26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:04 AM WIB

Kupas Perjuangan Aktivis Tumbangkan Rezim Lewat Lelaki di Tengah Hujan

Peristiwa 21 Mei 1998 menjadi salah satu sejarah penting bangsa ini. Peristiwa ini sendiri adalah momentum runtuhnya rezim orde baru.

Lewat gerakan mahasiswa tersebutlah akhirnya Soeharto mundur, meski perjuangan tersebut harus dibayar dengan aksi penembakan mahasiswa. Seperti apa?

 

ZULFIKA RAHMAN, Denpasar

SEBELUM memasuki era 98 ini, ada banyak peristiwa pergolakan mahasiswa atau angkatan muda yang ingin mendesak rezim penguasa untuk mundur.

Puncaknya, terjadi upaya penghilangan paksa beberapa orang aktivis dan seniman kontra pemerintah, salah satunya seniman Wiji Thukul yang dianggap melawan rezim saat itu.

Gerakan Mei 98 tersebut merupakan puncak dari gerakan angkatan muda yang berhasil mendesak Soeharto untuk mundur dari tampuk kekuasaan yang telah dijabat hingga 32 tahun.

Hal tersebut coba di ulas Wenri Wanhar dalam bukunya berjudul Lelaki di Tengah Hujan. Novel setebal 393 ini mencoba mengulas

fakta-fakta menarik yang dikemas dengan fiksi roman dengan menampilkan tokoh utama bernama Bujang Parewa. 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar ikut menyajikan penulis yang juga sebagai jurnalis JPNN ini untuk menggelar diskusi di Denpasar.

Diskusi yang dikemas santai tersebut digelar di Warung Nyoman, Jalan Merdeka Denpasar, Jumat (19/4) malam lalu.

Selain menghadirkan penulis, juga menghadirkan beberapa pembicara yang memiliki kaitan dari gerakan-gerakan mahasiswa yang diulas dalam buku tersebut.

Dipandu moderator Erick EST, hadir yakni Hartanto (Jurnalis Senior Majalah Matra), Roberto Hutabarat (Aktivis 98) dan Wayan Jengki Sunarta (Sastrawan).

Dalam pemaparannya, Wenri menuturkan bahwa karya ini lahir dari hasil catatan-catatan yang ia kumpulkan sejak tahun 1999, saat menjadi mahasiwa Universitas Bung Karno (UBK). 

Buku ini membuka mata pembaca bahwa saat gerakan tersebut terjadi, ada gerakan luar biasa yang dimotori oleh pemuda-pemuda pemberani yang menumbangkan rezim penguasa saat itu.

Yang memfokuskan pada satu karakter bernama Bujang Parewa itu. Bujang sendiri merupakan seorang mahasiswa UNS yang kesadaran akan ketertindasannya mulai terbuka saat ia mengikuti kegiatan pers mahasiswa.

Melalui berbagai gerakan mahasiswa yang ia pimpin, dan berbagai usaha untuk menghindari tentara rezim, Bujang Parewa dan ribuan mahasiswa lainnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.

Perjalanannya dari Solo ke Jakarta bukan hal yang mudah. Pendidikan, keluarga, sahabat, dan cinta adalah hal yang harus dia korbankan sebagai seorang aktivis sekaligus mahasiswa.

“Namun Bujang Parewa ini tidak mengacu satu tokoh saja, melainkan repsentasi dari beberapa tokoh-tokoh yang menginisiasi sebuah gerakan yang hingga puncaknya itu pada Mei 98,” jelasnya. 

Salah satu aktivis 98, Roberto Hutabarat yang merupakan mahasiswa jurusana sastra Universitas Udayana menuturkan bahwa gerakan-gerakan yang ada di wilayah Bali tidak semasif di Jawa.

Namun, melalui koneksi-koneksi antarorganisasi mahasiswa gerakan-gerakan tersebut bisa terlecut menyuarakan satu suara untuk perubahan.

“Nama-nama yang ada di buku ini sebagian besar saya kenal. Jadi buku ini semacam nostalgia. Novel ini sangat bagus, dengan kemasan novel berbasis fakta-fakta, data yang suguhkan sungguh kuat,” bebernya.

Sementara itu, Jengki Sunarta mengungkapkan bahwa tulisan dengan kemasan sastra ini memberi referensi baru untuk lebih mengentahui gerakan pra 98.

Meski diakui, ada beberapa hal yang menurutnya bisa membingungkan pembaca awam tentang tokoh-tokoh di dalam buku ini.

Misalnya antara tokoh satu dua dan tiga yang terkadang menjadi penutur yang kerap berubah. “Buku ini memang sangat bagus dan menjadi pengantar masyarakat yang ingin lebih tahu tentang cerita gerakan 98,” tutupnya. (*)

Peristiwa 21 Mei 1998 menjadi salah satu sejarah penting bangsa ini. Peristiwa ini sendiri adalah momentum runtuhnya rezim orde baru.

Lewat gerakan mahasiswa tersebutlah akhirnya Soeharto mundur, meski perjuangan tersebut harus dibayar dengan aksi penembakan mahasiswa. Seperti apa?

 

ZULFIKA RAHMAN, Denpasar

SEBELUM memasuki era 98 ini, ada banyak peristiwa pergolakan mahasiswa atau angkatan muda yang ingin mendesak rezim penguasa untuk mundur.

Puncaknya, terjadi upaya penghilangan paksa beberapa orang aktivis dan seniman kontra pemerintah, salah satunya seniman Wiji Thukul yang dianggap melawan rezim saat itu.

Gerakan Mei 98 tersebut merupakan puncak dari gerakan angkatan muda yang berhasil mendesak Soeharto untuk mundur dari tampuk kekuasaan yang telah dijabat hingga 32 tahun.

Hal tersebut coba di ulas Wenri Wanhar dalam bukunya berjudul Lelaki di Tengah Hujan. Novel setebal 393 ini mencoba mengulas

fakta-fakta menarik yang dikemas dengan fiksi roman dengan menampilkan tokoh utama bernama Bujang Parewa. 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar ikut menyajikan penulis yang juga sebagai jurnalis JPNN ini untuk menggelar diskusi di Denpasar.

Diskusi yang dikemas santai tersebut digelar di Warung Nyoman, Jalan Merdeka Denpasar, Jumat (19/4) malam lalu.

Selain menghadirkan penulis, juga menghadirkan beberapa pembicara yang memiliki kaitan dari gerakan-gerakan mahasiswa yang diulas dalam buku tersebut.

Dipandu moderator Erick EST, hadir yakni Hartanto (Jurnalis Senior Majalah Matra), Roberto Hutabarat (Aktivis 98) dan Wayan Jengki Sunarta (Sastrawan).

Dalam pemaparannya, Wenri menuturkan bahwa karya ini lahir dari hasil catatan-catatan yang ia kumpulkan sejak tahun 1999, saat menjadi mahasiwa Universitas Bung Karno (UBK). 

Buku ini membuka mata pembaca bahwa saat gerakan tersebut terjadi, ada gerakan luar biasa yang dimotori oleh pemuda-pemuda pemberani yang menumbangkan rezim penguasa saat itu.

Yang memfokuskan pada satu karakter bernama Bujang Parewa itu. Bujang sendiri merupakan seorang mahasiswa UNS yang kesadaran akan ketertindasannya mulai terbuka saat ia mengikuti kegiatan pers mahasiswa.

Melalui berbagai gerakan mahasiswa yang ia pimpin, dan berbagai usaha untuk menghindari tentara rezim, Bujang Parewa dan ribuan mahasiswa lainnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.

Perjalanannya dari Solo ke Jakarta bukan hal yang mudah. Pendidikan, keluarga, sahabat, dan cinta adalah hal yang harus dia korbankan sebagai seorang aktivis sekaligus mahasiswa.

“Namun Bujang Parewa ini tidak mengacu satu tokoh saja, melainkan repsentasi dari beberapa tokoh-tokoh yang menginisiasi sebuah gerakan yang hingga puncaknya itu pada Mei 98,” jelasnya. 

Salah satu aktivis 98, Roberto Hutabarat yang merupakan mahasiswa jurusana sastra Universitas Udayana menuturkan bahwa gerakan-gerakan yang ada di wilayah Bali tidak semasif di Jawa.

Namun, melalui koneksi-koneksi antarorganisasi mahasiswa gerakan-gerakan tersebut bisa terlecut menyuarakan satu suara untuk perubahan.

“Nama-nama yang ada di buku ini sebagian besar saya kenal. Jadi buku ini semacam nostalgia. Novel ini sangat bagus, dengan kemasan novel berbasis fakta-fakta, data yang suguhkan sungguh kuat,” bebernya.

Sementara itu, Jengki Sunarta mengungkapkan bahwa tulisan dengan kemasan sastra ini memberi referensi baru untuk lebih mengentahui gerakan pra 98.

Meski diakui, ada beberapa hal yang menurutnya bisa membingungkan pembaca awam tentang tokoh-tokoh di dalam buku ini.

Misalnya antara tokoh satu dua dan tiga yang terkadang menjadi penutur yang kerap berubah. “Buku ini memang sangat bagus dan menjadi pengantar masyarakat yang ingin lebih tahu tentang cerita gerakan 98,” tutupnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/