26.3 C
Jakarta
23 November 2024, 23:40 PM WIB

Cerita Duka Tiga Bersaudara di Sukasada : Makan Nasi Tanpa Lauk pun Sudah Senang

Mereka tiga bersaudara. Tinggal di Kelurahan Sukasada, hidup serba pas-pasan. Mereka hidup dalam kondisi miskin. Untuk mengakses rumahnya pun sulit, hanya bisa dengan jalan kaki. Dalam kondisi serba pas-pasan, mereka masih bersyukur karena bisa makan nasi.

 

KETIGA lansia itu tersenyum saat wartawan datang ke pondok mereka, di Lingkungan Sangket, Kelurahan Sukasada. Lansia-lansia itu adalah Made Sari, 78; Made Ngurah, 75; dan Ketut Sasih, 70. Mereka merupakan saudara sekandung.

Tak mudah menemukan pondok mereka. Harus datang ke wilayah RT V Lingkungan Sangket. Sampai di ujung jalan, harus berjalan kaki melalui terasering persawahan. Selanjutnya menuruni anak tangga di pinggir tebing. Di dasar tebing itu ketiganya tinggal.

Di sana ada lima buah gubuk. Sebanyak tiga gubuk digunakan untuk kamar tidur, dan lainnya berupa dapur. Bangunan itu hanya berupa dinding batu yang direkatkan tanah liat.

“Sudah tinggal di sini dari dulu. Niki warisan dari tetua tyangTen wenten tempat lain,” ungkap Ketut Sasih, saat ditemui pagi kemarin.

Mereka hidup saling melengkapi. Tak ada seorang pun yang menikah. Sehingga mereka saling mendukung satu sama lain.

Saat masih bertenaga, mereka biasa bekerja sebagai juru panen padi. Bila taka da pekerjaan, biasanya mereka mencari kayu bakar. Terkadang mencari daun pandan dan daun pisang. Selanjutnya daun-daun itu digunakan sebagai alas sarana upakara dan dijual dengan harga seadanya.

Sasih bercerita, dia kerap mencari pekerjaan sebagai buruh tani ke Desa Sambangan. Biasanya dia ke Sambangan dengan berjalan kaki, melalui jalan setapak. Meski jaraknya tak seberapa, tapi dia harus menempuh waktu hingga dua jam.

Namun kini dia tak mampu lagi pergi jauh. Kondisinya sudah renta dan sakit-sakitan. Ketut Sasih kini mengalami asam urat. Saudaranya, Made Ngurah hanya mampu berjalan dengan tongkat. Sementara Made Sari mengalami scoliosis dan sudah sering sempoyongan.

“Sekarang sudah sakit-sakitan. Kanggoang cari daun pisang atau buah, atau apa saja yang ada di sini. Nanti dijual ke pasar,” ceritanya.

Bila mendapat uang dari hasil menjual daun, Sasih akan segera membeli beras. Mereka akan memakan nasi itu dengan garam dan minyak, tanpa lauk. Bila tak ada beras, mereka harus puas makan dengan nasi jagung.

Terkadang keponakan-keponakan mereka dating membawa beras seadanya. Tapi mereka tak bisa menggantungkan harapan pada sang ponakan.

“Keponakan saya juga buruh bangunan. Untuk keluarganya saja susah. Jadi apa yang ada, itu yang dimakan. Kadang ada hasil dari jual daun, syukur bisa beli beras untuk makan,” ceirtanya.

Ketua RT V Lingkungan Sangket, Made Ariada mengatakan, ketiganya memang hidup dalam kondisi miskin. Mereka tak tersentuh bantuan, karena status keluarganya menumpang dengan salah satu keponakannya.

Ariada menjelaskan, keponakannya juga dalam kondisi tidak mampu. “Kalau keponakannya sudah dapat program PKH. Kondisinya memang tidak mampu. Rumah keponakannya agak jauh dari rumah mereka, tapi sering kok keponakannya datang,” ujar Ariada.

Melihat kondisi ketiganya, Ariasa mengaku akan mengusulkan pemecahan kepala keluarga. Ia akan mengusulkan agar Ketut Sasih dan kakak-kakaknya bisa memiliki kartu keluarga sendiri. “Biar bisa dapat bantuan juga. Nanti kami usulkan sama kepala lingkungan,” demikian Ariada. (eka prasetia/pit)

 

Mereka tiga bersaudara. Tinggal di Kelurahan Sukasada, hidup serba pas-pasan. Mereka hidup dalam kondisi miskin. Untuk mengakses rumahnya pun sulit, hanya bisa dengan jalan kaki. Dalam kondisi serba pas-pasan, mereka masih bersyukur karena bisa makan nasi.

 

KETIGA lansia itu tersenyum saat wartawan datang ke pondok mereka, di Lingkungan Sangket, Kelurahan Sukasada. Lansia-lansia itu adalah Made Sari, 78; Made Ngurah, 75; dan Ketut Sasih, 70. Mereka merupakan saudara sekandung.

Tak mudah menemukan pondok mereka. Harus datang ke wilayah RT V Lingkungan Sangket. Sampai di ujung jalan, harus berjalan kaki melalui terasering persawahan. Selanjutnya menuruni anak tangga di pinggir tebing. Di dasar tebing itu ketiganya tinggal.

Di sana ada lima buah gubuk. Sebanyak tiga gubuk digunakan untuk kamar tidur, dan lainnya berupa dapur. Bangunan itu hanya berupa dinding batu yang direkatkan tanah liat.

“Sudah tinggal di sini dari dulu. Niki warisan dari tetua tyangTen wenten tempat lain,” ungkap Ketut Sasih, saat ditemui pagi kemarin.

Mereka hidup saling melengkapi. Tak ada seorang pun yang menikah. Sehingga mereka saling mendukung satu sama lain.

Saat masih bertenaga, mereka biasa bekerja sebagai juru panen padi. Bila taka da pekerjaan, biasanya mereka mencari kayu bakar. Terkadang mencari daun pandan dan daun pisang. Selanjutnya daun-daun itu digunakan sebagai alas sarana upakara dan dijual dengan harga seadanya.

Sasih bercerita, dia kerap mencari pekerjaan sebagai buruh tani ke Desa Sambangan. Biasanya dia ke Sambangan dengan berjalan kaki, melalui jalan setapak. Meski jaraknya tak seberapa, tapi dia harus menempuh waktu hingga dua jam.

Namun kini dia tak mampu lagi pergi jauh. Kondisinya sudah renta dan sakit-sakitan. Ketut Sasih kini mengalami asam urat. Saudaranya, Made Ngurah hanya mampu berjalan dengan tongkat. Sementara Made Sari mengalami scoliosis dan sudah sering sempoyongan.

“Sekarang sudah sakit-sakitan. Kanggoang cari daun pisang atau buah, atau apa saja yang ada di sini. Nanti dijual ke pasar,” ceritanya.

Bila mendapat uang dari hasil menjual daun, Sasih akan segera membeli beras. Mereka akan memakan nasi itu dengan garam dan minyak, tanpa lauk. Bila tak ada beras, mereka harus puas makan dengan nasi jagung.

Terkadang keponakan-keponakan mereka dating membawa beras seadanya. Tapi mereka tak bisa menggantungkan harapan pada sang ponakan.

“Keponakan saya juga buruh bangunan. Untuk keluarganya saja susah. Jadi apa yang ada, itu yang dimakan. Kadang ada hasil dari jual daun, syukur bisa beli beras untuk makan,” ceirtanya.

Ketua RT V Lingkungan Sangket, Made Ariada mengatakan, ketiganya memang hidup dalam kondisi miskin. Mereka tak tersentuh bantuan, karena status keluarganya menumpang dengan salah satu keponakannya.

Ariada menjelaskan, keponakannya juga dalam kondisi tidak mampu. “Kalau keponakannya sudah dapat program PKH. Kondisinya memang tidak mampu. Rumah keponakannya agak jauh dari rumah mereka, tapi sering kok keponakannya datang,” ujar Ariada.

Melihat kondisi ketiganya, Ariasa mengaku akan mengusulkan pemecahan kepala keluarga. Ia akan mengusulkan agar Ketut Sasih dan kakak-kakaknya bisa memiliki kartu keluarga sendiri. “Biar bisa dapat bantuan juga. Nanti kami usulkan sama kepala lingkungan,” demikian Ariada. (eka prasetia/pit)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/