29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 11:27 AM WIB

Trump Kecele Lagi

Ia sewot: tidak mau ber-summit dengan Presiden Trump. Padahal Trump sudah begitu gegap gempitanya.

Tempat summit-nya pun sudah ditentukan: Singapura. Bahkan Trump sudah seperti menitikkan air liur: bisa dapat hadiah Nobel perdamaian.

Ia memilih tiba-tiba: summit sendiri dengan Xi Jinping. Diam-diam. Di kota Dalian, Tiongkok. Yang begitu dekat dengan Pyongyang. Ibukota Korea Utara.

Hanya –meminjam istilah orang Jawa di pegunungan– seperokok-an jauhnya: rokok belum habis sudah tiba. Dengan pesawat kecil pakai baling-baling yang ia naiki.

Tumben ia berani naik pesawat. Inilah pertama kali ia naik pesawat. Sejak jadi presiden. Mungkin karena dijamin keamanannya oleh Tiongkok.

Trump menuduh: summit diam-diam itulah yang membuat summit gegap-gempita di Singapura itu batal. Atau mundur. Presiden Xi Jinping dianggap seperti membisikkan pada ia –Kim Jong-un– di summit rahasia itu.

Saya lantas banyak ditanya. Di beberapa kesempatan di Amerika ini: apakah prospek perdamaian di semenanjung Korea ini suram? Saya jawab dengan mantab –seperti saya ini ahli tentang Korea beneran: dengan atau tanpa Trump perdamaian akan jalan terus.

Sikap ‘mendadak ramah’-nya Kim Jong-un itu sebenarnya sudah terjadi sebelum tekanan Trump. Yakni setelah kunjungannya dengan kereta siluman ke Beijing itu.

Beijing seperti membisikinya: teruslah dengan komunismu, tapi jangan miskin begitu. Lihatlah kami: bisa kaya tetap dengan pakai komunis.

Bisikan itu tampaknya dilanjutkan lagi. Di summit di Dalian dua minggu lalu. Lihat: kami bisa membangun kapal induk sendiri. Tanpa Amerika. (Saat itu Xi Jinping memang lagi meresmikan kapal induk pertama buatan Tiongkok di galangan kapal kota Dalian. Pesawat-pesawat tempurnya turun-naik di geladak kapal itu).

Kebetulan Kim lagi punya alasan kuat. Untuk batalkan summit dengan Trump. Ini dia: Kim sudah menunjukkan kerelaannya berdamai. Kok tetap ada latihan perang bersama: militer Korsel dan Amerika.

Seperti sedang menekan Korut. Kim marah: kok pertanda-pertanda yang ia berikan tidak diimbangi dengan pertanda-pertanda baik dari Selatan. Bahkan kok justru pertanda-pertanda gelap yang datang.

Padahal Kim sudah berjanji akan mengakhiri proyek nuklirnya. Sudah mau bertemu Presiden Korea Selatan. Sudah mau memulangkan tiga tawanan Amerika. Dan jangan disepelekan pertanda satu ini: Kim sudah mau membongkar pengeras suara. Yang dipasang di sepanjang perbatasan.

Kim masih memberikan pertanda satu lagi: mengubah waktu di Korut. Agar jamnya sama dengan di Korsel. Selama ini waktu di Korut setengah jam lebih dulu dari Korsel –seperti pokoknya harus beda.

Begitu banyak pertanda-pertanda yang diberikan Kim. Tanpa merasa malu dan sedang kalah. Dan yang ia dapat: pertanda-pertanda arogansi dari Amerika.

Batal saja summitnya. Atau setidaknya ditunda. Untuk perlindungan keamanan: sudah ada Tiongkok. Untuk jaminan pembangunan: sudah ada Tiongkok. Untuk menekan Korsel: sudah ada Tiongkok.

Belum tentu Kim bisa mendapatkan semua itu dari Amerika –tetangga amat jauhnya.

Bagaimana prospek perdamaiannya? Tiongkok bisa atur. Mereka bertiga toh bertetangga dekat. Toh selama ini keperluan BBM Korut sepenuhnya ditanggung Tiongkok. Lewat pipa dari tetangga dekat. Perdamaian itu bisa diatur sendiri. Tanpa Amerika. Yang penting: jangan memusuhinya.

Memang selama ini ada yang lucu sekali. Di perbatasan dua negara itu. Masing-masing pihak memasang pengeras suara. Di sepanjang perbatasan. Berderet sejauh 250 km. Sejak puluhan tahun lalu.

Corongnya dihadapkan ke wilayah lawan. Itulah pengeras suara untuk saling promosi. Eh, saling menyerang. Atau saling membalas serangan.

Tapi ada baiknya juga pengeras suara itu. Setidaknya perangnya hanya perang suara. Tidak sampai seperti Julia Perez dan Dewi Persik.

Saya pernah ke perbatasan itu. Di Panmunjom. Dari arah selatan. Banyak yang saya anggap lucu di situ.

Perangnya tidak hanya dalam bentuk hallo-hallo. Tapi juga saling sebarkan pamlet. Kadang pakai balon-balon terbang. Disebarkan saat arah angin lagi menuju negara lawan.

Di perbatasan itu juga dibangun satu gedung. Separo memakai tanah Korea Utara. Separonya lagi di atas tanah Korea Selatan.

Di dalam gedung itu ada ruang pertemuan. Ada pula meja rapatnya. Letak meja itu harus di tengah persis. Separo meja ada di wilayah utara. Separonya lagi di wilayah Selatan.

Kalau dua pihak lagi baikan mereka bikin rapat. Delegasi Utara duduk di meja bagian utara. Begitu juga sebaliknya.

Saya pernah mengintip ke dalam ruang rapat ini. Saat lagi tidak ada kegiatan. Dan memang selalu tidak ada kegiatan.

Mereka gencatan senjata di tahun 1953. Sejak itu baru ada tiga atau empat kali rapat. Resminya, status kedua negara itu memang masih dalam perang. Hanya saja lagi genjatan senjata.

Inilah gencatan senjata terlama: 65 tahun. Perang tidak. Damai pun tak. Kalau keduanya lagi baikan gedung itu berguna. Tapi wawuhan itu biasanya hanya sebentar. Lalu jotakan lagi.

Wawuh terlama terjadi 10 tahun lalu. Sampai Korsel diijinkan bangun pabrik-pabrik di wilayah khusus di Korut di dekat perbatasan.

Tapi ternyata jotakan lagi. Pabrik-pabrik pun harus ditutup. Sampailah Korut tiba-tiba dipimpin anak muda tambun itu: Kim Jong-un. Yang istrinya cantik sekali itu. Dan kelihatan pinter itu. Dan modern modis itu.

Mula-mula si Tambun galak banget. Pamannya sendiri sampai dieksekusi mati. Kekuatan nuklirnya dibangun. Beberapa kali ujicoba: gagal. Bahkan gunung ujicobanya runtuh. Tamat. Menyerah.

Kebetulan ekonomi negaranya kian parah. Rakyatnya sangat miskin. Pekerjaan utamanya seperti hanya baris-berbaris. Atau kibar-kibarkan bendera. Atau menyeru: Hidup Kim Jong-un! Pemimpin Besar Kita!

Maka adegan di perbatasan 26 April lalu itu sangat mengharukan. Kim Jong-un bertemu langsung Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.

Ia langkahi garis perbatasan dengan ekspresi damai. Ia salami Presiden Korsel, musuhnya itu. Ia berangkulan.

Presiden Korsel menepuk-nepukkan dua tangannya di bagian belakang pinggang lawannya. Kim Jong-un menepuk-nepukkan kedua tangannya di punggung atas lawannya itu. Lalu mengangkat tangan mereka dalam keadaan saling tergenggam.

Saat berjalan menuju ruang pertemuan pun mereka terus bergandengan tangan. Lalu membicarakan perdamaian abadi. Pembangunan jazirah Korea. Dan merencanakan masa depan yang cerah.

Kim Jong-un sekolah di Perancis. Atau Swiss. Dengan nama yang disamarkan. Ia tahu. Dia mengalami. Ia menghayati. Bertahun-tahun. Bagaimana seharusnya rakyat hidup. Bagaimana negara harus makmur. Gambaran kemakmuran Swiss ada di kepalanya.

Kim Jong-un tampil ke puncak karena terpaksa. Ayahnya meninggal saat umurnya belum 30 tahun. Keadaan negara sudah seperti itu: tahu sendirilah. Setidaknya kini iia sudah mencopoti pengeras suara itu.(dis)

Ia sewot: tidak mau ber-summit dengan Presiden Trump. Padahal Trump sudah begitu gegap gempitanya.

Tempat summit-nya pun sudah ditentukan: Singapura. Bahkan Trump sudah seperti menitikkan air liur: bisa dapat hadiah Nobel perdamaian.

Ia memilih tiba-tiba: summit sendiri dengan Xi Jinping. Diam-diam. Di kota Dalian, Tiongkok. Yang begitu dekat dengan Pyongyang. Ibukota Korea Utara.

Hanya –meminjam istilah orang Jawa di pegunungan– seperokok-an jauhnya: rokok belum habis sudah tiba. Dengan pesawat kecil pakai baling-baling yang ia naiki.

Tumben ia berani naik pesawat. Inilah pertama kali ia naik pesawat. Sejak jadi presiden. Mungkin karena dijamin keamanannya oleh Tiongkok.

Trump menuduh: summit diam-diam itulah yang membuat summit gegap-gempita di Singapura itu batal. Atau mundur. Presiden Xi Jinping dianggap seperti membisikkan pada ia –Kim Jong-un– di summit rahasia itu.

Saya lantas banyak ditanya. Di beberapa kesempatan di Amerika ini: apakah prospek perdamaian di semenanjung Korea ini suram? Saya jawab dengan mantab –seperti saya ini ahli tentang Korea beneran: dengan atau tanpa Trump perdamaian akan jalan terus.

Sikap ‘mendadak ramah’-nya Kim Jong-un itu sebenarnya sudah terjadi sebelum tekanan Trump. Yakni setelah kunjungannya dengan kereta siluman ke Beijing itu.

Beijing seperti membisikinya: teruslah dengan komunismu, tapi jangan miskin begitu. Lihatlah kami: bisa kaya tetap dengan pakai komunis.

Bisikan itu tampaknya dilanjutkan lagi. Di summit di Dalian dua minggu lalu. Lihat: kami bisa membangun kapal induk sendiri. Tanpa Amerika. (Saat itu Xi Jinping memang lagi meresmikan kapal induk pertama buatan Tiongkok di galangan kapal kota Dalian. Pesawat-pesawat tempurnya turun-naik di geladak kapal itu).

Kebetulan Kim lagi punya alasan kuat. Untuk batalkan summit dengan Trump. Ini dia: Kim sudah menunjukkan kerelaannya berdamai. Kok tetap ada latihan perang bersama: militer Korsel dan Amerika.

Seperti sedang menekan Korut. Kim marah: kok pertanda-pertanda yang ia berikan tidak diimbangi dengan pertanda-pertanda baik dari Selatan. Bahkan kok justru pertanda-pertanda gelap yang datang.

Padahal Kim sudah berjanji akan mengakhiri proyek nuklirnya. Sudah mau bertemu Presiden Korea Selatan. Sudah mau memulangkan tiga tawanan Amerika. Dan jangan disepelekan pertanda satu ini: Kim sudah mau membongkar pengeras suara. Yang dipasang di sepanjang perbatasan.

Kim masih memberikan pertanda satu lagi: mengubah waktu di Korut. Agar jamnya sama dengan di Korsel. Selama ini waktu di Korut setengah jam lebih dulu dari Korsel –seperti pokoknya harus beda.

Begitu banyak pertanda-pertanda yang diberikan Kim. Tanpa merasa malu dan sedang kalah. Dan yang ia dapat: pertanda-pertanda arogansi dari Amerika.

Batal saja summitnya. Atau setidaknya ditunda. Untuk perlindungan keamanan: sudah ada Tiongkok. Untuk jaminan pembangunan: sudah ada Tiongkok. Untuk menekan Korsel: sudah ada Tiongkok.

Belum tentu Kim bisa mendapatkan semua itu dari Amerika –tetangga amat jauhnya.

Bagaimana prospek perdamaiannya? Tiongkok bisa atur. Mereka bertiga toh bertetangga dekat. Toh selama ini keperluan BBM Korut sepenuhnya ditanggung Tiongkok. Lewat pipa dari tetangga dekat. Perdamaian itu bisa diatur sendiri. Tanpa Amerika. Yang penting: jangan memusuhinya.

Memang selama ini ada yang lucu sekali. Di perbatasan dua negara itu. Masing-masing pihak memasang pengeras suara. Di sepanjang perbatasan. Berderet sejauh 250 km. Sejak puluhan tahun lalu.

Corongnya dihadapkan ke wilayah lawan. Itulah pengeras suara untuk saling promosi. Eh, saling menyerang. Atau saling membalas serangan.

Tapi ada baiknya juga pengeras suara itu. Setidaknya perangnya hanya perang suara. Tidak sampai seperti Julia Perez dan Dewi Persik.

Saya pernah ke perbatasan itu. Di Panmunjom. Dari arah selatan. Banyak yang saya anggap lucu di situ.

Perangnya tidak hanya dalam bentuk hallo-hallo. Tapi juga saling sebarkan pamlet. Kadang pakai balon-balon terbang. Disebarkan saat arah angin lagi menuju negara lawan.

Di perbatasan itu juga dibangun satu gedung. Separo memakai tanah Korea Utara. Separonya lagi di atas tanah Korea Selatan.

Di dalam gedung itu ada ruang pertemuan. Ada pula meja rapatnya. Letak meja itu harus di tengah persis. Separo meja ada di wilayah utara. Separonya lagi di wilayah Selatan.

Kalau dua pihak lagi baikan mereka bikin rapat. Delegasi Utara duduk di meja bagian utara. Begitu juga sebaliknya.

Saya pernah mengintip ke dalam ruang rapat ini. Saat lagi tidak ada kegiatan. Dan memang selalu tidak ada kegiatan.

Mereka gencatan senjata di tahun 1953. Sejak itu baru ada tiga atau empat kali rapat. Resminya, status kedua negara itu memang masih dalam perang. Hanya saja lagi genjatan senjata.

Inilah gencatan senjata terlama: 65 tahun. Perang tidak. Damai pun tak. Kalau keduanya lagi baikan gedung itu berguna. Tapi wawuhan itu biasanya hanya sebentar. Lalu jotakan lagi.

Wawuh terlama terjadi 10 tahun lalu. Sampai Korsel diijinkan bangun pabrik-pabrik di wilayah khusus di Korut di dekat perbatasan.

Tapi ternyata jotakan lagi. Pabrik-pabrik pun harus ditutup. Sampailah Korut tiba-tiba dipimpin anak muda tambun itu: Kim Jong-un. Yang istrinya cantik sekali itu. Dan kelihatan pinter itu. Dan modern modis itu.

Mula-mula si Tambun galak banget. Pamannya sendiri sampai dieksekusi mati. Kekuatan nuklirnya dibangun. Beberapa kali ujicoba: gagal. Bahkan gunung ujicobanya runtuh. Tamat. Menyerah.

Kebetulan ekonomi negaranya kian parah. Rakyatnya sangat miskin. Pekerjaan utamanya seperti hanya baris-berbaris. Atau kibar-kibarkan bendera. Atau menyeru: Hidup Kim Jong-un! Pemimpin Besar Kita!

Maka adegan di perbatasan 26 April lalu itu sangat mengharukan. Kim Jong-un bertemu langsung Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.

Ia langkahi garis perbatasan dengan ekspresi damai. Ia salami Presiden Korsel, musuhnya itu. Ia berangkulan.

Presiden Korsel menepuk-nepukkan dua tangannya di bagian belakang pinggang lawannya. Kim Jong-un menepuk-nepukkan kedua tangannya di punggung atas lawannya itu. Lalu mengangkat tangan mereka dalam keadaan saling tergenggam.

Saat berjalan menuju ruang pertemuan pun mereka terus bergandengan tangan. Lalu membicarakan perdamaian abadi. Pembangunan jazirah Korea. Dan merencanakan masa depan yang cerah.

Kim Jong-un sekolah di Perancis. Atau Swiss. Dengan nama yang disamarkan. Ia tahu. Dia mengalami. Ia menghayati. Bertahun-tahun. Bagaimana seharusnya rakyat hidup. Bagaimana negara harus makmur. Gambaran kemakmuran Swiss ada di kepalanya.

Kim Jong-un tampil ke puncak karena terpaksa. Ayahnya meninggal saat umurnya belum 30 tahun. Keadaan negara sudah seperti itu: tahu sendirilah. Setidaknya kini iia sudah mencopoti pengeras suara itu.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/