

Ibnu Sina pernah mengatakan ada 3 tips untuk mejaga diri agar tetap sehat sebagai mana dikutip oleh Musthofa Husni dalam kitabnya berjudul Isy Allahzah (Athlas Lin Nashri Wal Intaji Wal I’ilamiy, 2015, cet hal.161) sebagai berikut.

“1) kepanikan adalah separuh penyakit. 2) ketenangan adalah separuh obat. 3) kesabaran adalah awal dari kesembuhan”

Berdasar pendapat dari Ibnu Sina di atas jika diperhatikan dari sisi konteks memang hal ini sangat masuk akal jika ditinjau kembali kebijkan di atas yang masih kontrovesial dan menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat pada saat ini.

Kebijakan physical distancing dan sosial distancing dalam konteks ibadah semua tempat ibadah ditutup jika dikategorikan zona merah pada konteks ini masyarakat

menjadi panik ketika melihat lokasi atau tempat lain tidak ditutup seperti tempat ibadah yakni Mall dan Pasar tradisional tidak ditutup masih dibuka sampai saat ini.

Hal inilah yang memicu rasa panik, tidak nyaman dan tidak sabar yang dialami oleh masyarakat sehinga munculnya gejala macam penyakit karena merasa kebijakan yang diberlakukan pemerintah tidak adil.

Pertanyaannya, apakah dalam konteks ini pemerintah gagal paham dalam meminalisir pandemi Covid-19???

Konteks Stay at Home atau diam di rumah memiliki makna jika dilihat dari segi konteks ibadah patut diapresiasi.

Stah at Home merupakan kebijakan pemerintah karena ibadah di rumah pahalanya sama ketika sebelumnya sering dilakukan secara berjamaah di masjid.

Maka ummat Islam jangan panik, harap tenang dan selalu bersabar meskipun ibadah dirumah sama nilainya dihadapan sang pencipta karena dalam beragama tidak dipersulit pasti diberi

kemudahan lebih-lebih dalam konteks pandemi covid-19 hal ini harus dipahami bersama dan diaplikasikan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.

Hal ironis dalam konteks Stay at Home atau diam di rumah memiliki makna jika dilihat dari ekonomi adalah kebijakan yang tidak adil.

Hal ini apabila ditinjau dari sisi kesejahteraan masyarakat, jelas ini menjadi sorotan. Hal sangat wajar yang dilakukan oleh masyarakat untuk tidak Stay at Home atau diam di rumah  karena panik dan tidak merasa nyaman.

Apalagi jika dilakukan oleh seorang kepala keluarga yang berusaha menjalani ikhtiar atau usaha mencari rezki untuk memenuhi nafkah anak-anaknya dan istrinya yang butuh makan dan minum setiap hari.

Makanya tidak wajar Stay at Home diam di rumah. Regulasi akan berjalan lancar apabila diberikan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari .

Hal ini menjadi evalusi bagi pemerintah. Dalam konteks ini jangan pemerintah menyalahkan masyarakat atau rakyat yang masih keluyuran atau masih

keluar rumah untuk mencari sesuap nasi bagi anak dan istri karena sumbangan yang diberikan dan diharapkan oleh masyarakat tidak merata di lapangan.

Padahal, jika dilihat dari statistik nomina anggaran dari APBN sudah cukup besar untuk penanganan Covid-19.

Yang dikhawatirkan adalah sikap tidak amanah yang terjadi dalam menjalani tugas dalam pengelolaan dana tersebut dengan mengambil kesempatan untuk disalahgunakan oleh para pemangku kebijakan mulai dari pusat sampai tingkat Desa.

Jangan kaget bahwa negara Indonesia yang sama-sama kiata cintai ini menjadi peringkat pertama di Asia Tenggara dalam nominal yang terjangkit pandemi Covid-19 saat ini.

Semua hal ini disebabkan karena sebagian besar banyak masyarakat yang belum sejahtera untuk siap diam di rumah saja.

Hal ini menjadi pertanyaan yang besar, apakah masyarakat atau justru pemerintah yang gagal paham dalam meminimalisasi pandemi Covid-19 ini. (Kholid/Dosen Fakultas Sastra Universitas NW Mataram/Mahasiswa S3 Linguistik FIB Unud Bali).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/