Kondisi sebagai penyandang disabilitas tak membuat I Ketut Gede Nesa Jati Ana patah semangat. Berbekal keahlian dan keterampilannya dia berkarya dan menekuni pembuatan kaki palsu.
JULIADI, Denpasar
TUMPUKAN kertas pola, fiber, kulit, spons, dan semen putih berserakan di ruangan kerja I Ketut Gede Nesa Jati Ana.
Tak hanya itu, puluhan kaki palsu buatannya pun siap untuk dipasarkan dan digunakan bagi mereka yang membutuhkan.
Maklum, sudah 13 tahun lebih pekerjaan sebagai pembuat kaki palsu digelutinya. Mulai dari kaki palsu terbuat dari bahan kayu hingga menggunakan bahan besi dan fiber sekarang ini.
Saat Jawa Pos Radar Bali Rabu kemarin (23/8) bertandang di tempat kerjanya di Jalan Bakung 19, Banjar Tohpati, Kesiman Kertalangu, Denpasar, Gede tampak sibuk dibantu beberapa rekannya sesama penyandang disabilitas membuat kaki palsu.
Sembari bekerja dia pun sedikit menceritakan awal muncul membuat kaki palsu bagi penyandang disabilitas di Bali.
“Ide awal membuat kaki palsu karena saya mengalami kecelakaan lalu lintas di tahun 2001 dan masih membekas di ingatan saya,” ucap Gede Nesa.
Waktu itu dia sempat down, sulit baginya menerima kenyataan bahwa dia harus hidup dengan satu kaki. Pasalnya, kaki kanannya harus diamputasi. Kecelakaan itu dia alami saat masih duduk di kelas 2 SMK Pariwisata.
Apalagi saat itu dia masih berusia 18 tahun. Masa asyik menikmati suasana bangku sekolah. Dia sempat minder, karena ke sekolah menggunakan tongkat.
Berhenti sekolah pun sempat terbayangkan di benak pikirannnya. “Akhirnya saya berpikiran buat kaki palsu, minimal dapat berjalan secara normal,” akunya.
Kaki palsu pertama kali dibuat dari bahan kayu. Di zaman itu mungkin harga kaki palsu mencapai Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Pemesannya pun harus di luar Bali, yakni di pulau Jawa.
“Karena saya merasa tidak mampu untuk membeli dan dari keluarga kurang mampu. Akhirnya menuntut untuk membuat kaki palsu buatan,” ujar pria yang tinggal di Mengwi Tani, Badung, ini.
Menurutnya, berjalan dengan kaki palsu itu butuh proses waktu lama. Setahun beradaptasi dengan kaki palsunya, baru dapat berjalan normal. Dari sanalah rasa percaya diri kembali muncul.
Dikatakan pria penyadang disabilitas berusia 33 tahun ini, bahwa pada tahun 2002 setelah dia menyelesaikan sekolah di SMK Pariwisata, dia ikut dalam balai latihan kursus (BLK) Kabupaten Badung.
Pembuatan kaki palsu pun terus ditekuninya. Hingga pelatihan di luar daerah Bali yakni Kota Solo dan Kota JogJakarta di ikutinya.
Baru di tahun 2004 mulai membuat kaki palsu dari bahan besi, kulit, plastik, fiber, spons, dan semen putih.
Sekitar 2.500 buah kaki palsu yang sudah tersebar di seluruh Bali bahkan di wilayah Indonesia Timur.
Namun khusus bagi penyandang disabilitas di Bali dari pihak Puspadi Bali memberikan gratis. Artinya penyandang dibantu dengan cuma-cuma.
Untuk ketahanan kaki palsu yang dibuatnya mencapai 1 tahun lebih, bergantung dari pemakai dan pemeliharaannya penggunaannya.
Kaki palsu yang dibuatnya mulai dari penyandang disabilitas anak hingga orang dewasa. Per hari 4 sampai 5 kaki palsu berhasil dibuatnya.
Kenyamanan kaki palsu yang dibuatnya mencapai 99 persen. Harga satu buah kaki palsu dengan ukuran anak mencapai Rp 4 juta sampai Rp 5 juta.
Ini tergantung dari ukurannya. Sedangkan untuk orang dewasa Rp 6 juta sampai Rp 8 Juta bergantung juga pada ukurannya.
Kendala saat ini di Puspadi Bali pada klien penyandang cacat. Karena butuh proses lama untuk beradaptasi dengan kaki palsu. Ini memang membutuhkan latihan.
Pengguna kaki palsu merasa nyaman saat menggunakan kaki palsunya. Terutama pada penyandang disabilitas bawaan dari lahir.
“Dengan apa yang saya alami saya saat ini, saya merasa bersyukur. Karena hasil kaki palsu buatannya dapat membantu orang lain yang senasib dengannya,” tutupnya.